Sepatutnya Kontes Miss World Dibatalkan (2); “Penistaan Martabat Perempuan”
Sunday, August 18, 2013
1
comments
Oleh: Dr. Adian Husaini
LAZIMNYA, perempuan biasanya ingin tampil
cantik, dan senang dipuji kecantikannya. Sementara laki-laki lazimnya senang
memandang kecantikan perempuan. Keinginan naluriah itu ada pada manusia.
Rasulullah saw pun memberitahukan, bahwa perempuan dikawini karena empat hal:
kecantikannya, hartanya, nasabnya, dan juga agamanya. Nabi memerintahkan untuk
mengutamakan faktor agama, jika rumah tangganya mau selamat. Toh, faktor cantik
tidak dilarang untuk dijadikan sebagai pertimbangan. Sebab, itu memang naluriah
laki-laki normal.
Al-Quran juga menjelaskan, salah satu
syahwat dunia adalah kecintaan kepada perempuan, anak-anak, harta
perniagaan,emas dan perak, sawah ladang, dan peternakan. (QS 3:14).
Islam bukanlah agama yang membunuh naluri
manusia, sehingga melarang pemeluknya untuk menikah dengan alasan untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tapi, Islam juga bukan agama yang
memerintahkan umatnya untuk mengumbar nafsu syahwatnya. Islam adalah agama yang
sesuai dengan fitrah manusia. Islam menunjung tinggi prinsip keadilan.Islam
tidak membunuh hawa nafsu, tetapi mengendalikan dan mengatur hawa nafsu, sesuai
dengan konsep Sang Pencipta, agar manusia meraih kebahagiaan (sa’adah); bukan
sekedar meraih kepuasan syahwat jasmaniah.
Seperti telah kita bahas dalam CAP-359,
peradaban Barat yang mencengkeram pemikiran manusia modern saat ini, adalah
peradaban yang secara ekstrim memuja ‘materi’.
Unsur-unsur fisik dieksploitasi untuk
kepuasan syahwat secara berlebihan. Sementara unsur “jiwa” (nafs) diabaikan,
dan diserahkan kepada kendali syahwat. Peradaban Barat modern adalah peradaban
yang memuja “kekuasaan, kekayaan, kecantikan, dan kepopuleran” (power, wealth,
beauty, popularity). Dalam posisi seperti inilah, aspek kecantikan perempuan mendapatkan
tempatnya. Para desainer dan juru gambar berusaha keras bagaimana
mengeksploitasi dan mendandani tubuh perempuan agar “memuaskan”, menarik, dan
membangkitkan syahwat laki-laki. Para manajer eksploitasi syahwat itu tahu
persis, bagian-bagian mana dati tubuh perempuan yang harus dibuka dan bagian
mana yang harus ditutup, agar – kata mereka – tampak indah, cantik, dan
menarik.
Dunia industri kapitalis yang tidak
peduli halal-haram pun tak lupa memanfaatkan (mengeksploitasi) tubuh perempuan
agar menjadi daya tarik konsumen, meskipun terkadang, tak ada hubungan antara
produk dan tubuh perempuan. Misal, ditampilkannya perempuan seksi untuk
mengiklankan produk ban dan cat pengkilat mobil. Tentu, perancang iklan itu
paham betul, bahwa tampilnya perempuan cantik dengan pakaian ala kadarnya bisa
membangkitkan minat (syahwat) pembeli.
Mantan Menteri P&K, Dr.Daoed Joesoef
memberikan kritik keras terhadap kontes-kontes kecantikan, dengan menyebutkan
bahwa: ”Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah
suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari
makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup
keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang,
rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus
merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki
dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah.” (Dikutip dari buku “Dia dan
Aku: Memoar Pencari Kebenaran” (Jakarta: Kompas, 2006).
Itulah sebenarnya tujuan utama kegiatan
kontes kecantikan. Yakni, eksploitasi tubuh perempuan untuk keuntungan bisnis
tertentu. Ironisnya, kegiatan bisnis ini dikemas dengan jargon-jargon sosial
bahkan pendidikan. Seolah-olah, kontes kecantikan perempuan adalah untuk
mengangkat harkat dan martabat perempuan. Padahal, menurut Daoed Joesoef, semua
itu adalah bohong belaka. Praktik kontes perempuan lebih merupakan bentuk
eksploitasi terhadap perempuan. Pakaian yang ala kadarnya – biasanya berupa
bikini dan sejenisnya – disyaratkan untuk dikenakan pada sesi tertentu agar
tubuh kontestan dapat dilihat dan diukur dengan jelas.
