Suriah: Kisah Sebuah Revolusi [Bagian 1]
Monday, August 12, 2013
0
comments
Suriah dan kisah sebuah revolusi.
Intelijen bisa melakukan apa saja terhadap rakyat Suriah, yang penting bahwa
tidak ada yang berani meyentuh dan menggugat kekuasaan al Assad
TULISAN ini bukan ditujukan kepada orang
Suriah yang mampu menceritakan bahkan lebih baik daripada tulisan ini. Tulisan
ini ditujukan kepada saudara-saudaraku bangsa Arab (sumber asli tulisan) yang
setelah lewat setahun revolusi masih ada yang bertanya: kenapa kalian berontak
kepada pemerintah al Assad? Bagaimana revolusi tersebut terjadi?
Orang Suriah hendaknya tidak buang waktu
membaca tulisan ini, kecuali untuk membacakannya kepada siapa pun yang
bertanya. Adapun orang selain Suriah yang hendak membaca tulisan ini, maka
hendaknya dibantu untuk memahami realitas revolusi Suriah sesungguhnya.
Walaupun saya tidak bisa menjanjikan bahwa mereka akan paham sepenuhnya. Sebab,
bagaimanapun tidak sama antara yang menyaksikan langsung dengan yang sekadar
membaca.
Dunia menyebut Suriah sebuah republik.
Padahal pemerintahan republik memilih presidennya lewat pemilihan umum yang
mengganti presidennya secara berkala dalam beberapa tahun. Namun, kenapa
presiden Suriah justru dilahirkan dari rahim istri presidennya? Lantas kenapa
presiden Suriah tidak pernah berganti?
Partai Ba’ats yang sosialis merebut
kekuasaan di Suriah lewat kudeta berdarah pada bulan Maret 1963. Tapi sejatinya
kudeta tersebut bukanlah kudeta partai politik atas sebuah pemerintahan, selain
upaya seseorang bernama Hafiz al Assad, yang dengan dukungan sekelompok
bersenjata menggulingkan kekuasaan.
Di depan publik, Hafiz al Assad tampil
sebagai bagian dari kelompok revolusi bersenjata. Tetapi sesungguhnya dialah
aktor intelektual di balik kudeta tersebut.
Dalam beberapa tahun kemudian, al Assad
berhasil menyingkirkan satu persatu rekan-rekan seperjuangannya. Terakhir, dia
berhasil melibas kawan dekatnya, Shalah Jadid di akhir tahun 1970. Setelah itu,
dia mengumumkan dirinya sebagai pemimpin dan presiden bagi Suriah (1971).
Tiga puluh tahun di bawah kekuasaan al
Assad adalah masa sulit dalam sejarah Suriah. Setelah dia wafat pada medio 2000
silam, Bashar al Assad mewarisi kekuasaan bapaknya, tak ubahnya kekuasaan
monarki. Namun karena usia Bashar waktu itu (35 tahun) belum cukup untuk
menjadi presiden oleh konstitusi, maka hanya ada dua opsi: mencari calon
presiden yang lain atau mengamandemen konstitusi.
Namun karena di di Suriah seluruhnya
tidak ada pemuda yang layak untuk jabatan presiden selain Bashar, maka
amandemen konstitusi menjadi pilihan yang paling ringan. Apalagi karena
parlemen Suriah terdiri dari para pakar hukum terkemuka di dunia. Tidak heran
jika amandemen tersebut cuma butuh waktu lima menit. Dan jadilah Bashar yang
sebelumnya putra mahkota sebagai “raja baru Suriah”. (Menang lewat referendum
yang sarat rekayasa dengan dukungan 97,3% suara [!])
II
SEJAK penggulingan kekuasaan oleh partai
Ba’ats di tahun 1963, Suriah memberlakukan undang-undang darurat. Selama empat
puluh delapan tahun, bangsa Suriah hidup di bawah tekanan dan penderitaan oleh
undang-undang tersebut. Kehormatan dan kebebasan mereka terampas.
Seluruh negara jatuh ke dalam genggaman
sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan: keluarga al Assad dan para
kroninya. Lembaga-lembaga negara, pranata ekonomi, keamanan, militer . . .
semua dipegang oleh lingkaran kelompok itu. Hanya ratusan manusia yang secara
de facto memiliki negeri yang bernama Suriah beserta seluruh sumber daya yang
ada di dalamnya. Merekalah yang menguasai dan mengendalikan dua puluh juta
manusia lainnya.
Seorang penulis pernah berniat menulis
tentang kondisi saat itu. Dia tidak mendapatkan tajuk yang lebih tepat selain:
Mazra’ah/Kebun al Assad. Ya, benar. Sebab Suriah di era tersebut telah berubah
menjadi sekadar sebuah kebun. Manusia Suriah lebih rendah statusnya daripada
seekor binatang. Semenjak setengah abad silam, setiap bayi yang lahir di Suriah
menambah jumlah budak dan tawanan rezim. Bayi tersebut lahir dalam sebuah
negeri yang diliputi horor, diskriminasi dan perampasan harkat serta martabat.
Sidang pembaca paham benar arti istilah
“ketenteraman” dan “martabat” di negeri Saudara hidup. Tapi bangsa Suriah hanya
bisa mendengarnya sebagai sebuah dongeng. Setiap anak di dunia diberi susu
sejak kecilnya, kecuali di Suriah. Anak-anak di Suriah diberi “susu” horor dan
penistaan.
Sejak ketika seorang anak di Suriah
belajar untuk berbicara, dia akan diberitahu untuk tidak menanyakan atau
menggugat apa pun. “Jangan sampai engkau sekalipun menunjuk kepada aparat
keamanan atau menyebut intel. Jangan sekalipun engkau menyebut nama presiden,
kecuali diawali dan diikuti dengan pujian.”
III
Di Suriah, terdapat patung-patung dan
poster presiden yang jika hendak dibagikan kepada seluruh penduduk dunia akan
cukup. Jika Anda berjalan-jalan di Suriah, Anda akan selalu menemukan patung di
antara dua patung lainnya, poster di antara dua poster lainnya. Bangsa Suriah
telah meringkas sejarah mereka pada profil presiden mereka.
Sebelum al Assad, bangsa Suriah bukanlah
siapa-siapa. Suriah mengangkat al Assad ke semi-tuhan, dia dinobatkan sebagai
pemimpin seumur hidup. Media dan perangkat pendidikan semuanya ditujukan untuk
mengindoktrinasikan dusta besar: al Asadan/dua singa, bapak dan anaknya.
Pemimpin terbesar, paling bijaksana sepanjang zaman. Mereka adalah karunia Tuhan
kepada bangsa Suriah, khusus dan hanya buat bangsa Suriah.
Bangsa Suriah diperbolehkan menista
Tuhan, tetapi tidak boleh menista “tuhan” palsu mereka. Itu terjadi sebelum
segalanya terbuka dan tersingkap. Tapi setelah rahasia itu terbongkar, ternyata
pengikut setia al Assad memang sujud kepada poster-posternya dan memaksa para
tawanan untuk sujud kepadanya. Bahkan para tawanan itu disiksa dan dipaksa
untuk mengucapkan persaksian: tiada tuhan selain Bashar(!). Maha Tinggi Allah
dari segala sekutu. Dan semoga Allah menimpakan siksanya kepada Bashar,
hamba-hambanya dan pengikutnya.
Teriakan awal pemuda yang menuntut
revolusi terbatas pada tuntutan kebebasan “Hurriyyah, Hurriyyah”, dan “Bangsa
Suriah tidak Boleh Direndahkan”. Bangsa Arab lainnya tidak memahami arti
teriakan tersebut, sebab mereka belum pernah kehilangan kebebasan dan harga
diri, seperti bangsa Suriah. Bahkan bangsa Palestina pun tidak.
Demi Allah, aku bersumpah, bahwa bangsa
Palestina yang hidup di bawah penjajahan Zionisme Yahudi lebih bebas dan lebih
memiliki harga diri daripada bangsa Suriah. Bangsa Suriah yang hidup di bawah
penjajahan partai Ba’ats al Assad selama empat puluh tahun lamanya.
IV
Di Suriah, semua unsur intelijen adalah
raja dan pemilik, sedangkan seluruh rakyat Suriah adalah budak dan gembalaan.
Al Assad memberikan itu semua kepada intelijen setelah dia berhasil dengan
kudetanya. Intelijen bisa melakukan apa saja terhadap rakyat Suriah, yang
penting bahwa tidak ada yang berani meyentuh dan menggugat kekuasaan al Assad.
Sejak saat itu, perangkat intelijen dan
keamanan punya nota perbudakan terhadap semua rakyat Suriah. Mereka bisa
merampas kemerdekaan, kehormatan, bahkan nyawa siapa saja tanpa koreksi dan
protes dari siapa pun. Tidak perduli orang tua, anak-anak, pria dan wanita,
Arab dan Kurdi, Muslim dan Nasrani. Setiap penduduk Suriah berarti berstatus
budak.
Andai aparat keamanan itu bersikap
sebagaimana gembala kepada binatang gembalaannya, realitasnya tidak. Rakyat
Suriah lebih rendah daripada binatang.
Di Suriah, aparat keamanan bisa
menyerobot masuk ke rumah penduduk kapan saja, siang atau malam, dan membawa
pergi siapa yang mereka inginkan. Anda tidak bisa menyanggah atau bertanya.
Orang yang ditahan tidak tahu alasan dia ditahan, atau mungkin alasan dia
dibunuh.
Adapun keluarganya, tahun-tahun berlalu
dan mereka tidak tahu nasib keluarga mereka. Awalnya mereka berharap bahwa dia
akan pulang, kemudian berharap bahwa mereka bisa mengunjunginya di penjara,
kemudian berharap bisa melihatnya walau hanya sekejap, lantas berharap
mendengar informasi tentangnya, informasi apa saja . . . . Harapan yang semakin
lama semakin redup dimakan waktu, hingga akhirnya harapan itu cuma satu:
hidupkah dia gerangan atau telah gugur.
Rakyat Suriah telah terbiasa kehilangan
anak-anak mereka dan mereka diam. Mereka terlanjur lazim dengan keputusasaan
terhadap keluarga mereka yang ditahan. Mereka sudah biasa mengubur keluarga
mereka yang tewas atau meninggal sambil tutup mulut.
Apakah pembaca pernah mendengar penjara
Tadmur, “Bastille” Suriah yang menyeramkan? Tanyakan kepada gurun pasir yang
luas membentang di belakangnya, berapa ratus ribu nyawa yang lenyap di
dalamnya? Manusia-manusia yang tak berdosa, bahkan manusia-manusia saleh dan
jujur. Semoga Allah merahmati mereka semua.
V
Tiba-tiba dunia Arab meledak oleh
revolusi. Musim semi telah tiba. Rakyat Tunis keluar ke jalan-jalan raya
(17/12/2010), disusul rakyat Mesir (25/1/2011), kemudian rakyat Yaman
(11/2/2011) dan Libya (17/2/2011).
Orang-orang bertanya, bukankah rakyat
Suriah lebih pantas untuk protes? Sebab, kondisi mereka jauh lebih buruk dan
pemerintahan mereka jauh lebih korup. Tetapi apakah mereka akan melakukan
revolusi? Orang-orang bersilang pendapat. Tapi mayoritas berkata, tidak
mungkin! Benar, rakyat Suriah lebih butuh kepada kebebasan, tapi mereka terlalu
lemah untuk menuntut itu. Sebab pemerintahan Suriah paling sadis dan represif
di dunia saat ini.
Awal Februari, sejumlah tuntutan
“malu-malu” di Damaskus dan Halab mendesak agar rakyat berdemo. Beberapa
kesepakatan waktu telah dibuat, namun tidak mendapatkan respons yang memadai.
Para aktivis frustrasi dan putus asa.
Manusia menginginkan dan Allah
berkehendak, dan Allah memutuskan apa yang Dia kehendaki. Allah mengatur
kehendaknya di luar kemampuan dan perkiraan manusia. Tanggal 17 Februari,
seorang polisi di pusat ibukota bertindak sewenang-wenang kepada seorang
pedagang di pasar tua Hurayqah. Polisi itu memukul si pedagang.
