Syarikat Islam dan Kebangkitan Nasional II
Friday, October 11, 2013
0
comments
Oleh Dr Rahmat Hasanuddin*
Jika ingin mengambil peran kesejarahannya yang begitu menonjol dan
dahsyat di awal ke-20 M, maka
kebangkitan Syarikat Islam haruslah menjadi pelopor kebangkitan nasional
tahap kedua.
Itulah yang penulis tangkap pada waktu menghadiri Seminar
Nasional yang bertema gugatan terhadap
hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei yang dilaksanakan pada 28 Agustus 2013
di Makassar. Hasil seminar yang kemudian dikukuhkan sebagai rekomendasi Mukernas
Syarikat Islam yang dilaksanakan pada dua hari berikutnya itu bagai sebuah
petasan nyaring yang mengisyaratkan
bahwa sebuah kebangkitan nasionalisme tahap kedua perlu kembali
dilakukan dalam semangat
kebangsaan, cinta tanah air, keadilan, kemanusiaan dan kemerdekaan sejati.
Mengikuti seminar yang
bertema kebangkitan dan kemudiaan menggugat Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei itu memang bukan semata-mata
dimaksudkan untuk mengungkit keputusan politik masa lalu, tetapi lebih dari
pada itu upaya untuk mengingat dan
menggali kembali ideologi Syarikat Islam
yang masih relevan untuk diakutualisasikan saat ini.
Kaum Syarikat Islam rupanya
menyadari bahwa Program Azas dan Program
Tandhimnya masih relevan dalam konteks kekinian dan secara retorik digambarkan
bahwa Indonesia masih jauh dari
pencapaian yang disebut “kemerdekaan sejati”.
Selain itu, kaum Syarikat Islam yang
kini secara sadar memosisikan diri
sebagai organisasi kemasyarakan itu -
kini dipimpin oleh seorang nasionalis religius, Rahardjo Tjakraningrat,
- rupanya ingin mengembalikan kharisma kepejuangan para
tokoh pendiri Syarikat Islam yang berkiprah dan berjuang dengan motif dan semangat seorang nasionalis sejati
dengan basis keislaman yang kuat.
Tentu sangat disadari bahwa
Syarikat Islam saat ini sangat
susah – hampir mustahil - untuk
menemukan tokoh-tokoh sekaliber H Samanhudi
yang memiliki keberanian dan kepeloporan, HOS Tjokroaminoto, organisator dan pemimpin yang
dijuluki sebagai guru para
pendiri bangsa dan KH Agussalim yang jenius.
Tetapi
dalam konteks kekinian, mengambil
peran yang pernah hilang hanya dapat diperoleh melalui sebuah organisasi modern
yang dipandu oleh rencana-rencana yang terukur setelah mengenali semua
fenomena-fenomena penyelenggaraan negara
yang menyimpang dari cita-cita bangsa sebagaimana yang jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 telah menjadi cita-cita Syarikat Islam.
Dan nampaknya Syarikat Islam bukan saja menemukan momentum untuk mengukuhkan
eksistensinya sebagai pelopor kebangkitan nasionalisme di Indonesia
tetapi juga untuk bangkit dan
mengambil peran kesejarahannya kembali dalam trace Indonesia yang telah 68 tahun merdeka.
Bagi Syarikat Islam, paling tidak,
ada ada sejumlah fenomena
kebangsaan dan manajemen negara yang telah menjadi realitas sehingga
memerlukan sebuah gerakan kebangkitan nasional baru. Pertama,
bahwa sebagai sebuah bangsa yang
besar (secara demografis dan potensi sumber daya alam) Indonesia
sekarang ini masih terjajah secara
ekonomi dan politik.
Liberalisme dan kapitalisme yang berbungkus keniscaan
dalam globalisasi (suka atau tidak suka, mau atau tidak mau)
telah membawa Indonesia ke posisi ketergantungan yang semakin tinggi (hutang luar negeri meningkat dari tahun
ketahun). Konperensi Tingkat Tinggi APEC yang baru berakhir di Bali jelas menunjukkan bahwa panglima ekonomi masih akan berada ditangan negara-negara besar dan
maju.
Indonesia dalam jangka menengah dan
panjang masih akan menjadi penikmat
diskriminasi ekonomi yang dilegitimasi
denga n bungkus kerja sama ekonomi regional.
Menurut Ahmad Erani Yustika bahwa
selama dekade yang lalu, krisis dunia yang erjadi nyaris tak memberi kesempatan bernafas bagi sebagian besar negara (termasuk Indonesia, penulis) untuk
menjalankan kegiatan ekonomi
secara tenang termasuk Tiongkok
sekalipun.
Negara berkembang didikte untuk menjalankan manajemen ekonomi yang hati-hati, tetapi negara maju malah mempraktekkannya secara
amburadul (Pos Kota Senin 7/10). Kedua, bahwa sebagai bangsa yang telah 68
tahun merdeka yang konon dinilai sebagai
negara yang sangat sukses melakukan lompatan demokrasi ternyata menuai paradoks dengan kenyataan-kenyataan baru : korupsi yang semakin meluas, ketidak patuhan hukum, kemiskinan, kekufuran, ketidak amanan, kerapuhan pangan (bukan ketahanan pangan), krisis energi, ancaman kedaulatan,
pengangguran (sehingga harus ekspor TKI) ,
terakhir ini krisis kelembagaan dan lain-lain krisis yang semuanya
menunjukkan bahwa cita-cita kesejahteraan untuk rakyat secara merata masih jauh dari harapan.
Tentu saja Syarikat Islam tidak menutup mata terhadap
kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa ini.
Tetapi Syarikat Islam rupanya
menyadiri pula bahwa diperlukan sebuah kepemimpinan kuat untuk
mengawal dan memimpin sebuah kebangkitan baru untuk meluruskan arah cita-cita kebangsaan
seperti yang telah dicantumkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perspektif inilah wajib
hukumnya bagi kaum Syarikat Islam untuk
secara moril mendorong seorang pemimpin nasional tampil
untuk memimpin bangsa ini dengan
sejumlah syarat. Syarat-syarat inilah
yang perlu dirumuskan oleh Syarikat
Islam apabila ingin mereaktualisasikan kembali
cita-cita perjuangannya.
Sebagai organisasi kemasyarakatan, Syarikat Islam kini sudah terbebas dari beban perjuangan secara politik meskipun
kaumnya tersebar dan terserak-serak pada hampir semua organisasi politik. Tentu saja kehadiran mereka secara individual
dalam organisasi politik dan mungkin
berhasil menjadi legislator mewakili
partainya diharapkan dapat membawa
cita-cita dan misi perjuangan Syarikat Islam.
Dalam konteks ini maka Syarikat
Islam perlu melakukan konsolidasi
perkauman agar anggota-anggotanya itu mampu membawa jati
dirinya sebagai pejuang dari pada sebagai politisi. Paling tidak mereka diharapkan untuk tidak terkontaminasi oleh penyakit menjijikkan yang menjadi musuh Syarikat Islam yang
melanda untuk tidak menyebut mewabah dikalangan politisi, pejabat dan para
penyelenggara negara yang memiliki
tanggung jawab publik sekarang ini.
Tugas internal Syarikat Islam ialah menyemai kader yang berakhlak mulia, menjauhi praktik-praktik
tercela dan membangun kepemimpinan untuk menjadi negarawan pejuang. Sungguh berat untuk memulai sesuatu
kebangkitan karena sejatinya Syarikat Islam sendiri harus memulai dari
dirinya.
*Penulis
adalah Rektor Universitas Cokroaminoto Makassar
Ketua
Panitia Milad ke-108 Syarikat Islam
Sumber: republika.co.id
0 comments:
Post a Comment