Penyimpangan di Sekitar Teks Proklamasi
Tuesday, September 3, 2013
0
comments
Tidak banyak di antara generasi muda di Indonesia yang mengetahui
bahwa sebenarnya ada problem mendasar di sekitar peristiwa proklamasi Republik
Indonesia. Adalah seorang tokoh sejarah bernama KH Firdaus AN yang menyingkap
terjadinya pengkhianatan terhadap Islam menjelang, saat, dan setelah
kemerdekaan. Menurut beliau semestinya ada sebuah koreksi sejarah yang
dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks
proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan.
Dalam penjelasan ensiklopedia bebas wikipedia, naskah proklamasi
ditulis tahun 05 karena sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun
2605. Berikut isi teks proklamasi yang disusun oleh duet Soekarno-Hatta:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan
tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (atau Sajoeti
Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di Rumah Bung Karno, jl.
Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum’at, bulan
Ramadhan, pukul 10.00 pagi.
Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi diatas:
Teks Proklamasi seperti tersebut diatas jelas melanggar konsensus,
atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.
Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam
Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan
Indonesia.
Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya
Sekitar Proklamasi hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu,
‘Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada
tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta, ‘ tidak dapat
diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung
tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di
Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan?
Mengapa mereka bisa ke rumah Mayjend. Nisimura, penguasa Jepang yang telah
menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama malam itu, tapi untuk
mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan
sebelumnya mereka tidak mau? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi
akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu
harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah
Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru
tanpa persiapan yang matang!
Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang
tokoh nasional (Soekarno-Hatta), tetapi harus ditanda-tangani oleh 9 (sembilan)
orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari
ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang
mestinya harus dihindari. Teks itu tidak otentik dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja
ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.
Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea
yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya, tidak mencerminkan aspirasi
bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan
terbesar bangsa ini, yakni para penganut agama Islam. Tak heran banyak pemuda
yang menolak teks Proklamasi yang dipandang gegabah itu. Tak ada di dunia, teks
Proklamasi atau deklarasi kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi
bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah,
karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada
kata maaf, karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli.
Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI
pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta.
Jelasnya, teks proklamasi itu haruslah berbunyi seperti di bawah
ini:
PROKLAMASI
Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan diatas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan
didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu,
untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap
bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada
ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Abikusno
Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH. Wahid
Hasjim, Mr. Muh Yamin.
KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk
selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras
mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya pada
setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks proklamasi “darurat”
susunan BK-Hatta. Hendaknya kembali kepada orisinalitas teks proklamasi yang
otentik seperti tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diatas.
Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang
mensinyalir bahwa dekadensi ummat terjadi secara gradual. Didahului pertama
kali oleh terurainya ikatan Islam berupa simpul hukum (aspek kehidupan
sosial-kenegaraan). Tanpa kecuali ini pula yang menimpa negeri ini. Semenjak
sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku “amanah” sejak hari pertama
memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya
sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan
meninggalkan kewajiban sholat. Mereka telah mencoret kata-kata “syariat Islam”
dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi “darurat” tersebut nama
Allah ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan!
Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan
pertolongan Allah ta’aala…!
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً
عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ
نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu
simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang
paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR.
Ahmad 45/134)
Sumber: eramuslim.com
0 comments:
Post a Comment