Negeri Makmur Tanpa Pajak dan Tanpa Hutang, Mungkinkah ?
Tuesday, November 26, 2013
0
comments
Oleh
: Muhaimin Iqbal
Pasti
bukan kebetulan kalau negara-negara besar di dunia membiayai belanja negaranya
dengan hutang, karena mereka hidup besar pasak dari tiang. Amerika misalnya
berhutang sekitar 31 % dari pendapatannya, Jepang 21 %, Inggris 17 %, Canada
12%, Perancis 10%, Italy 8% dan Jerman 2 %. Hanya negara kecil atau yang kaya
sumber daya alam yang mengalami surplus dalam anggarannya seperti Kuwait 52 %,
Norwegia 25 % dan UAE 16 %. Bagaimana
dengan kita ?
Kita
termasuk lumayan besar deficit anggarannya. Tahun 2013 ini dari Rp 1,502
trilyun pendapatan dan Rp 1,726 trilyun belanja, kita deficit 224 trilyun atau
sekitar 15%. Tahun 2014 diharapkan membaik, dari Rp 1,663 trilyun pendapatan
dan Rp 1,817 trilyun belanja, deficit kita tinggal Rp 154 trilyun atau ‘hanya’ 9 %.
Tentu
angka-angka perkiraan ini masih sangat mungkin meleset pada saat realisasinya
karena sejumlah faktor seperti kenaikan harga minyak dunia, perubahan nilai
tukar Rupiah dlsb.
Yang
menarik adalah negara-negara maju – termasuk kita- yang sulit sekali
meninggalkan gaya hidup besar pasak dari tiang seperti ini, ternyata punya
perilaku yang sama – yaitu ketergantungannya pada pendapatan yang berupa pajak.
Amerika yang defisitnya terbesar tersebut misalnya, 96 % pendapatannya dari
pajak. Sedangkan kita yang defisitnya hanya 9 % - 15 %, tingkat ketergantungan
pajak kita memang lebih rendah yaitu hanya 76 % pendapatan dari pajak (2013),
dan menjadi sekitar 79 % pendapatan dari pajak tahun 2014.
Jadi
bolehkah kita korelasikan bahwa semakin tinggi suatu negeri mengandalkan pajak
sebagai pendapatan, malah semakin deficit mereka ? kalau sample-nya hanya
Amerika dan Indonesia, nampaknya korelasi tersebut benar adanya. Barangkali
perlu diuji lagi untuk seluruh negara-negara di dunia dan dipelajari korelasi
pajak ini dengan deficit – yang juga berarti hutang, korelasi dengan kemakmuran
dlsb.
Apa
dampaknya bila negeri terus berhutang karena kemampuan membiayai belanjanya
semakin tidak tercukupi oleh pendapatan pajaknya ? Sudah bisa ditebak hasilnya,
negeri itu cepat atau lambat pasti akan bangkrut. Negara adikuasa dunia
modern-pun Amerika Serikat dua bulan lalu nyaris bangkrut ketika pemerintah dan
congress-nya bersitegang dengan masalah anggaran belanja dan pendapatan yang
mengandalkan pajak ini.
Sejarah
di masa lalu juga menunjukkan pelajaran yang sama, saya kutipkan dari tulisan
Ustadz Budi Ashari – yang mengambil rujukan dari Ashr al Khilafah Ar
Rasyidah-nya Prof . Dr. Akram Dhiya’ tentang kejatuhan Romawi sebagi berikut :
“Adapun keadaan ekonominya, riba dan penimbunan adalah merupakan asas
aturannya.Kaisar Heraklius mewajibkan pajak-pajak baru terhadap penduduk
wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, untuk menutup hutang
besar pembiayaan perang dengan Persia.
Emperium
Bizantium mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya berbagai
pungutan dan pajak. Penurunan pada aktifitas bisnis, diabaikannya sektor
pertanian dan semakin berkurangnya bangunan-bangunan.”
Ustadz
Budi juga melengkapi tulisannya tentang dampak pajak pada ekonomi masyarakat, merujuk analisa Ibnu Khaldun
sebagi berikut : “Perlakuan tidak baik terhadap harta masyarakat, akan
melenyapkan harapan mereka dalam mengembangkan harta mereka. Karena mereka
sadar, ujungnya uang mereka akan hilang dari tangan. Jika ini terjadi, maka
mereka akan cenderung menahan diri untuk berkarya. Tergantung seberapa besar
kedzaliman terhadap mereka, sebesar itulah mereka menahan diri dari
pengembangan harta. Maka rugilah pasar-pasar, gedung-gedung dan rusaklah
keadaan.....kedzaliman terhadap harta masyarakat, kehormatan, darah dan rahasia
mereka menyebabkan keguncangan dan kerusakan sekaligus. Negara pun runtuh
dengan cepat”.
Lantas
apakah pajak ini tidak boleh dalam Islam ? ulama-ulama dari perbagai mazhab
memiliki pendapat yang berbeda-beda, namun benang merahnya kurang lebih adalah
boleh tetapi bersyarat.
Syarat
itu antara lain adalah bila dana baitul
mal tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara seperti perang dan
kebutuhan lain yang jelas peruntukannya, adil penerapannya, penggunaannya untuk
maslahah umat dan bukan maksiat, dan ada persetujuan dari orang-orang yang
berkompten di bidangnya – diluar pemerintah – agar ada kontrol terhadap
penerapan pajak oleh pemerintah.