Sontak, orang-orang dipasar berkumpul dan
protes. Tanpa rencana dan koordinasi sebelumnya. Demonstrasi pertama selama
setengah abad kurang dua tahun! Dalam waktu singkat, ribuan manusia bergerombol
dan meneriakkan yel-yel: “Bangsa Suriah tidak Boleh Direndahkan”. Keadaan
sangat riuh sampai-sampai menteri dalam negeri turun tangan langsung
mengendalikan situasi. “Shabiha”, geng bersenjata piaraan rezim Bashar, dan
aparat keamanan menerobos ke tengah demonstrasi dan berusaha merebut kendali.
Mereka berteriak, “Allah, Suriah, Bashar.”
Padahal demonstrasi tersebut tidak
berarti apa-apa dibanding dengan demonstrasi-demonstrasi pada bulan-bulan
berikutnya. Hanya saja, demonstrasi tersebut merupakan peristiwa luar biasa
dalam perspektif rakyat Suriah. Untuk pertama kalinya rakyat Suriah berkumpul
dalam jumlah besar untuk melakukan protes terhadap salah satu simbol rezim.
Baru kali itu mereka berbicara tentang harga diri dan identitas rakyat Suriah.
Istilah yang telah lama hilang dalam perasaan kolektif mereka.
Film dokumentasi tentang demonstrasi
tersebut di-upload ke Youtube dan informasinya segera menyebar bagaikan api
yang membakar ilalang. Tidak sampai sepekan hingga film tersebut ditonton
ratusan ribu manusia.
VI
Api telah terlanjur membakar. Pengamat
tidak bisa menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi dari atas. Padahal, nyala
api terus menjalar di bawah permukaan. Lima hari setelah peristiwa itu, sebuah
demonstrasi kecil berkumpul di depan kedutaan besar Libya, memprotes kekerasan
berdarah terhadap saudara-saudara kita, pendukung revolusi yang melawan
diktator kejam Moammar Khadafi.
Demonstrasi itu tidak berlangsung lama,
sebab pihak keamanan membubarkannya dengan keras. Dan ketika demonstrasi
tersebut berulang keesokan harinya, para pendemo mulai dipukuli bahkan ditahan.
Beberapa hari jelang Februari berlalu,
terjadilah peristiwa yang ditakdirkan menjadi salah satu terminal revolusi.
Seorang anak di Dir’a mencoret di dinding slogan yang mereka contek dari Arab
Spring di negeri Arab lainnya: “rakyat ingin menurunkan pemerintah”.
Pernahkan Pembaca budiman mendengar
tentang Dir’a sebelum ini? Dir’a adalah ibukota Hawran, negeri yang melahirkan
ulama-ulama besar semacam Imam Nawawi dan Ibnu Katsir. Negeri ini pula yang
memecahkan revolusi besar melawan pendudukan Prancis.
Peristiwa kecil itulah yang sesungguhnya
melahirkan revolusi. Belasan anak yang usianya tidak lebih dari 15 tahun
diseret dari rumah mereka masing-masing pada malam hari itu. Mereka digiring ke
tahanan dan disiksa. Organ tubuh mereka dibakar dan kuku mereka dicabut. Tubuh
mereka digebuk hingga remuk.
Para orang tua dari anak-anak itu datang
memelas. Meraka memohon kepada pejabat keamanan politik agar anak-anak mereka
dilepaskan. Namun, pejabat itu melontarkan jawaban menghina yang kelak tersebar
ke seluruh Suriah, “Lupakan mereka, dan lahirkanlah anak-anak yang lain! Atau
bawa kemari istri-istri kalian agar kami hamili bila kalian tidak mampu!”
Kesabaran tetap ada batasnya. Rakyat
Suriah telah cukup bersabar hingga laut kesabaran itu telah kering. Dan bubuk
mesiu yang terjilat api pasti akan meledak. Bubuk mesiu itu adalah emosi
penduduk Dir’a, sedangkan apinya adalah jawaban pejabat pemerintah tadi.
Meledaklah revolusi!*
Bersambung . . . .
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment