Puasa : Menuju Makan Sejati
Wednesday, September 25, 2013
0
comments
Oleh: emha ainun nadjib
Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari
Puasa itu jalan sunyi
Menggambar tapi tak terlihat
Bernyanyi tapi tak terdengar
Menangis tapi tak diperhatikan
Puasa itu jalan sunyi
Menjadi tanpa eksistensi
Pergi menuju kembali
Hadir tapi tak dikenali
----------
ILMU Rasulullah Muhammad, "hanya
makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang", telah menjadi
pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi
ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa
menyertainya dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup
mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.
Ada jarak yang tak terkirakan antara
pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem
menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke
sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap
dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam
suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.
Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang
itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya
dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai
oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri
kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi
dan kearifan jiwa kita.
Pengetahuan barulah tataran terendah dari
persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi mahluk yang bernama manusia. Tetapi,
ilmu pun belumlah "langit" tertinggi dalam kosmos "ahsani
taqwin" sebaik-baik mahluk - manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan
awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si
penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta.
Cinta adalah rem, pembijak, pengatif,
yang terkandang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau
permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala mana
pun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.
Adapun jika ilmu jika penghayatan akan
kebenaran, bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan
berkelangsungan intermanagable, atau dengan kata lain "bersuami-istri
dengan hubb" atau cinta maka tercapailah tataran "taqwa".
Taqwa itulah cakrawala perjalanan
kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta.
Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung
formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu
suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan,
yang terletak di garis kemungkinan "liga rabb", yakni kemungkinan
pertemuan hamba-hamba hina dina macam kita ini dengan Allah.
Sekarang bisalah kita membandingkan, apa
beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan
jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di
tangan orang yang bercinta saja dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang
bertaqwa.
Kemudian gampanglah bagi kita untuk
memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik,
adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja.
Gampanglah kita perhitungkan: terjaditikaman, siapa yang menikam dan yang
tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah
mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah
menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan
dan kebahagiaan bersama.
Rasanya tak enak untuk memuji-muji
Muhammad. Ada situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural
di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan
tersebut. Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam
itu, saya harus pelti" pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak bisa
menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan
bahwa arti harfiah kata "Muhammad adalah juga yang terpuji".
Apa yang ingin saya lakukan dengan
tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul
terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur
cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra "Ya Muhammad
kekasih", rasanya kosong, tak ada muatannya.
Muhammad menolehkan kepalanya dan
melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut
merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi.
Beliau pasti kecewa.
"Makan hanya ketika lapar, dan
berhenti makan sebelum kenyang" adalah formula tentang kesehatan hidup.
Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah
contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan
efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai
budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional
dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para
koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan
negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab,
kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan
distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh.
Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza,
lembur kuring atau masakan Jepang.
Yang menuntut berlebih pertama-tama
adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup
seharga seribu rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh
ribu, seratus ribu, aau terkadang sejuta rupiah.
Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas
antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki
lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul
kompleks tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna,
ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar,
tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis
makanan, inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota
dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul
penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas,
nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia.
Makan, yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah
itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi,
feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia
lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak
lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan,
dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur danperadaban,
yang biayanya menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini
dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang
kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada
proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan
teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu
pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya
juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat
sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa
efek, menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan
berperang dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan
"makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".
Maka yang bernama "makan
sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada
umumnya kita lakukan selama ini adalah "memberi makan kepada nafsu".
Perut amat sangat terbatas dan Allah
mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak
terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan
dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan
dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan
ketidakadilan dalam sejarah umat manusia maka sesungguhnya itulah contoh paling
konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan. Rekayasa budaya makan pada
masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal
rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi
atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan
manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan
itu sendiri.
Aktivitas puasa selalu diartikan - dan
memang benar demikian - sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali
karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak
bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan,
asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke
pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas
kebutuhan makan yang diperlukan.
Setiap pelaku puasa punya pengalaman
untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenismakanan dan minuman
sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut
sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa
semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu
dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan
"tidak boleh makan" atau "tidak adanya makanan", melainkan
melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian "nafsu"
dari "makan". Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita
yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk
"tidak makan" jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk
"tiak bernafsu makan", terutama bagi para penghayat "makan yang
sejati".
Seorang Sufi yang taraf pergaulannya
dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak
pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa
untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan
sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang
melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan
dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan
nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak
lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih
ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas
"makan" yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Dalam pelajaran keaktoran teater, ada
metoda "biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau
tidak overacting dan juga tidak underacting."
Padahal ilmu "makan sejati"
atau "makan pas"-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala
makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan
segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan
mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud mematikan nafkah
para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli
pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu
tahayul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang
sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah
kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke
terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa
rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan
kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik. Para
pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi,
menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan
membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern
adalah tahayul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius
di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan
hukum.
Ini adalah kata-kata "purba",
yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita
menghapusnya, karena setiap orang - setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya
- akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya
sendiri.
Puasa mengajarkan dan melatih
pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk
bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apa pun
saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan "lapar sejati", bukan
dalam keadaan "merasa lapas karena nafsu".
Jika orang menjalankan puasa dengan
pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada
"makan yang sejati". Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari
nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak
melakukan monopoli, ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan
dialaminya, bahwa itu semua adalah "makanan palsu".
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan,
betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan,
padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan,
padahal ia sudah amat kekenyangan.
Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa
sejati, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru
meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.
*) Alumni SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta
Sumber: facebook.com/pages/Emha-Ainun-Nadjib
0 comments:
Post a Comment