Segenggam Maaf Hamka untuk Yamin
Monday, December 9, 2013
0
comments
Tatapannya
begitu tenang. Tak ada rasa benci di sana. Tak ada dendam. Hamka benar-benar
menjalani kehidupan dengan lapang dada. Sebelum wafatnya Soekarno , seorang
tokoh Bangsa, Mohammad Yamin sempat berseteru dengan Hamka. Hal ini bermula
dari gaung Hamka digedung konstituante Bandung, yang menyerukan agar Indonesia
berdasarkan dengan Islam.
Masyumi
sebagai pimpinannya, mengajukan dasar negara berdasarkan Islam. “..Bila negara
kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju
jalan ke neraka … “ lantang Hamka dengan tegas. Walau akhirnya, Hamka menerima
Pancasila dengan tafsiran bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah Allah, dan
karena-Nya, berkat rahmat-Nya, Indonesia dapat merdeka hingga saat ini.
Tentu
saja para hadirin dalam sidang paripurna Konstituante itu terkejut mendengar
pernyataan Hamka. Mr. Moh. Yamin sebagai seorang anggota Konstituante turut
terkejut atas pernyataan sang Buya. Yamin tidak saja marah, berlanjut menjadi
benci. Moh Yamin tidak dapat menahan kebencian- nya baik bertemu dalam acara
resmi, seminar kebudayaan dan sama-sama menghadiri sidang Konstituante,
kebencian itu tetap tak dapat dihilangkannya.
Saat
di rumah, Hamka kedatangan tamu Buya KH.
Isa Anshari. Ulama sekampung dengan kampung Hamka, Maninjau, beliau sudah lama
bermukim di Kota Bandung Dalam acara makan siang, Buya KH. Isa Anshari bertanya
kepada Hamka, “Apa masih tetap Yamin bersitegang dengan Hamka ?”
Sang
Buya menjawab, “Rupanya bukan saja wajahnya yang diperlihatkan kebenciannya
kepada saya, hati nuraninya pun ikut membenci saya.”
Bertahun-tahun
setelah dekrit di mana Soekarno kemudian membubarkan Konstituante, parlemen dan
menetapkan UUD ’45 dan Pancasila yang dijiwai Piagam Jakarta sebagai dasar
negara, terjadi peristiwa yang luar biasa.
Tahun
1962; Mr. Moh. Yamin jatuh sakit parah dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat, RSPAD. Telepon berdering di Kebayoran. Suara Menteri Chairul Shaleh dari
balik telepon membujuk Hamka agar Hamka dapat menemui Moh. Yamin yang sedang di
Rumah Sakit. Tentu saja, Hamka dengan senang menyambut seruan itu.
“Buya,
saya membawa pesan dari Bapak Yamin. Beliau
sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang
menemui Buya. Ada pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir. “
“Apa pesannya?” tanya Hamka.
“Pak
Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang
ajalnya, Buya dapat mendampinginya, sekarang Pak Yamin dalam sekarat.” Sang
Buya agak tercengang mendengar pesan Pak Yamin itu. Teringat kembali sikap bermusuhan dan
membencinya.
“Apalagi
pesan Pak Yamin?” Kembali Hamka bertanya kepada menteri yang ditugaskan Pak
Yamin itu. “Begini Buya, yang sangat merisaukan pak Yamin, beliau ingin bila
wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjungi.
Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi tidak berkenan menerima jenazahnya. Ketika
terjadi pergolakan di Sumatara Barat, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisah-an
wilayah dari NKRI. Beliau mengharapkan sekali Hamka bisa menemaninya sampai ke
dekat liang lahatnya.”
Sang
Buya termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa oleh ayah selama beberapa
tahun ini dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip dengan Patih Majapahit Gajah
Mada itu. ”Kalau begitu mari bawa saya
ke RSPAD menemui beliau.”
Sore
itu juga langkah kaki Buya tak tertahankan, menuju lorong VIP Rumah Sakit.
Dibukanya pintu itu. Seorang tengah berbaring lemah. Begitu hati ini bergetar.
Selang-selang tersambung dengan tubuh Pak Yamin. Belalai-belai alat kedokteran
begitu berseliweran. Ingin rasanya mata ini menangis melihatnya, wajah yang
begitu lemah. Dijabatnya tangan Yamin, dan dikecup keningnya, tokoh yang selam
ini membencinya.
”
Terima kasih Buya sudi datang.” Lirihnya sangat lemah. Dari kedua kelopak
matanya tampak air mata menggenangi matanya.
“Dampingi saya,” bisiknya lagi. Tangan Hamka masih terus digenggamnya. Air
mata mereka berkumpul di sudut matanya. Dibisikkanya kalam Ilahi, Al Fatihan
dengan lembut oleh Hamka. Kalimat tauhid yang berulang-ulang dibisikkan, La ilaha illallah Muhammadan Rasalullah.
Sudah
lama sekali..lama..kalimat ini, tak terlafal. Begitu lemah, suara itu mengikuti
gerak bibir Hamka. Berulang-ulang, kalimat tauhid itu terlafal. Genggaman
tangan itu semakin kuat. Suaranya tak terdengar lagi. Hanya isyarat genggamanan
mengyat. Terakhirkali, Hamka membisikkan kalimat “tiada Tuhan selain Allah” ke
telinganya. Tidak ada respon. Hamka merasa genggaman Pak Yamin mengendur dan
terasa dingin dan terlepas dari genggaman ayah.
Seorang
dokter datang memeriksa. Dokter itu memberitahu Pak Yamin sudah tidak ada lagi.
“Innalillahi wa inna lillaihi rajiun.”Tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci
Hamka, diakhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan sang
Buya.
Sungguh,tak
ada yang begitu terkenang kecuali dengan akhlak sang Buya. Senyumnya,
kelembutannya, ketegasannya dalam hal akidah. Jiwa maafnya yang selalu terbuka,
terlapang. Salam takjim untuk Buya Hamka Rahimahullah. Semoga Allah merahmatimu
wahai Buya.
Sumber: nabawia.com
0 comments:
Post a Comment