Kata Daoed Joesoef: ”Namun tampil berbaju
renang melenggang di catwalk, ini soal yang berbeda. Gadis itu bukan untuk mandi,
tapi disiapkan, didandani, dengan sengaja, supaya enak ditonton, bisa dinikmati
penonjolan bagian tubuh keperempuanannya, yang biasanya tidak diobral untuk
setiap orang… setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada
(badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia
sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan
keuntungan siapa?”
Itu pendapat Dr. Daoed Joesoef yang
dikenal sebagai salah satu tokoh sekuler di Indonesia. Jika tokoh sekuler saja
berani bersikap tegas, seyogyanya para tokoh Islam – apalagi yang sedang
memegang kendali kekuasaan – berani bersikap lebih tegas lagi. Substansi dari
kontes kecantikan yang mengumbar dan mengeksploitasi keindahan tubuh perempuan
adalah pola pikir dan kegiatan yang keliru. Dalam istilah Islam, itu disebut
hal yang batil dan mungkar.
Kata Rasulullah, jika seorang melihat
kemungkaran, maka ubahlah dengan ‘tangan’-nya; jika tidak mampu, dengan lisan
(ucapannnya); dan jika tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hatinya. Tapi,
ingkar dengan hati, tidak rela dan benci terhadap kemungkaran, adalah
selemah-lemahnya iman.
Tentu saja orang bisa melihat pada sisi
yang berbeda. Tergantung pada cara pandangnya terhadap realitas (worldview).
Seorang yang berpaham materialisme dan sekulerisme tidak mempersoalkan masalah
moral terhadap kontes semacam ini. Haram-halal, berdosa atau berpahala, ibadah
atau maksiat, bukanlah hal penting bagi kaum materialis. Bagi mereka yang
terpenting adalah kelimpahan materi, ketenaran, dan puja-pujian terhadap
kecantikannya.
Cobalah renungkan, betapa kasihannya
orang yang terjangkit pemikiran semacam ini. Ia salah. Ia tanpa sadar telah
dikendalikan oleh setan untuk mengumbar hawa nafsunya. Hawa nafsu telah
dijadikan Tuhan. Orang seperti ini, sudah tertutup mata, telinga, dan hatinya
dari kebenaran. (QS 45:23).
Al-Quran menyebutkan, bahwa orang yang merasa
benar dan merasa telah berbuat baik, padahal amalnya sesat dan salah, adalah
manusia yang paling merugi amalnya. (QS 18:103-104).
Kecantikan bagi seorang perempuan adalah
karunia dan sekaligus ujian Allah bagi si perempuan. Harusnya, kecantikannya digunakan
untuk beribadah dan dakwah. Ironisnya, biasa kita saksikan, perempuan-perempuan
yang terjebak oleh bujuk rayu setan agar mengeksploitasi kecantikan dan
kemolekan tubuhnya untuk menggoncang-goncang syahwat lawan jenisnya. Dan itu
tentu ada imbalan yang menggiurkan, berupa kemikmatan hidup duniawi.
Untuk tampil cantik – tepatnya untuk
dikatakan cantik – sebagian perempuan mau melakukan tindakan hina dengan
membuka auratnya. Padahal, jika dirnungkan dengan hati tulus ikhlas, jika
jutaan orang sudah memuji-muji kecantikannya, apakah si perempuan akan bahagia?
Seorang yang menggantungkan hidupnya pada
pujian manusia, tidaklah akan pernah meraih bahagia sejati. Segala puji hanya
layak dipanjatkan kepada Allah. Bukan manusia yang patut dipuji degan melupakan
Allah. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Sebab. kecantikan, ketampanan,
ketenaran, kekayaan, kekuasaan, dapat diraih seseorang hanya karena atas ijin
dan karunia Allah. Jika Allah menghendaki, dalam sekejap, semua kecantikan yang
dipuja-puja itu bisa sirna.
