Nasehat Ibnu Taimiyah tentang Ukhuwwah
Sunday, August 11, 2013
0
comments
Tafarruq alias perpecahan, adalah salah satu penyakit klasik umat, yang amat
diwaspadai oleh para ulama salah satunya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
"..bisa berbeda pendapat dalam
masalah ilmiah dan amaliyah, tetapi tetap bersatu/persaudaraan dalam dien"
(ibnu Taimiyah)
BANYAKNYA komunitas-komunitas keislaman,
organisasi dakwah, kajian serta bertambah jumlah da’i secara kuantitas
merupakan hal yang perlu disyukuri di satu sisi. Akan tetapi timbul
keprihatinan di sisi lain, karena dengan timbulnya fenomena itu semestinya umat
Islam bergerak lebih sinergis, tapi fakta dilapangan sering kali bertolak
belakang, komunitas serta organisasi dakwah yang ada sering kali saling
‘menyerang’, saling menyesatkan dan bahkan membid’ahkan, enggan mengucap salam
satu sama lain, dan ada yang lebih “hebat” lagi, yaitu enggan melakukan shalat
dengan umat Islam yang masih tergolong sunni, dikarenakan ada perbedaan pendapat
dalam beberapa masalah. Tampaknya “penyakit” tafarruq yang menggerogoti umat
ini mulai kronis.
Tafarruq alias perpecahan, adalah salah
satu penyakit klasik umat, yang amat diwaspadai oleh para ulama salah satunya
adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H), beliau adalah seorang ‘alim yang
sadar akan bahayanya penyakit ini, hingga kita dapati dari beberapa karya
beliau ikut berbicara dalam masalah ini. Bagaimana seharusnya umat Islam yang
menganut madzahib mu’tabarah ini bisa tetap menjalin ukhuwah walau berbeda
pendapat. Tentu hal ini amat perlu kita ketahui.
Kewajiban Tawahud dan Haramnya Tafarruq
Dalam sebuah risalah yang ditulis Ibnu
Taimiyah –rahimahullah– yang berjudul Khilaf Al Ummah fi Al Ibadat wa Madzhab
Ahlu As Sunnah, yang tergabung dalam Risalah Ulfah Baina Al Muslimin, beliau
berkata: “…Perpecahan dan ikhtilaf yang menyebabkan tidak berkumpul dan bersatu
terhadap mereka yang berbeda mengakibatkan sebagian dari mereka membenci dan
memusuhi yang lain serta mencintai dan berloyalitas kepada yang lain, sampai
mengakibatkan timbulnya celaan, hinaan, cacian terhadap yang lain, juga sampai
menimbulkan pertumpahan darah, baik dengan tangan maupun senjata! Serta
menyebabkan pemutusan hubungan dan pemboikotan, sehingga sebagian dari mereka
tidak shalat di belakang sebagian yang lain. Ini semua adalah termasuk perkara
paling besar yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya!”
Kemudian Syaikhul Islam Menjelaskan
beberapa dalil, beliau berkata: “Berkumpul dan bersatu adalah salah satu
perkara paling besar yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Allah
berfirman:”Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan
janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan muslim. Dan berpegang
taguhlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah bercerai-berai.” Sampai
dengan firman Allah:”Dan janganlah kalian menjadi seperti mereka yang bercerai
berai dan berselisih setelah datang kepada mereka berbagai keterangan. Dan
mereka akan mendapat siksa yang besar. Di hari dimana waktu itu ada wajah-wajah
yang putih dan wajah-wajah yang hitam…” (Ali Imran: 102-106).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka yang
berwajah putih adalah ahlu sunnah dan yang berwajah hitam adalah ahlul bid’ah.”
