Indra Sjafri, Bukan Pelatih Biasa
Thursday, October 17, 2013
0
comments
Oleh
Nasihin Masha
Untuk
kali pertama, saya meminta pendapat publik untuk tema Resonansi kali ini.
Melalui akun Facebook saya bertanya sebaiknya menulis tentang Bunda Putri atau
menulis tentang timnas U-19. Mayoritas menyarankan untuk menulis tentang timnas
U-19. Alasannya sederhana. Menulis tentang Bunda Putri hanya mengeksploitasi
sisi kelam Indonesia. Mereka sudah lelah, menyebalkan. Sedangkan, membicarakan
timnas U-19 justru sebaliknya. Kita berbicara tentang optimisme dan
mempromosikan kebaikan. Itulah syarat bagi Indonesia untuk menjadi bagian dari
breakout nations.
Suara
mereka sangat dekat dengan suara Indra Sjafri, sosok di balik kisah sukses
timnas. Indra selalu optimistis. Indra juga selalu yakin dengan timnya. Indra
juga selalu bicara tentang nasionalisme kala bicara pekerjaannya sebagai
pelatih. Lihat pernyataan pelatih Korea Selatan usai kekalahan timnya dari
Indonesia. Saat ditanya siapa pemain terbaik Indonesia, dengan tersenyum dia
justru menjawab singkat: “Setiap tim yang menang, pasti karena pelatihnya yang
bagus.” Kita merasakan Manchester United tanpa Alex Ferguson atau membayangkan
Arsenal tanpa Arsene Wenger.
Indra
Sjafri adalah anomali. Ia adalah sebuah penyimpangan dari arus utama
pengelolaan sepak bola Indonesia. Ini jika kita melihatnya dari perspektif
struktural. Namun, jika kita melihatnya dari arus kultural, Indra Sjafri adalah
kesejatian. Ia mewakili suara murni bangsa dan pesepak bola Indonesia.
Sejatinya, bangsa ini baik. Sejatinya, bangsa ini memiliki pemain dan pelatih
yang bagus. Namun, semuanya dikurung para pengelola yang buruk. Bakat-bakat
sepak bola Indonesia menjadi tak berarti. Potretnya paling jelas pada
pertandingan Indonesia melawan Cina pada babak kualifikasi Piala Asia, di
Jakarta, Selasa lalu.
Timnas
senior mewakili arus utama sepak bola Indonesia selama ini. Stamina hanya prima
untuk 20 menit pertama, bermain tanpa semangat dan daya juang, dan bertaburan
pemain naturalisasi. Hal ini sangat kontras dengan permainan timnas U-19.
Mereka berstamina bagus. Mampu bermain baik selama 90 menit, bahkan tetap bagus
walau ada perpanjangan waktu 2X15 menit. Kedigdayaan energi mereka tampak
terlihat saat melawan Laos. Sejumlah pemain semenanjung Indocina itu
bertumbangan karena kram. Mereka tak tahan secara terus-menerus diajak bermain
cepat.
Ciri
timnas U-19 adalah daya juang mereka yang sangat tinggi. Walau dikepung
beberapa pemain, mereka terus berjuang. Semua pemain bergerak mencari tempat
untuk mendapat posisi terbaik atau merebut bola. Tak ada pemain yang menunggu
umpan atau berjalan-jalan. Mereka bermain sebagai sebuah tim untuk saling
mendukung dan untuk mengkreasi suatu skema permainan. Mereka juga tipe
petarung, tak takut cedera. Mirip pemain-pemain MU. Mereka bukan tipe pemain
salon. Mereka mewakili jiwa spartan bangsa Indonesia. Seperti leluhur bangsa
ini, mereka merebut kemerdekaan, bukan menerima hadiah kemerdekaan seperti
sejumlah bangsa lain.
Di
sisi lapangan, Indra jarang duduk di bangku. Ia berdiri. Ia ikut basah kuyup
diguyur hujan. Ia mengawasi dan memberi perintah. Ia benar-benar mengontrol dan
menyemangati para pemainnya. Ia memang ingin membangun keteladanan dan karakter
para pemainnya. Paling terlihat ketika pergantian pemain. Para pemain yang
diganti mencium tangannya. Sebelum memulai permainan, para pemain berdoa dengan
khusyuk. Usai mencetak gol, para pemain bersujud syukur atau bersyukur dengan
cara lain sesuai agama pemain. Indra tak hanya melatih teknik individu,
stamina, skema permainan, dan kekompakan tim. Ia juga membangun mental para
pemainnya.
Namun,
kekhawatiran mulai menyembul. Indra sadar masih ada sejumlah kelemahan di
timnya. Untuk bermain baik di tingkat Asia, apalagi menargetkan lolos ke Piala
Dunia U-20 pada 2015, Indra harus menaikkan level permainan. Teknik individu
harus lebih dirapikan, kerja sama tim harus diperbaiki, stamina harus masuk ke
level prima, dan bisa bertarung bola-bola atas. Saat melawan Korea Selatan, dua
kelemahan yang tampak terlihat adalah kedodoran saat bermain bola atas dan
stamina yang mulai menurun di 20 menit terakhir. Karena itu, Indra mengusulkan
agar timnya diuji melawan tim Eropa. Apakah Indra bisa mempertahankan
idealismenya saat meminta anggaran ke PSSI?
Musuh
terbesar sepak bola Indonesia adalah nepotisme-kronisme, judi, dan intervensi
pengurus. Inilah yang membuat semua bakat, dukungan publik yang luar biasa, dan
pengorbanan uang yang besar menjadi musnah. Di saat Indra membutuhkan uang, di
saat itu pula penyakit mengintai.
Indra
adalah produk rezim sebelumnya, yang kini sudah tersingkir oleh rezim saat ini.
Saat itu Indra diberi keleluasaan untuk merekrut pemain. Ia harus blusukan
mencari pemain ke pelosok negeri, ke tim-tim junior milik klub, ke sekolah
sepak bola. Ia menolak titipan pemain dari siapa pun, misalnya dari pengurus,
mantan pemain nasional, pejabat, dan sebagainya. Saat mencari bakat, dia pun
menembus berbagai hambatan. Dia tahu benar, para pemain yang disodorkan bisa
saja tak murni hasil seleksi yang fair. Karena itu, ia menggali informasi dari
mana pun untuk mendapatkan pemain terbaik. M Syahrul Kurniawan, misalnya, ia
dapat berdasarkan informasi tukang ojek.
Indra
telah menunjukkan kepada publik bahwa timnya bisa memainkan sepak bola yang
enak ditonton. Ia mencoba memainkan gaya Arsenal atau Barcelona dengan satu-dua
sentuhan dan operan-operan pendek. Ia juga mengukur kualitas fisik pemain
dengan standar VO2 max. Ia menerapkan disiplin ketat, melarang pemainnya tampil
di "infotainmen". Kepatuhan pemain terlihat dengan kedisiplinan
menerapkan strategi yang ia instruksikan. Namun, para bandar judi tentu tak
akan berhenti berusaha. Mereka bisa menyelinap lewat siapa saja. Para artis
yang sempat meramaikan dunia sepak bola Indonesia juga diduga bagian dari mafia
judi. Mereka bisa memencet pengurus atau keluarganya. Mereka bisa menggunakan
cara apa pun, termasuk rekrutmen di klub liga.
Nasionalisme
dan idealisme Indra diharapkan bisa menjadi benteng semua musuh sepak bola
Indonesia. Baginya, membangun tim itu tak bisa instan. Semua melalui proses
yang panjang. Karena itu, ia sangat menolak naturalisasi pemain. Indonesia
bangsa besar, katanya. Ia juga tak mau terlibat konflik di PSSI. “Saya punya
pegangan untuk Merah Putih. Semua yang saya lakukan untuk Indonesia,” katanya.
Indra
bukanlah pelatih biasa. Ia seorang pionir. Ia punya visi, integritas, karakter,
dan dendam pada keterkaparan sepak bola Indonesia. Indra mengajarkan kepada
kita bahwa untuk maju bukan sekadar melihat angka-angka, tapi juga pada proses
dan jiwanya. Sepak bola bukan sekadar teknik dan teknologi tapi sebuah produk
budaya. Kita bisa mengukur sampai di mana budaya kita lewat sepakbola.
Sumber: republika.co.id
0 comments:
Post a Comment