Mari Belajar dari Sifat Besi
Sunday, September 15, 2013
0
comments
Apakah sifat-sifat besi yang paling
menonjol?” Semua orang pasti sepakat,
besi memiliki kekokohan dan keuletan materialnya. Karena logam ini sering disebut besi tuang ulet (ductile cast
iron). Menariknya, meski kuat dan ulet, ia mudah dibentuk. Dan salah satu
kelemahan besi adalah mudah mengalami korosi.
Lantas, bagaimana bias benda ini bida
dijadikan pelajaran (ibrah) bagi manusia?
Sesunnguhnya, besi memiliki sifat
istimewa. Sekeras apapun ia, pada dasarnya ia patuh pada keadaan tertentu yang
mengharuskannya lebur dan mencair. Ketika itulah ia akan tunduk kepada siapa
pun yang membentuknya. Namun, ia juga memiliki sifat lemah, yakni mudah
berkarat, sehingga rapuh dan kehilangan kekuatannya. Inilah Sunnatullah yang
telah Allah tanamkan kepada besi, agar menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita,
sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surah Ali ‘Imran: 190.
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي
الألْبَابِ
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” Kali ini, kita akan menarik
ibrahnya ke dalam dunia pendidikan, baik dalam konteks sekolah maupun dakwah
umum.”
Pelajaran pertama. Syarat awal seseorang
bisa dididik dan diluruskan adalah jika dia telah bersedia patuh dan tunduk
kepada pembentuknya.
Manakala dia telah tunduk, maka segala
pemberian gurunya akan diserap seperti spons. Sebagaimana besi yang mudah
dibentuk manakala telah mencair, maka hati manusia juga akan mudah diarahkan
jika telah melunak. Selama masih keras, selalu timbul perlawanan dan penolakan.
Jika dipaksa, hasilnya mungkin patah, mau tunduk namun tidak terlihat indah,
atau kedua belah pihak sama-sama penyok.
Mendidik manusia pada dasarnya adalah
perjuangan memenangkan hati, yakni melunakkannya agar bersedia lebur ke dalam
kebaikan yang ditunjukkan. Oleh karenanya, dalam adab belajar yang diajarkan
Islam, seorang murid harus hormat, percaya, dan tunduk kepada gurunya. Para
ulama sangat menyadari bahwa tidak ada pendidikan yang berfungsi selama murid
tidak bersedia mematuhi gurunya, sebagaimana sulitnya pasien untuk sembuh jika
ia tidak mau menuruti nasehat dokternya.
Dalam skala luas, manusia tidak akan
mendapatkan manfaat dari pendidikan Allah Subhanahu Wata’ala (yakni, al-Qur’an
dan as Sunnah) selama mereka tidak bersedia tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya.
Maka, syarat pertama berproses menjadi muslim adalah mengucapkan dua kalimat
syahadat, yakni bersaksi dan menerima sepenuh hati Allah sebagai satu-satunya
Tuhan, dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Inilah awal kepasrahan diri, yakni
menyerahkan seluruh otoritas kepada Allah dan Rasul-Nya, alias menyatakan
kesiapan diri untuk patut tanpa syarat.
Dalam konteks inilah Allah berfirman,
“Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan pena. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah,
sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya
serba cukup. (QS. al-‘Alaq: 3-7).
Menurut al-Qur’an, ketika manusia merasa
serba cukup dengan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan Tuhannya, maka mereka
tidak akan bisa dididik! Karena ia sudah berpotensi sombong.
Pelajaran kedua dari sifat besi yang bias
jadi pelajaran kita semua adalah; dalam pendidikan, manusia harus dikondisikan
dan diantarkan agar hatinya luluh, sampai melunak dan baru siap dibimbing.
Dalam kitab al-Ghunyah, ketika membahas
bagaimana seyogyanya seorang guru mendidik murid, atau juru dakwah membimbing
umat, Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilani menulis;
“Pergaulilah murid
dengan nasihat yang paling bijak. Perhatikan mereka dengan tatapan mata penuh
kasih-sayang. Bersikaplah lunak dan lemah-lembut ketika mereka belum mampu
menyelesaikan tugas dan latihan yang diberikan. Didik mereka seperti seorang
ibu yang mengasuh anaknya; seperti seorang ayah yang penyayang, bijak dan
cerdik ketika menghadapi anak-anak dan para pembantunya. Awalnya, berikan
kepada mereka beban tugas yang paling mudah, dan jangan memikulkan kepada
mereka sesuatu yang tidak mereka mampui; setelah itu baru berikan kepada mereka
beban tugas yang lebih berat. Pertama-tama, suruh mereka untuk meninggalkan
kecenderungan menuruti kebiasaan dan tabiatnya dalam segala hal. Mulailah
dengan kewajiban-kewajiban syar’i yang ringan-ringan, sehingga mereka bisa
keluar dari belenggu dan dominasi kebiasaan serta tabiatnya itu, dan akhirnya
bisa beralih menjadi di bawah ikatan syari’at dan pengabdian di dalamnya.
Kemudian, pindahkan mereka dari yang bersifat ringan-ringan itu kepada yang
bersifat lebih berat sedikit demi sedikit. Hapuskan sesuatu bagian yang
bersifat ringan tadi, dan tempatkan sebagai gantinya sesuatu bagian lain yang
bersifat berat.”
Pelajaran ketiga dari besi adalah; jiwa
manusia harus selalu dirawat dan dijaga, agar tidak berkarat dan kehilangan
kekuatannya.
Sebagian ulama berkata, “Sebagaimana
besi, bila tidak dipergunakan ia akan diselubungi karat sampai akhirnya hancur,
demikian pula ketika hati kosong dari hikmah, ia akan didominasi oleh kejahilan
sampai akhirnya mati.” (Diriwayatkan al-Khara’ithy dalam I’tilalu al-Qulub, no.
49).
Apakah “hikmah” itu? Dalam kitab
At-Tafsir Al-Hadits, Syeikh Izzat Darwazah menjelaskan, “Ia (yakni, istilah
hikmah) dipakai untuk menunjuk setiap perkataan, perbuatan dan sesuatu yang
mengandung kebenaran, ketepatan, haqq, petunjuk, kebajikan, ma’ruf, kestabilan,
dan kemantapan; yang jauh dari sifat-sifat sembrono, tolol, keras, kasar,
melampaui batas, membahayakan, dan batil.”
Dengan kata lain, ketika manusia memenuhi
hidupnya dengan kebalikan dari hikmah – dalam pengertiannya yang luas ini –
maka sebentar lagi hatinya akan diselimuti karat, sebelum akhirnya hancur
samasekali. Na’udzu billah!
Semoga kita bisa belajar dari sifat-sifat
besi dan menjadikan kehidupan kita lebih baik di masa datang.*
Alimin Mukhtar, penulis tinggal di Malang
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment