Dipaksa Masuk Surga
Friday, March 7, 2014
0
comments
Oleh: Eko Triyanto
Pas
jagongan Nasional beberapa waktu lalu, di sela acara saya sempat ngobrol dengan
seniman yang menekuni seni kaligrafi arab. Cukup lama kami berbincang. Mulai aktivitas
seni yang digeluti Kang Mahroji, begitu ia biasa disapa, bagaimana ia belajar hingga
seluk beluk menghasilkan karya yang tak selalu harus dinilai dengan uang. Satu
pesan yang masih saya ingat, berkarya itu menjadi suatu kewajiban jika kita
diberi sebuah bakat/kelebihan. Maknanya, membiarkan sebuah potensi yang
dianugerahkan Allah tanpa memanfaatkan untuk kebaikan, sama saja meniadakan
rasa syukur.
Kang
Mahroji sejak muda memang telah aktif dalam kegiatan dakwah. Menurut cerita
istri saya, yang rumahnya tak jauh dari kediaman beliau. Dulu kadang menjadi
pembawa acara di Perisai (Persatuan Remaja Masjid Al Ihsan, Senggotan, Bantul).
Dan Kang Mahroji menjadi pematerinya. Sebagai seorang seniman, gagasan beliau
kadang keluar dari keumuman. Dalam makna yang tak gampang diduga. Kebiasaann beliau
menghasilkan karya tanpa berpikir apakah karya ini akan laku dijual atau tidak
menjadi salah satu ciri khasnya. Ia tak mau berkarya semata demi uang. Ada hal
lebih penting dari itu semua. Dakwah dan kemajuan Islam. Karya-karya dalam
bentuk kaligrafi sempat menghiasi beberapa majalah, di antaranya Suara
Hidayatullah. Bahkan karyanya sempat dikumpulkan menjadi satu draf buku, yang
gagal cetak alias ditolak meskipun oleh penerbit yang dikelola kawannya
sendiri.
Namun
beberapa waktu lalu saya mendapat kabar, satu bukunya telah terbit. Dengan judul
yang menggelitik. Lebih Baik Dipaksa Masuk Surga daripada Sukarela Masuk Neraka.
Diterbitkan oleh Pro U Media Yogyakarta. Nanti saya kutipkan sinopsisnya.
Dalam
berorganisasi, terutama Muhammadiyah, ada kalanya berbuat kebaikan pun harus
dipaksa. Untuk berangkat ngaji harus di sms, di inbox facebook, diingatkan via
whatsapp, ditelepon hingga diampiri dan dibonceng. Tapi itu tak menjadi soal
karena beramal boleh jadi terpaksa di awal. Bahkan program ‘ampirisasi’ bisa
menjadi modal yang ampuh untuk mengajak kawan ke dalam kebaikan. Jadi jangan
pernah ragu memaksa orang lain untuk melakukan kebaikan yang akan membukakan
jalan ke surga. Terkadang juga, kita tidak bisa memaksa keluarga atau saudara
kita sendiri, maka mungkin butuh kawan atau orang lain yang bisa mengajaknya.
Untuk
sinopsis bukunya demikian, Teramat bodoh
dan menyiksa diri jika hidup hanya ditujukan untuk toilet. Sekali lagi, toilet
adalah tempat singgah bukan tujuan. Dan yang sudah keluar dari toilet—sebagus
apa pun toiletnya—tidak akan kembali mengorek-ngorek atau sekadar melihat-lihat
apa yang tadi dilakukan di sana. Siapa yang dapat kembali ke dunia setelah
mati? Nggak ada!
Seindah dan sebersih apa pun toiletnya,
akhirnya akan diludahi, dikencingi, dan diberaki juga. Sorry, maaf jangan
tersinggung yang siang-malam terus-menerus mengurusi toilet. Toilet…
toilet-toilet wangi, wangi-wangi pesing.
***
Begitulah sekelumit bahasan dalam buku
ini, selain juga memuat hal-hal menarik yang “berkeliaran” di sekeliling kita.
Ada inspirasi dari keluarga; ada petuah dari pergaulan dengan tetangga dan
teman sejawat; ada renungan yang patut dicamkan dari ontran-ontran yang semakin
mambu dari kursi para pemangku kuasa. Juga ada berbagai analogi yang jarang
diketengahkan oleh para penulis umumnya, sebut saja dunia dengan toilet; jamaah
shalat dengan pekerja bangunan; sampah masyarakat dengan kerikil; dan masih
banyak lagi hal tak terduga yang akan Anda temukan di dalamnya.
Karenanya, siapkan diri Anda untuk
menerima ilmu yang sangat langka ini…!!! Berani…???
Penulis
buku, Mahroji Khudori
Harga
buku Rp. 50.000
Sumber sinopsis, facebook.com
0 comments:
Post a Comment