Terlepas
dari diperbolehkannya pajak tetapi bersyarat tersebut, pertanyaannya adalah
mungkinkah membangun negeri seperti kita di zaman ini tanpa atau dengan
mengurangi ketergantungan terhadap pajak ? Jawabannya adalah mungkin.
Saya
ambil contoh konkrit scenario biaya kesehatan – yang di Amerika nyaris menjadi
trigger kebangkrutan negeri itu dua bulan lalu, yang kemudian di Indonesia juga
ada skenarionya yang mirip dengan JKN-nya.
Dalam
scenario JKN, orang-orang yang mampu wajib dipungut iuran untuk menjadi peserta
JKN. Orang-orang yang tidak mampu iurannya dibayar oleh pemerintah. Lantas dari
mana uang pemerintah untuk membayari iuran orang yang tidak mampu tersebut ?
terbesarnya ya dari pajak pastinya – karena mayoritas pendapatan kita memang
masih dari pajak.
Bandingkan
ini dengan scenario solusi syariah yang saya sebut TAWAF (Ta’awun dan Wakaf),
dengan pendekatan ini orang yang mampu bertolong menolong satu sama lain
(Ta’awun) sedangkan yang tidak mampu didanai dari hasil kegiatan Wakaf.
Lho
apa bedanya bagi rakyat ?, pajak ujungnya juga uang rakyat, sedangkan wakaf
juga dari rakyat.
Bedanya
adalah di niat dan pengaruhnya pada keikhlasan masyarakat dalam mengeluarkan
hartanya. Meskipun sedikit, orang bisa tidak rela bila dipaksa membayar seperti
membayar pajak – sehingga banyak yang berusaha menghindarinya.
Sebaliknya
meskipun sangat banyak, orang tidak keberatan untuk menginfaqkan atau
mewakafkan hartanya untuk kemaslahatan umat secara sukarela tanpa ada yang
perlu memaksanya.
Apalagi
orang-orang yang menyadari keberkahan prinsip 1/3 yang saya perkenalkan melalui
dua tulisan (27/8/13 dan 22/11/08). Mereka akan sukarela mengeluarkan sepertiga
penghasilannya, demi untuk memperoleh keberkahan dari penghasilannya. Padahal
ketika ditarik kurang lebih sejumlah yang sama untuk pajak mereka teriak-teriak
keberatan.
Konsep
yang sama dengan TAWAF tersebut sangat mungkin diaplikasikan untuk mengatasi
bencana alam, resiko sosial, membiayai perang, membangun fasilitas-fasilitas
umum seperti pasar, rumah sakit, jalan dlsb.
Walhasil
banyak jalan untuk membiayai berbagai kepentingan umat, dengan cara yang umat
paling ridlo untuk melakukannya. Baik itu memalui dana Ta’awun dan Wakaf (TAWAF)
maupun Infaq, Shadaqah dan Zakat.
Ketika
umat ini ridlo, insyaAllah Allah-pun ridlo dan negeri ini akan lebih berkah,
deficit anggarannya bisa dihindari dan artinya negeri ini juga akan bebas dari
hutang.
Dalam
sejarah Islam, penghapusan pajak ini pernah terjadi di masa Nuruddin Az Zenky
ketika tahun 566 H mengumumkan pencabutan pajak – yang saat itu di sebagian
wilayah sudah terkena pajak 45% - yang kemudian pengumuman pencabutannya di
bacakan di seluruh masjid-masjid. Bunyi pengumuman itu adalah sbb :
“Kami
rela dengan harta yang sedikit tapi halal, celakalah harta haram itu, sungguh
celaka. Jauh dari ridho Robb. Kami telah istikhoroh kepada Allah dan
mendekatkan diri kepada Nya dengan menghapus segala bentuk pungutan dan pajak
di semua wilayah; yang dekat ataupun yang jauh. Menghilangkan semua jalan
buruk, meniadakan setiap kedzaliman dan menghidupkan setiap sunnah (jalan) yang
baik...lebih memilih balasan di kemudian hari di bandingkan kehancuran yang
segera.”
Tulisan
ini saya buat bukan bermaksud men-discourage orang untuk membayar pajak, tetapi
sebaliknya yaitu memberi view lain pada para (calon) penguasa negeri ini– bahwa
suatu negeri bisa makmur tanpa pajak dan tanpa hutang.
Kalau
saja ada kontestan pemilu 2014 nanti yang mau memnggunakan strategy memakmurkan
negeri tanpa pajak dan tanpa hutang – saya yakin dia akan langsung menang
karena rakyat akan ridlo dengannya.
Maka
saya menunggu suatu saat nanti, pengumuman seperti pengumumannya Az Zenky
tersebut dibacakan oleh wakil-wakil penguasa negeri ini di masjid-masjid di
sekitar kita. Kemudian ketika khatib-khatib naik mimbar, mereka rame-rame
menyerukan utamanya umat untuk ber-ta’awun, berinfaq, shadaqah, zakat dan
wakaf. Maka sumber ke-(tidak)-makmuran umat dari pajak akan segera tergantikan
oleh sumber-sumber kemakmuran dari dana-dana TAWAF maupun ZISWAF, InsyaAllah.
Pak Muhaimin Iqbal adalah alumni SMA
Muhammadiyah 1 Yogyakarta
Sumber: geraidinar.com
0 comments:
Post a Comment