Orang yang melakukan perbuatan di atas
adalah orang yang menyelisihi sunnah sehingga banyak yang berubah menjadi ahlu
bid’ah. Syaikhul Islam mengatakan:”Dan banyak dari mereka (orang yang
bercerai-berai) menjadi ahlu bid’ah dengan keluarnya mereka dari sunnah yang
telah disyari’atkan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam atas umatnya, dan
termasuk ahli furqah disebabkan furqah menyelisihi jama’ah yang diperintahkan
Rasulullah shlallahu ‘alahi wasalam.” (Lihat, Khilaf Al Ummah fi Al Ibadat wa
Madzhab Ahlu As Sunnah, yang targabung dalam Risalah Ulfah Baina Al Muslimin,
hal.25).
Syaikhul Islam Mengatakan: ”Bagaimana
boleh dalam umat Muhammad shalallahu’alaihi wasalam ini ada perselisihan dan
perpecahan sehingga seseorang berloyalitas pada sebuah thaifah dan menyakiti
thaifah yang lain dengan prasangka dan hawa nafsu tanpa menggunakan hujjah dari
Allah. Allah telah berlepas terhadap nabi-Nya dalam masalah seperti ini. Ini
adalah perbuatan ahlu bid’ah seperti khawarij, yang memisahkan diri dari
jama’ah muslimin dan menghalalkan darah mereka yang menyelisihinya. Adapun ahlu
sunnah wal jama’ah mereka yang tetap berpegang teguh dengan tali Allah.”
(Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal. 258)
Berbeda Pendapat, Tetap Bersaudara
Dalam Majmu’ah Al Fatawa Ibnu Taimiyah
mengatakan: “Ulama dari para sahabat, tabi’in dan setelah mereka, jika berselisih
dalam permasalahan, mereka mengikuti perintah Allah:”…Lalu jika kalian
berselisih atas sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika
kalian beriman kepada Allah dan hari akhir, itu hal yang baik dan lebih baik
kesudahannya (An Nisa’:59). Mereka berdebat dalam sebuah masalah dengan
musyawarah dan saling menasehati. Dan bisa jadi mereka berbeda pendapat dalam
masala ilmiah dan amaliyah, akan tetapi tetap bersatu dan tetapnya kamaksuman
serta persaudaraan dalam dien.”
Di tempat lain beliau berkata: “Aisyah
Ummul Mukminin radhiallahu’anha telah menyelisishi Ibnu Abbas dan para sahabat
lain yang berpendapat bahwa Muhammad shallahu’alaihi wasalam telah melihat
Rabb-nya. Aisyah berkata:
”Barang siapa mengira bahwa Muhammad
telah melihat Rabb-nya maka telah berdusta besar kepada Allah Ta’ala”. Akan
tetapi mayoritas umat memilih pendapat Ibnu Abbas dan mereka tidak membid’ahkan
sahabat lain yang berpendapat sama dengan Ummul Mukminin radhiallahuanha.”
Ibnu Taimiyah juga menyebutkan adanya
perselisihan antara Aisyah dengan para sahabat yang lain dalam masalah doa,
apakah didengar oleh mayit atau tidak. Juga perbedaan para sahabat dalam
menyikapi parkataan Rasulullah yang memerintahkan agar mereka tidak shalat
Ashar kecuali ketika tiba di Bani Quraidhah. Ketika waktu Ashar tiba pada saat
dalam perjalanan, ada sebagian sahabat yang memilih shalat Ashar di perjalanan
karena takut terlewatkan waktu ashar dan ada yang tetap tidak shalat Ashar,
kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah walau waktu Ashar telah habis. Dan
tidak ada satu orang pun dari mereka yang dicela.(Lihat, Majmu’ah Al Fatawa,
vol. 24, hal. 95-96).
