Memilih untuk Tidak Memilih, Apakah Solusi?
Sunday, January 12, 2014
0
comments
“Di
satu sisi para aktivis atau pegiat dakwah Islam alergi untuk memilih, di sisi
lain kaum sekuler, liberal dan syiah
mulai masuk ke parpol.”
Rentetan
cacian dan umpatan deras mengalir lewat media sosial, sasarannya berulang kali
ditujukan kepada Ahok yang dianggap arogan dalam mengungkapkan pernyataan dan
membuat kebijakan. Tapi itu tampaknya tak akan mengubah gaya kepemimpinan ahok,
toh dia mungkin berpikir, umpatan di medsos tak akan berarti apa-apa secara
konstitusi.
2014
negara Indonesia akan menggelar pemilihan umum, untuk memilih anggota DPR dan
Presiden. Saya jadi teringat seorang kawan dari HTI (meskipun dia tidak ingin
disebut anggota HTI) yang rajin ke rumah untuk mengantarkan majalah Al Wa’ie,
majalahnya HTI. Sambil mengantar majalah, dia dengan betah akan bercerita
berbagai hal tentang HTI. Termasuk konsep khilafah yang selama ini menjadi
pokok utama perjuangan mereka. Saya sendiri termasuk salah satu yang sepakat
dengan konsep khilafah.
Saya
akan mendengarkan dengan tekun, sampai pandangannya tentang lebih baik tidak
menggunakan hak pilih. Alurnya begitu terus, berulang-ulang. Biasanya saya akan
menyampaikan sanggahan dan pertanyaan. Tentang perjuangan non-parlemen yang
bisa mereka lakukan. Jawabnya, penyebaran pemikiran dengan demonstrasi dan
silaturahmi. Apakah itu akan mempengaruhi keputusan di parlemen?
Dari
perbincangan dengan beberapa rekan, tampaknya keinginan untuk menjadi golput
kian mengemuka. Memilih untuk tidak menggunakan hak pilih. Mereka melihat
cerminan perilaku politisi dari pemberitaan di media massa. Tentang perilaku
buruk para politisi. Kecuali Jokowi yang memang secara masif disetting untuk
memiliki citra yang baik. Media kita memang agaknya menganut aliran negatif,
lebih banyak memberikan berita negatif yang menurunkan minat dan semangat,
ketimbang memberitakan prestasi dan kabar yang menginspirasi.
Apakah
tidak ada politisi yang baik? Tentua ada, tetapi merka tentu tak tepat menjadi
sasaran tembak. Berita yang buruk biasanya menarik minat pemirsa ketimbang
berita yang baik. Akibat masifnya berita buruk tentang politisi (khususnya dari
parpol berbasis masa Islam) menjadikan banyak orang pesimis dan apriori
terhadap parpol. Mereka lalu enggan menggunakan hak pilih. Pikirnya, politisi
sama saja. Sikap ini jelas akan merugikan umat Islam sebagai mayoritas, jika
kemudian suara kaum sekuler ternyata memperoleh lebih banyak. Bisa dibilang
negeri ini akan semakin cepat ambruk.
Seperti
kita tahu, para pegiat liberal, sekuler dan syiah mulai masuk dunia politik. Misalnya,
pentolan Jaringan Islam Liberal, Ulil Absar Abdala yang masuk Partai Demokrat. Tokoh
Syiah, Jalaludin Rahmat yang masuk PDI-P. Itu baru sebagian, belum termasuk
tokoh-tokoh yang diindikasikan memiliki kedekatan dengan ideologi komunis yang
juga masuk ke parlemen. Bisa dibayangkan, jika mereka menguasai parlemen dan
membuat kebijakan yang mengikat seluruh rakyat Indonesia.
Setidaknya,
menurut saya, perjuangan melalui parlemen adalah salah satu cara yang bisa
ditempuh saat ini. Mari berpartisipasi, ketimbang hanya berdiam diri dan
menyaksikan keterpurukan mendera umat Islam dan negeri ini. Jika kelak ada
sistem yang lebih baik dan bisa diterapkan mengganti demokrasi, tidak ada
salahnya kita terapkan bersama-sama.
*)
Eko T. (Anggota PRPM Sendangagung)
Tulisan
ini adalah pendapat pribadi
0 comments:
Post a Comment