Rupiah dan Dajjaliyah
Saturday, August 31, 2013
0
comments
Oleh: Emha Ainun Nahib
TULISAN ini tidak mengupas soal gejolak
rupiah. Saya belum gendheng. Bukan saja karena saya bukan ahli ekonomi. Bahkan
benar-benar saya tidak mengerti ekonomi. Pahamnya saya kasih duit sepuluh ribu
rupiah, dapat sebungkus rokok.
Yang saya lakukan justru menyodorkan
sejumlah paket kepada sampeyan, koen, peno, ndiko, riko, panjenenganipun maupun
awakmu, untuk dirasani, digunjing-gunjingkan di warung, didiskusikan, kalau
sempat.
Kalau tidak ya biarkan saja, wong diskusi
sampeyan-sampeyan ini tidak akan memperkuat atau memperlemah kekuatan bargain
rupiah terhadap dolar maupun terhadap mata uang kerajaan Ratu Bulkis sekalipun.
Meskipun sampeyan diskusi sampai mblenek
dan bengok-bengok sampai tenggorokan mencolot, rupiah akan tetap dengan
iramanya sendiri, dimana kaitannya dengan sampeyan hanyalah bahwa sampeyan ini
terkena akibatnya. Di negeri dan di dunia ini sampeyan bukan subjek, melainkan
objek. Sampeyan jadi subjek hanya dalam menentukan hal-hal remeh-remeh, serta
dalam kosmos mimpi sampeyan sendiri.
Hanya saja saya jamin rupiah tidak akan
sampai ke posisi mata uangnya Ashabul Kahfi, yang tertidur selama 309 tahun
sehingga ditertawakan orang di seluruh pasar dunia tatkala hendak dipakai untuk
menjadi nilai tukar.
***
Agar tulisan ini tidak terkesan
bertele-tele -- layaknya ketika kita berurusan dengan birokrasi-- maka paket
yang saya sodorkan itu misalnya begini.
Pertama, kalau mau tanya soal grafik
“harga diri” rupiah di tengah dunia persilatan ekonomi global — jangan hanya
temui Pak Hatta Rajasa, Pak Agus Martowardjojo atau yang mpunya kuasa di negeri
"tercinta" ini. Jangan pula malah menanyakan ke Majelis Ulama atau
Lajnah I’lai Darrojati Rubiah organisasi Islam manapun.
Tanyakan juga kepada Kepala Negara Dajjal
yang batas kekuasaannya tidak dihalangi oleh garis perbatasan geografis dan
politis apa pun.
Dajjal bukan dunia fantasi. Bukan science
fiction. Bukan mitologi. Bukan klenik. Bukan metafora bahasa agama — meskipun
memang sampeyan perlu shalat kasyful hijab dua rakaat untuk memohon berjumpa
dengan Baginda Sulaiman ‘alaihissalam — untuk mendapatkan informasi dan wacana
mengenai tugas-tugas dan strategi global Dajjal di bumi.
***
Kedua, terbanglah juga ke kantor-kantor
rahasia negeri dan millennium israiliyat, yang berpusat justru tidak di Timur
Tengah yang ribut melulu di dunia maupun akhirat. Melainkan di balik meja-meja
dan di bawah taplak-taplak kantor pemerintahan negara adikuasa, semi adikuasa,
maupun yang rela ataupun tak rela menjadi pekatik-pekatik dari keadikuasaan
mereka.
Anda tidak cukup hanya berpikir ada
spekulan, ada petualang, ada kecurangan-kecurangan tersembunyi di mana
negeri-negeri Asia Tenggara di-plekotho kali ini, sehingga -- si Bung Karno
kecil -- Mahathir Muhammad yang berani gagah itu menantangnya. Harus diperjelas
piranti lunak dan piranti keras daulah mereka di muka bumi ini, yang tidak
pernah disebut-sebut oleh koran dan segala macam media massa.
***
Ketiga, kita digangguin dan dirongrong
dari luar, tapi kita juga mengganggu dan merongrong diri kita sendiri.
Kita ikut mengizinkan konglomerasi sampai
ke titik sangat optimum, yang hampir sama sekali tidak memungkinkan penataan
kesejahteraan nasional yang adil dan maksimal. Kemudian di-kemplang dengan tak
bisa dielakkannya milik-milik mereka ke mancanegara.
Untung Tuhan bikin alam negeri ini
kaya-raya, termasuk “kearifan kultur kemiskinannya di antara rakyat” sedemikian
rupa sehingga masih bisa dihindarkan situasi collapse nasional.
Itu pun sesungguhnya kita masih memiliki
sangat-sangat banyak warisan harta dari tokoh nasionalis zuhud yang menjadi
kekasih pertama bangsa Indonesia. Tanyakan kepada tetanggamu hal-hal mengenai
Dana Ampera (jangan dijerumuskan oleh istilah “Dana Revolusi” yang memang
dipasang untuk mengelabui pengetahuan dan perhatian Anda).
Sekurang-kurangnya cari tahu siapa itu
yang rampal untune di sebuah kota kecil di tengah-tengah sana gara-gara
bersumpah seperti “Bilal” di depan Umayyah — tidak akan bersedia melepaskan
warisan yang (sebagian) diamanatkan ke genggaman tangannya untuk dibagi 60%
untuk “penodong resmi”-nya dan hanya 40% untuk rakyat kecil.
***
Panjang kalau saya teruskan. Akan lebih
afdhol jika tulisan ini saya persingkat.
Paketnya saya tambahi satu lagi saja:
bagi orang-orang yang tidak begitu punya rupiah seperti saya dan sampeyan, naik
turunnya maqam rupiah sebenarnya akan berakibat mirip-mirip saja. Rupiah naik
kita yang menderita. Rupiah turun ya menderita.
Pokoke bekupon omahe doro, melok Kliwon
tambah sengsoro.
*) Alumni SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta
*) Alumni SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta
Sumber: facebook.com/pages/Emha-Ainun-Nadjib
0 comments:
Post a Comment