Dalam Khilaf Al Ummah fi Al Ibadat wa
Madzhab Ahlu As Sunnah, Syaikhul Islam menyebutkan: “Para sahabat telah
bersepakat -dalam masalah yang mereka selisihkan- untuk mengakui tiap-tiap
kelompok dalam mengamalkan hasil ijtihadnya masing-masing (lihat, Risalah
Ulfah, hal. 79).*
Ikhtilaf dalam Masalah Ijtihad
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah
ditanya tentang orang-orang yang bertaklid kepada sebagian ulama dalam masalah
ijtihad, apakah harus dingkari dan dijauhi? Beliau menjawab: “Alhamdulillah,
dalam masalah-masalah ijtihad, barang siapa mengamalkan pendapat ulama tidak
boleh diingkari atau dijauhi. Dan barang siapa mengambil salah satu dari dua
pendapat juga tidak boleh dingkari, jika dalam sebuah masalah ada dua pendapat.
Apabila seseorang mengetahui ada salah satu dari dua pendapat yang lebih rajih,
maka hendaklah ia mengamalkannya, jika tidak maka dibolehkan dia bertaklid
terhadap beberapa ulama yang bisa dijadikan rujukan untuk menjelaskan pendapat
yang lebih rajih diantara dua pendapat, wallahu’alam.” (Majmu’ah Al Fatawa,
vol. 20, hal. 115)
Beliau berkata di tempat lain:”Adapun
ikhtilaf dalam permasalahan hukum, bisa lebih banyak lagi. Seandainya saja jika
dua orang muslim ikhtilaf dalam suatu masalah dan keduanya saling menjahui maka
tidaklah tersisa dari umat ini kemaksuman dan persaudaraan…” (Majmu’ah Al
Fatawa, vol. 24, hal 96).
Syaikhul Islam dalam Khilaf Al Ummah fi
Al Ibadat wa Madzhab Ahlu As Sunnah juga menyebutkan Imam Ahmad yang
berpendapat bahwa membaca basmalah dalam shalat tidak perlu dengan jahr. Akan
tetapi beliau membaca basmalah dengan jahr jika shalat di Madinah, karena penduduknya
membaca basmalah dengan jahr. Qadhi Abu Yu’la Al Fara’ menjelaskan bahwa Imam
Ahmad melakukan hal itu dalam rangka menjaga ukhuwah (Risalah Ulfah, hal. 48).
Larangan Berpecah-Belah
Salah satu penyebab perpecahan umat
adalah imtihan (menguji) dengan penisbatan yang tidak berdasarkan nash. Seperti
yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah, yaitu dengan mengatakan kepada
seseorang:”Kamu Shukaily atau Qarfandi?” Maka jika seseorang ditanya dengan
pertanyaan seperti itu, jawabnya adalah:”Saya bukan Shukaili atau Qarfandi,
akan tetapi saya muslim yang mengikuti Kitabullah dan sunnah rasul-Nya.”
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Ibnu
Abbas ditanya oleh Muawiyah:”Kamu mengikuti millah Ali atau millah Utsman?”
Beliau menjawab: “Saya tidak mengikuti millah Ali ataupun Utsman, akan tetapi
saya mengikuti millah Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam.”
Begitu juga tidak diperbolehkan imtihan
(menguji) dengan penisbatan yang sudah umum dipakai para ulama, seperti
penisbatan kepada Imam (Al Hanafi, Al Maliki, As Syafi’i atau Al Hambali),
yaitu dengan mengatakan: “Kamu Hanafi atau Maliki?” Juga penisbatan kepada guru
( Al Qadiri atau Al ‘Adawi), atau qabilah (Al Qaisi atau Al Yamani), atau
negeri (Al Iraqi, Al Mishri atau As Syami). Juga tidak boleh berloyalitas atas
nama-nama ini dan tidak pula menyakiti mereka yang bernisbah kepadanya. Adapun
yang paling muliya di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa, tidak pandang
dari thaifah mana pun dia (Lihat, Majmu’ah Fatawa, vol. 3, hal. 255).
