Si Pengemis Yang Menyindir…
Tuesday, January 7, 2014
0
comments
Oleh : Muhaimin Iqbal
Masyarakat Jakarta beberapa waktu lalu dihebohkan
oleh berita tertangkapnya seorang pengemis dengan uang tunai Rp 25,448,000.
Menurut Kasi Rehabilitasi Sudin Sosial Jakarta Selatan, uang ini adalah hasil
mengemis selama 15 hari. Artinya si pengemis ini memiliki penghasilan hampir Rp
1.7 juta per hari atau lebih dari Rp 50 juta sebulan – bebas pajak pula. Ini
kurang lebih setara dengan penghasilan manager atau bahkan general manager
perusahaan-perusahaan menengah atas di Jakarta !
Bila orang bekerja hanya untuk mengejar uang,
maka si pengemis inipun dengan mudah mengalahkan rata-rata pekerja dalam
hasilnya – bahkan menyamai atau melebihi gaji para manajer, penghasilan dia malah lebih dari 23 kali UMR
– DKI tahun 2013 ini !
Lantas apakah kita lebih baik rame-rame
mengemis saja kalau begitu ?, tentu tidak. Mengemis atau meminta-minta adalah
sangat dilarang dalam Islam. Terhinakan di dunia dan juga di akhirat :
“Terus-menerus seseorang itu suka meminta-minta kepada orang lain hingga pada
hari kiamat dia datang dalam keadaan di wajahnya tidak ada sepotong dagingpun.”
(HR. Al-Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1725).
Yang diperintahkan kepada kita adalah
sebaliknya, yaitu kita diperintahkan untuk bersedekah dan untuk bisa bersedekah
ini kita harus bekerja.
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Wajib bagi setiap muslim bersedekah”. Mereka (para sahabat) bertanya : “Wahai
Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak sanggup ?”. beliau menjawab : “Dia
bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya lalu dia bersedekah”.
Mereka bertanya lagi : “Bagaimana kalau tidak sanggup ?”. Beliau menjawab :”Dia
membantu orang yang sangat memerlukan bantuan”. Mereka bertanya lagi :
“Bagaimana kalau tidak sanggup lagi ?”. Beliau menjawab : “Hendaklah dia
berbuat kebaikan (ma’ruf) dan menahan diri dari keburukan karena yang demikian
itu berarti sedekah baginya””. (HR. Bukhari no. 1353 dan Muslim no. 1676).
Mulianya bekerja bahkan disamakan dengan
berjuang di jalan Allah bila diniatkan dengan benar. Suatu ketika Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedang duduk-duduk bersama dengan sejumlah
sahabat. Di hari yang masih pagi itu, ada seorang pemuda berbadan kekar gagah
perkasa melintas di hadapan mereka. Melihat pemandangan demikian para sahabat
spontan berkomentar: “Sayang sekali pemuda itu, alangkah hebatnya jika pemuda
berbadan tegap begitu dia manfaatkan untuk berjuang di jalan Allah”. Mendengar
gumam para sahabat seperti itu, Rasulullah langsung menegur dan menasehati
mereka dengan sabdanya:
“Jangan kalian bicara begitu! Dia itu, jika
bekerja untuk mencukupi diri sendiri agar tidak meminta-minta kepada orang
lain, berarti ia berjuang di jalan Allah. Jika dia bekerja untuk menghidupi
kedua orang tuanya yang telah tua, atau mencukupi kerabat yang lemah, dia itu
sama dengan berjuang di jalan Allah. Tetapi kalau dia itu bekerja untuk
berbangga-bangga dan untuk menumpuk harta, dia itu ada di jalan setan” (HR.
At-Thabrani).
Jadi bekerja untuk diri sendiri – agar tidak
menjadi beban orang lain, untuk keluarga dan kerabat-pun bisa bernilai berjuang
di Jalan Allah – yaitu bila tidak dimaksudkan untuk berbangga-bangga dan
menumpuk harta.
Lebih dari itu , bekerja juga adalah ibadah
kerena sesungguhnya kita diciptakan oleh Allah hanya untuk menyembah kepadaNya
– jadi seluruh aktifitas hidup kita harus dalam konteks ibadah ini. “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” ( QS
51:56).
Karena kedudukannya sebagai ibadah ini, maka
ultimate objective dari pekerjaan kita haruslah mencari ridloNya semata. Jadi
pertanyaan bagi setiap pekerja terhadap pekerjaannya seharusnya bukan “ berapa banyak saya akan mendapatkan
upah untuk pekerjaan ini ?” ; tetapi : “ Allah ridlo nggak ya dengan pekerjaan
saya ini ?”.
Pekerja yang hanya mengejar yang pertama
(upah), kemudian untuk memperoleh target penghasilannya dia menghalalkan cara
dengan korupsi, memakan riba, memeras, mendhalimi orang lain, mengambil yang
bukan haknya – maka mereka-mereka ini bisa lebih hina dari pengemis tersebut di
atas.
Pengemis meskipun sangat dilarang, tetapi
pengemis umumnya menerima uang dari orang yang memberinya secara sukarela –
tanpa paksaan. Lha bagi para koruptor, pemeras, pemakan riba dan yang mengambil
hak orang lain – mereka pada umumnya memperoleh hartanya tanpa keridlaan orang
yang diambil hartanya tersebut - tidak
ada rakyat yang rela bila hasil jerih payahnya dikorupsi oleh segelintir elit
untuk kepentingan mereka sendiri.
Walhasil, agar kita tidak terjerumus pada
pekerjaan yang bahkan lebih rendah dari pekerjaan pengemis tersebut diatas –
kita memang perlu sering-sering berintrospeksi dengan melontarkan pertanyaan
kepada diri kita sendiri, pertanyaan yang terkait dengan apa yang kita lakukan
dalam kehidupan kita ini - yaitu
pertanyaan : “ Allah ridlo nggak ya dengan apa yang saya lakukan ini, dalam
pekerjaan saya ini ? dst”.
Bila Allah ridlo, maka tidak ada lagi yang
kita perlukan selain ini. Yang sedikit menjadi cukup, yang banyak menjadi
tambahan berkah. Sebaliknya bila Allah tidak ridlo, yang sedikit semakin tidak
cukup – yang banyak menjadi semakin serakah.
Maka berita tentang pengemis yang kaya
tersebut di atas, menjadi sindiran untuk kita semua – agar setidaknya kita
semua bertanya kepada diri kita sendiri ; “ Allah ridlo nggak ya dengan
pekerjaan saya ini ?”. InsyaAllah.
*) Penulis adalah pemilik GeraiDinar.com
Alumni SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta
Sumber: geraidinar.com dengan editan
seperlunya.
0 comments:
Post a Comment