Si empunya kecantikan sepatutnya mau
berpikir, bahwa tak lama lagi, kecantikannya akan pudar . Kecantikan yang
diumbar dan ‘dijualnya’ akan sirna. Puji-pujian itu pun akan hilang. Bersamaan
dengan itu, muncullah perempuan-perempuan yang lebih cantik dan lebih menarik
dari dia. Sungguh kasihan, jika seorang menggantungkan kebahagiannya pada
pujian orang. Sebab, itu tak kan diraihnya. Pujian manusia bisa buat puas
sementara waktu. Bukan kebahagiaan yang hakiki yang hanya bisa diraih oleh
orang taqwa.
Martabat perempuan
Jurnal Islamia-Republika edisi 18 April
2013 menurunkan laporan utama tentang martabat perempuan dalam pandangan Islam.
Dalam artikelnya, “Teologi Perempuan dalam Islam”, Fahmi Salim – Wasekjen
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) -- mengungkapkan kisah
seorang sahabat perempuan bernama Asma’ binti Yazid yang mengajukan aspirasi
kaumnya kepada Rasulullah saw. Di zaman “pemaksaan paham kesetaraan gender”
saat ini, aspirasi Asma’ perlu kita renungkan.
Ketika itu, Asma’ mendatangi Rasulullah,
saat beliau sedang berkumpul dengan sejumlah sahabat laki-laki. Berikut
aspirasi kepada Rasulullah: “Demi Allah yang menjadikan ayah dan ibuku
tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh muslimah. Tiada satu
pun diantara mereka saat ini kecuali berpikiran yang sama dengan aku. Sungguh
Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan perempuan, lalu kami beriman
dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas aktivitasnya, menunggui rumah kalian
para suami, dan yang mengandungi anak-anak kalian. Sementara kalian kaum lelaki
dilebihkan atas kami dengan shalat berjamaah, shalat jumat, menengok orang
sakit, mengantar jenazah, bisa haji berulang-ulang, dan jihad di jalan Allah.
Pada saat kalian haji, umrah atau berjihad, maka kami yang jaga harta kalian,
menjahit baju kalian dan mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami tidak bisa
menyertai kalian dalam semua kebaikan itu?”
Rasul melihat-lihat para sahabatnya dan
berkata, “Tidakkah kalian dengar ucapan perempuan yang bertanya tentang
agamanya lebih baik dari Asma’?”
“Tidak wahai Rasul,” jawab sahabat.
Beliau lalu bersabda, “Kembalilah wahai
Asma’ dan beritahukan kaummu bahwa melayani suami kalian, meminta keridhaannya,
dan menyertainya ke mana pun ia pergi pahalanya setara dengan apa yang kalian
tuntut”. Asma’ lalu pergi keluar seraya bertahlil dan bertakbir kegirangan.
Kisah diatas direkam oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam kitab Ma’rifat
al-Shahabah (Vol.22/420).
Aspirasi Asma’ berbeda secara substansial
dengan aspirasi kaum pegiat kesetaraan gender saat ini. Asma’ tidak menuntut
kesetaraan secara nominal; bahwa perempuan dan laki-laki harus sama-sama aktif
di ruang publik untuk kemajuan pembangunan. Perempuan yang aktif mendidik
anak-anaknya di rumah dengan sungguh-sungguh tidak dianggap telah
berpartisipasi dalam pembangunan. Yang dituntut oleh Asma’ adalah kesetaraan
substansial, bukan kesetaraan nominal. Peran bisa berbeda. Tapi,peluang untuk
meraih pahala dari Allah adalah sama besarnya.
Karena itulah, setelah Rasulullah memberitahukan
bahwa istri yang taat dan diridhai suami serta menyertai suaminya, mendapatkan
pahala yang sama dengan pahala suaminya, maka Asma’ bertakbir kegirangan. Asma’
tidak menuntut peran yang sama dengan laki-laki. Yang dituntut adalah pahala
dari Allah. Sungguh berbeda tuntutan Asma’ dengan aktivis gender yang tidak
menggunakan logika pahala dan ibadah saat merumuskan paham “kesetaraan gender”
sekuler.
Akibat adanya kekeliruan dalam
menggunakan tolok ukur “martabat perempuan” maka pemerintah dan DPR telah
sepakat untuk menetapkan angka minimal untuk pengurus perempuan dalam partai
politik adalah 30 persen. Peneliti INSISTS, Dr. Dinar Dewi Kania dalam artikelnya
yang berjudul “Martabat dan Keterwakilan Perempuan”, mengupas secara tajam
kekeliruan cara pandang UU nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan UU No
2 tahun 2011 tentang Partai Politik dalam kaitan dengan martabat perempuan.
Kedua Undang-Undang itu telah memberi mandat kepada partai politik untuk
melibatkan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari daftar caleg yang diusulkan
partai politik peserta pemilu.
“Umat Islam seharusnya dapat lebih jeli
menilai bahwa aturan tentang kuota caleg perempuan berpotensi mengalihkan
perhatian perempuan dari peran utama mereka sebagai ibu dan pendidik anak-anak
di rumah. Bahkan, dalam paham ini, tugas dan peran sebagai Ibu rumah tangga
dipandang sebelah mata, dianggap tidak lebih mulia ketimbang aktif di parlemen.
Apakah mereka berpikir, bahwa dengan ”memaksa” perempuan aktif di ruang publik
dan meninggalkan keluarga, maka laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dapat
lebih leluasa bergaul sampai larut malam, demi ”kemajuan bangsa”? Sementara
suami harus menjaga anak-anak bersama pembantu di rumah, menunggui istrinya
pulang dari raker berhari-hari di luar kota?” tulis Dr. Dinar Kania.
Seorang Muslim pasti memiliki cara
pandang yang khas terhadap “martabat perempuan”. Cara pandang muslim
berlandaskan pada prinsip keadilan dalam Islam. Islam mengajarkan pemeluknya
agar berperilaku adil kepada seluruh umat manusia tanpa memandang harta,
kedudukan atau jenis kelamin. Allah swt telah menegaskan, bahwa” ....
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” Dengan ayat ini, ajaran Islam secara tegas menetapkan bahwa
nilai kemuliaan seorang manusia diukur dari iman, ketinggian akhlak dan
perbuatan-perbuatan baiknya.
Menyimak kekeliruan dan ketidakberadaban
kontes-kontes kecantikan, kita berharap tidak ada orang Muslim yang ikut-ikutan
mendukung berbagai jenis kontes kecantikan, semisal kontes Miss World. Jadi,
kontes Miss World bukanlah hanya soal baju, tapi soal penetapan dan pemberian
penghargaan martabat perempuan yang keliru. Tidaklah tepat jika ada pemimpin
daerah yang menyetujui acara semacam itu, hanya karena pada kontes kali ini
tidak lagi diperagakan parade bikini. Andaikan kontes Miss World menggunakan
mukena sekali pun, kontes semacam itu tetap keliru, sebab martabat utama
perempuan dinilai berdasarkan unsur utama kecantikan fisiknya. Kontes semacam
ini sudah salah menetapkan martabat perempuan.
Tulisan ini hanyalah sekedar bentuk
taushiyah kepada sesama Muslim, yang masih terlibat dalam acara Miss World dan
sejenisnya. Semoga mereka menyadari kekeliruannya. Cobalah bayangkan, andaikan
di Hari Akhir nanti, penyelenggara acara kontes atau pemimpin daerah yang
menyetujui acara itu, ditanya oleh Allah SWT! Apa jawab mereka? Apakah mereka
merasa telah beramal shalih, karena berhasil mendatangkan devisa? Apa bedanya
dengan meraih penghasilan dari pajak pelacuran dan perjudian?
Rasulullah bersabda: “Dua golongan ahli
neraka yang belum pernah saya lihat sebelumnya: para lelaki yang membawa cambuk
di tangannya seperti ekor sapi yang digunakan untuk mencambuk manusia, dan
perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, sesat dan menyesatkan.
Kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga,
bahkan tidak mencium baunya.” (HR Muslim).
Sebagai pengemban perjuangan risalah
kenabian, tugas kita hanyalah menyampaikan titah baginda Rasul saw tersebut
kepada umat manusia, apa pun agamanya. Semoga bermanfaat bagi yang mau mengikuti
petunjuk-Nya.*
Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan
Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil
kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Sumber: hidayatullah.com
1 comments:
Astaghfirullah ya ALLAH, maha besar ALLAH yang maha pengasih dan penyayang,. semoga ALLAH mengampuni kami,. dan melindungi dari hal-hal yang hina,..
Post a Comment