Loyalitas Tidak Didasari Atas Penisbatan
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah-rahimahullah- mengatakan: “Allah telah memberi kabar, bahwa orang
mukmin memiliki loyalitas kepada Allah, rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang
mukmin. Mukmin di sini bersifat umum, barang siapa beriman maka dia disifati
dengan sifat ini. Baik mereka yang menisbahkan diri, atas negeri, madzhab,
thariqah atau yang tidak menisbahkan diri. Allah telah berfirman:”Dan laki-laki
yang beriman serta perempuan yang berimana, sebagian mereka menjadi penolong
sebagian yang lain.”(At Taubah: 71).
Ibnu Taimiyah juga menyebutkan beberapa
hadits, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
“Permisalan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih dan sayang atas sesama
mereka seperti satu tubuh, jika salah satu dari anggota badan sakit maka
seluruh badan ikut demam susah tidur.” (Lihat, Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal.
257)
Tawadhu’ Ibnu Taimiyah Kepada Ulama
Madzhab Lain
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak hanya
cukup berfatwa, lebih dari itu, amalan beliau mencerminkan apa yang beliau
katakan. Ibnu Taimiyah tetap bisa bersikap obyektif kepada para ulama lain
walaupun mereka berbeda pendapat atau madzhab. Meskipun beliau dalam banyak hal
mengambil pendapat Madzhab Hambali akan tetapi beliau memiliki beberapa murid
yang bermadzhab lain, seperti Ibnu Katsir (774 H) dan Imam Ad Dzahabi (748 H),
keduanya bermadzhab Syafi’i.
Antara Ibnu Taimiyah dan Taqiyuddin As
Subki (756 H) yang bermadzhab Syafi’i sering saling mengkritik lewat karya
masing-masing, akan tetapi Ibnu Taimiyah tetap memuji karya-karya Taqiyuddin As
Subki, dan beliau tidak memberi penghormatan kepada orang lain sebagaimana
beliau menghormati Taqiyuddin As Subki (lihat, Tabaqat Asyafi’yah Al Kubra,
vol.10, hal. 194).
Yang juga perlu dicontoh dari Ibnu
Taimiyah adalah sifat tawadhu’ beliau terhadap ‘Alauddin Al Baji (724 H), salah
satu ulama madzhab Syafi’I, mutakallim, yang mempunyai majelis perdebatan.
Suatu saat mereka berdua bertemu, dan Al Baji berkata kepada Ibnu Taimiyah:
”Bicaralah, kita membahas permasalahan denganmu.” Akan tetapi Ibnu Taimiyah
menjawab:”Orang sepertiku tidak akan berbicara di hadapan anda, tugasku adalah
mengambil faidah dari anda.” (Tabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, vol. 10, hal.
342)
Nasehat Ibnu Taimiyah
Syikhul Islam –rahimahullah- mengatakan:
“Perpecahan umat yang telah menimpa para ulama, para masyayikh, umara’, serta
para pembesarnya merupakan penyebab berkuasanya musuh atas mereka. Dan itu
disebabkan karena mereka telah meninggalkan perintah untuk taat kepada Allah
dan Rasul-Nya…”
Di tempat lain dijelaskan, bahwa Allah
berfirman:”Dan hendaklah ada dari antara kamu satu golongan yang mengajak
kepada kebaikan dan menyeru kepada hal yang ma’ruf serta melarang hal yang
mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” Ibnu
Taimiyah mengatakan:”Amar ma’ruf adalah memerintahkan untuk bersatu dan
berkumpul adapun nahi mungkar adalah menegakkan hudud dengan Syari’at Allah.” (Lihat,
Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal. 259).
Maka, marilah kita rapatkan shaff, kikis
rasa ta’ashub pada diri kita, juga prasangka buruk terhadap yang lain, juga
perasaan bahwa diri kita selalu dalam kebenaran dan yang lain selalu berada
dalam kebathilan, juga klaim bahwa hanya kita yang memahami dien sedangakan
yang lain hanyalah juhala’ yang tidak perlu didengarkan. Wallahu’alam bishowab.
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment