“Berdakwah di Papua, Luaarr Biasa Nikmatnya!”
Thursday, October 17, 2013
0
comments
Cita-citanya
sungguh mulia, yaitu mendengar suara azan Shubuh berkumandang di seantero tanah
Papua alias Irian, sehingga mampu “membangunkan” kaum Muslimin di Indonesia.
Berbagai upaya pun dilakukan.
Hasilnya:
900-an masjid telah tersebar di Papua, ribuan orang dimandikan secara massal,
diajari cara berpakaian, dikhitan, kemudian dituntun mengucapkan kalimah
syahadat.
Saat
ini 1.400 anak asli Papua telah disekolahkan gratis. Awalnya dimasukkan ke
berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, kemudian menempuh jenjang
perguruan tinggi, dalam dan luar negeri. Ratusan di antaranya tengah menempuh
jenjang S-1, dan sudah ada 29 orang yang menggondol gelar S-2.
Data
di atas hanyalah sedikit dari prestasi yang diukir para da’i Yayasan Al-Fatih
Kaafah Nusantara (AFKN). Lembaga ini dikomandani pria gagah bernama M Zaaf
Fadzlan Rabbani Al-Garamatan (40).
Dakwah
di Papua memang istimewa. Tantangan alam begitu berat. Kultur dan kebiasaan
masyarakat pun tak mudah ditaklukkan. Biayanya tinggi. Belum lagi harus berpacu
dengan misionaris, yang selama ini sukses mencitrakan Papua identik dengan
Kristen.
“Namun
berdakwah di wilayah seperti itu luaarr biasa nikmatnya!” ujar Fadzlan dengan
mata berbinar.
Nikmat,
sehingga pria kelahiran Fak-Fak ini senantiasa menyunggingkan senyum meski
harus jalan kaki berhari-hari demi menemui warga binaan. Bahkan tetap tersenyum
mendakwahi seseorang yang telah tega memanahnya sehingga siku tangan kanannya
berdarah-darah.
Perbincangan
berlangsung di markas AFKN di Bekasi (Jawa Barat), suatu sore ketika hujan
rintik-rintik, ditemani manisan pala, sagu, teh manis, serta kerupuk ubi suku
abun Sorong yang rasanya benar-benar khas.
Apa kabar Ustadz?
Alhamdulillah.
Maaf Anda terpaksa menunggu. Saya baru pulang dari (Pelabuhan) Tanjung Priok,
mengirim sabun, sarung, mukena, Al-Qur`an, sajadah, dan pakaian ke Papua.
Kemudian ke Departemen Agama, mengurus pengangkatan tenaga penyuluh agama.
Seberapa sering pengiriman bantuan
semacam itu dilakukan?
Paling
tidak seminggu dua kali. Setahun kami kirim sekitar 29 ton pakaian layak pakai.
Orang-orang PT Pelni sampai komentar, “Pak Fadzlan ini kerjaannya ngurusin
pakaian bekas melulu.” Biar saja, memang kenyataannya begitu.
Dakwah
saya di berbagai majelis taklim di Jakarta, akhirnya ya urusan sabun dan
pakaian. Saya bilang, “Daripada pakaian Anda dibuang-buang, kirimlah kepada
saya.”
Barang
kiriman itu bertruk-truk. Bahkan AFKN (atas kerjasama dengan instansi
pemerintah) pernah mengirim belasan sepeda motor untuk keperluan operasional
para da’i. Pelabuhan pun kami buat sibuk.
Mengapa barang-barang semacam itu
penting bagi kaum Muslimin Papua?
Sebelum
berdakwah, kami mempelajari medan dulu untuk mengetahui kebutuhan masyarakat.
Apa maunya, akan dibawa ke mana, lalu kami tawarkan konsep. Kalau tidak ada
listrik, kami bikin listrik. Tidak ada air bersih, bikin sarana air bersih.
Perlu pakaian, kami drop dari Jakarta, lengkap dengan mesin jahitnya sehingga
mereka bisa berkarya.
Seperti apa gambaran kondisi masyarakat
binaan Anda sehingga memerlukan hal-hal di atas?
Telepon
mereka adalah nyamuk, listriknya cahaya bulan dan matahari. Mandi dan pakaian
pun baru dikenalnya. Tentang kondisi alam, semua orang tahulah bagaimana Irian.
Kami
lalu peragakan Islam, perilakunya, aturannya. Setelah mereka lihat, kemudian
bertanya-tanya. Misalnya ketika kami shalat, mereka perhatikan mulai dari
takbiratul-ihram, ruku’, sujud, sampai salam. Kami jelaskan dengan bahasa
sederhana.
Penjelasan seperti apa?
Mereka
bertanya, “Kenapa Anda angkat tangan dan mulutnya bicara-bicara?” Saya jelaskan
bahwa bapak dan ibu kami beragama Islam. Kami diperintah oleh Tuhan kami, Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dalam satu hari lima kali menghadap-Nya. Ketika mengangkat
tangan itu, kami menyebut Allah Maha Besar. Dia yang pantas dibesarkan,
sementara kami ini nggak ada maknanya.
Mereka
bertanya lagi, “Kenapa membungkukkan badan?” Supaya menyaksikan bahwa Allah
menyediakan kekayaan alam di bumi. Ada batu, pohon, sayur, ikan. Ketika
mengambil kekayaan alam, manusia tidak boleh sombong dan merusak, maka kami
menunduk.
“Kenapa
mencium papan?” Di pedalaman, kami membuat tempat shalat di panggung, karena
banyak babi berseliweran seperti mobil di Jakarta. Kami sujud, agar bisa
menangis karena suatu hari nanti tubuh ini akan kembali dilebur dengan tanah.
“Mengapa
menengok ke kanan dan kiri kemudian mulutnya bicara-bicara?” Itu salam. Setelah
berkomunikasi dengan Allah, kami harus menengok ke kanan dan kiri, mungkin ada
orang yang belum berpakaian, maka kami ajari berpakaian. Jika ada yang belum
mandi, tugas kami mengajari mandi. Bila belum ada yang pintar, tugas kami
mengajar. Tumbuhlah hubungan dengan Allah, kemudian hubungan dengan manusia di
atas bumi. Terciptalah kedamaian dan keamanan.
Alhamdulillah,
penjelasan semacam itu mampu mengetuk hati orang yang belum mengenal Islam.
Mereka lantas bilang, “Kalau begitu, kami masuk Islam.” Ada yang bersyahadat
sendiri, banyak pula yang massal.
Ketika
menjumpai masyarakat yang belum berpakaian, apa yang Anda lakukan?
Pakaian
memang proses awal yang agak susah. Ini sasaran dakwah yang benar-benar pemula.
Awalnya
kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun ketika mereka memakainya dan
lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Kami bawakan cermin. Ketika
masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai
celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih
bagus.
Bagaimana Anda menjelaskan fungsi
pakaian?
Kami
kisahkan tentang Nabi Adam ‘Alaihissalaam. Barangkali pakaian koteka itu
seperti Adam dan Hawa yang telanjang ketika diusir dari surga. Tapi setelah ada
ilmu, maka tidak boleh lagi berpakaian seperti itu. Manusia kan punya akal,
bukan binatang. Lalu kami perkenalkan pakaian, cara memakai, dan semacamnya.
Kini kami kewalahan memenuhi permintaan pakaian. Alhamdulillah.
Bagaimana mengajari kebiasaan mandi?
Memang
mereka mandinya dengan melulur minyak babi di tubuh. Kenapa begitu? Katanya
untuk menghindari nyamuk dan udara dingin.
Kami
ajari mereka mandi dengan air dan sabun. Tak jarang harus mandi massal orang
sekampung. Ibu-ibu keramas memakai sampo.
Pernah
ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Tanpa dibilas, dia
langsung keliling kampung karena merasa amat senang dengan bau wangi sabun di
tubuhnya.
Kami
lakukan dakwah tentang kebersihan itu dengan bertahap. Akhirnya mereka
menyadari, ini anak-anak Islam ternyata lebih meyakinkan dibanding orang-orang
bule yang biasa mendatanginya dengan naik pesawat.
Apa yang Anda jelaskan tentang makna
kebersihan?
Misalnya
tentang wudhu, kami jelaskan bahwa hidup ini harus bersih. Sebelum
menghadap-Nya, kami diperintah untuk bersih dulu. Dengan demikian, ketika
ber-takbiratul-ihram, Allah akan mengatakan, “Tangan kamu sudah dicuci, sudah
bersih.” Mulut yang mengucap “Allahu Akbar,” juga bersih. Begitu juga bagian
tubuh lainnya. Nah, kalau bapak-bapak dan ibu-ibu sudah bersih, mari tegakkan
harumnya Islam di tengah-tengah kita.
Bagaimana menjelaskan aspek kebersihan
dan pakaian, khususnya untuk kaum wanita?
Ini
diajarkan oleh akhwat-akhwat binaan kami, yang tak kalah semangatnya di “medan
tempur”, terutama bila kondisi geografisnya tidak terlampau sulit. Bahkan kami
pernah dakwah dengan salon.
Maksudnya?
Ceritanya
bermula dari akhwat binaan kami yang jadi karyawan salon di Mojokerto (Jawa
Timur). Dia jadi familier dengan masalah kecantikan. Rambutnya di-rebounding
sehingga lurus, tubuhnya (maaf) bersih.
Suatu
saat dia pulang kampung ke Enarotali, Paniai, dan ceramah. Ibu-ibu kagum. Ini
anak jadi cantik, lancar mengaji, bisa ceramah, tutup auratnya pake mukena. Dia
katakan, perubahan fisik dan keilmuannya itu karena ajaran Islam. Akhirnya
ibu-ibu bilang, “Kami mau masuk Islam tapi pingin cantik seperti kamu.”
Kami
kemudian menyewa perlengkapan salon dan dibawa ke kampung itu, selama 3 bulan.
Alhamdulillah, banyak yang akhirnya bersyahadat.
Bagaimana mengajarkan pemahaman tauhid
kepada penganut kepercayaan animisme-dinamisme seperti di Papua?
Aspek
perilaku sangat menentukan. Ada orang yang takut dengan pohon besar. Kami
tunjukkan bahwa di pohon tidak ada yang perlu ditakuti. Ada komunitas yang suka
berperang, maka kami jelaskan agar tidak melakukannya lagi, apalagi jika sudah
sama-sama bersyahadat. Yang suka mencuri, kami larang karena itu merugikan.
Kami
jelaskan hal itu mulai dari tokoh masyarakatnya, semisal kepala suku. Dia yang
kemudian akan mengkampanyekan ke masyarakatnya. Bahkan kalau di situ ada
misionaris, mereka sendiri yang mengusirnya. Pernah ada sekelompok masyarakat
yang memasang kayu-kayu di lapangan terbang perintis agar misionaris tak bisa
mendarat. Kami tidak menyuruhnya, tapi mereka sendiri yang berinisiatif
melakukannya.
Pernah ada bentrok?
Banyak.
Tombak, panah, diusir, adalah hal yang biasa menimpa kami. Namun saya sampaikan
kepada teman-teman agar tombak itu dijadikan shiraathal-mustaqiim. Kalau
dipenjara, jadikan itu sebagai rumah surga awal. Jika difitnah, itu adalah
untaian hidup dan puisi baru kita. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam saja dilempari, dicaci-maki, difitnah, tapi beliau terus menebarkan
senyum. Subhanallah!
Anda sendiri pernah mengalami tindak
kekerasan?
Pernah
kena panah, sampai ini patah (sambil memperlihatkan bekas tusukan panah di lengan
kanannya), bengkok sampai sekarang. Tapi bagi kami, tidak perlu bicara
tantangan. Seorang yang mau maju, bicara kebajikan, pasti ada tantangan. Itu
hal biasa bagi seorang da’i.
Bagaimana kejadiannya?
Sekitar
tahun 1994, antara wilayah Mapenduma dan Timika. Saya bersama delapan orang
da’i sedang survei ke sebuah kampung untuk dijadikan binaan. Tiba-tiba tangan
saya kena panah.
Saya
tidak tahu persis penyebabnya. Barangkali karena pemanah itu belum memahami apa
yang kami lakukan. Bisa pula orang-orang itu diprovokasi pemahaman yang keliru.
Atau mungkin kami hanya salah sasaran konflik aparat dan kelompok yang menyebut
dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Apa yang kemudian Anda lakukan?
Anak
panah itu dicabut, lalu kami bakar pisau kemudian ditusukkan ke luka itu agar
racunnya tidak bekerja. Kemudian saya ke dokter.
Dokter dimana?
Di
Timika. Jalan kaki empat hari. Alhamdulillah lukanya tidak terus mengeluarkan
darah. Alhamdulillah pula orang yang memanah itu akhirnya masuk Islam.
Bagaimana bisa?
Nabi
itu, diapain saja oleh lawan yang memang belum faham, tetap tersenyum. Allah
pun berfirman, “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
Apalagi
jika hal itu dilakukan ketika dia sakit, atau saat susah. Saat itulah insya
Allah akan gugur naluri kebenciannya. Itu pula yang saya lakukan terhadap orang
itu.
Menurut pengamatan Anda, apakah orang
yang kemudian memeluk Islam berubah menjadi lebih baik?
Luar
biasa. Setiap ke mushalla atau masjid, mereka mengaku merasa tenang. Barangkali
Islamnya justru lebih baik dibanding saya. Mereka itu sangat jujur. Perang
antar suku pun akhirnya berhenti.
Ada
seorang kepala suku yang menyatakan masuk Islam, kemudian dianiaya sekelompok
orang, ditindih kayu, ditelanjangi, namun tetap teguh memegang syahadat. Luar
biasa. Saya menangis bila menjumpai hal seperti ini.
Pernahkah punya pengalaman mengesankan
terkait dengan pensyahadatan massal, misalnya?
Pernah
di kawasan Sorong. Ketika banyak orang bersyahadat, pohon di sekelilingnya
seperti merunduk. Padahal tak ada angin tak ada hujan. Kawanan rusa liar pun
tiba-tiba tenang, tidak bergerak. Wallahu a’lam, barangkali mereka selama ini
belum pernah mendengar kalimat suci itu dari mulut manusia, meski semua makhluk
sebenarnya selalu bertasbih menyebut asma-Nya.
Menilik apa yang Anda lakukan, tampaknya
memerlukan waktu lama untuk berdakwah di suatu lokasi ya?
Paling
tidak lima tahun di suatu tempat. Ada da’i yang musti stand by di sana. Saya
sendiri jaga markas di Jakarta, namun sering mengunjungi mereka di berbagai
daerah. Sekali ke Papua, saya bisa menghabiskan waktu 9 bulan. Kemudian ke
Jakarta untuk bikin proposal, mendapat bantuan, lalu ke Papua lagi.
Selama 9 bulan itu, apa saja yang Anda
lakukan?
Keliling
ke desa-desa binaan. Safari ini berfungsi untuk mendata kebutuhan masyarakat
dan mengevaluasi perkembangan dakwah.
Apakah da’i yang stand by itu kader
binaan AFKN?
Ya,
tapi kami juga menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan
Hidayatullah. Alhamdulillah, sebagian da’i itu kini sudah tercatat di
Departemen Agama sebagai penyuluh, sehingga punya gaji.
Semua da’i itu asli orang Papua?
Kebanyakan
asli Papua, namun tak sedikit pula yang dari luar. Keduanya kami “kawinkan”,
saling melengkapi.
Da’i
asli Papua lebih bagus pendekatan sosial-kemasyarakatannya. Itulah sebabnya
mereka bertugas “membuka lahan” dakwah. Banyak warga yang kemudian bersyahadat.
Sementara
da’i non-Papua biasanya unggul dalam hal ilmu agama dan keterampilan. Mereka
ini bertugas meneruskan apa yang telah dirintis da’i asli Papua.
Seberapa banyak da’i dari luar Papua
yang aktif bersama AFKN?
Alhamdulillah
banyak. Ada yang dari Garut, Tasikmalaya (Jawa Barat), Lamongan, Gresik (Jawa
Timur), Makassar, dan lain-lain. Para da’i ini punya keterampilan lain sehingga
bisa mengembangkan berbagai potensi yang ada di Papua.
Tidak mengalami kendala bahasa?
Memakai
bahasa Indonesia saja, insya Allah masyarakat bisa mengerti. Memang akan lebih
bagus kalau bisa bahasa setempat. Tapi harap tahu, di Papua ada 234 bahasa.
Anda sendiri bisa berapa bahasa?
Alhamdulillah,
Allah kasih anugerah saya bisa berkomunikasi dalam 49 bahasa.
Subhanallah,
banyak sekali, misalnya bahasa apa?
Bahasa
Kokoda, Kaimana, Wamena, Asmat, Babo, Irarutu, dan sebagainya. * (red)
(Suara
Hidayatullah)
Disalin dari http://afkn-nuuwaar.com
0 comments:
Post a Comment