Mencontoh Pengelolaan Masjid Jogokariyan Yogyakarta
Sunday, March 2, 2014
0
comments
Dari
Jogokariyan, kami bercita membawakan cahaya untuk gelap semesta dengan da’wah
dengan 3 pilar utama: Al Quran, Masjid, dan Sirah Nabawiyah.
.................
Masjid
Maka
sejak pertengahan 1990-an, HM Jazir ASP mulai menggarap pilar da’wah kedua,
Masjid. Dan beliau memulainya dari Masjid Jogokariyan.
Datanya:
negeri kita memiliki lebih dari 1 Juta Masjid; besar dan kecil. Berapa yang
jadi BEBAN dibanding yang MEMBERDAYAKAN? Ratusan ribu Masjid membebani jamaah
untuk listrik, air, dan kebersihan padahal pemanfaatannya hanya shalat dan tak
pernah penuh.Aset Masjid berupa jutaan meter persegi tanah dan bangunan dinilai
dari aspek apapun; Spiritual, Sosial, dan Ekonomi sangat tak produktif.
Padahal,
soal Masjid adalah ideologi sekaligus substansi
Peradaban Islam. Lawannya: ideologi dan substansi Peradaban Pasar.
Sebaik-baik tempat di muka bumi dan yang paling dicinta Allah adalah Masjid.
Seburuk-buruknya ialah Pasar. Tapi ada rumusnya: “Jika Pasar mengalahkan
Masjid, maka Masjid MATI. Jika Masjid mengalahkan Pasar, maka Pasar HIDUP,”
kata Abu Bakar Ash Shiddiq.
Istilah
Masjid dan Pasar sejatinya tak cuma mewakili tempat; namun juga nilai
Peradaban, contohnya: Ekonomi Pasar vs Ekonomi Masjid.
Tapi
baiklah, tidak kita panjangkan bahasan itu; kita masuk pada langkah strategis
dan praktis yang ditempuh HM Jazir ASP di Jogokariyan.
Secara
sederhana, -apa yang di kemudian hari disebut Manajemen Masjid- ada di 3
langkah: Pemetaan, Pelayanan, dan Pemberdayaan.
Pemetaan
artinya; setiap Masjid harus memiliki peta dakwah yang jelas, wilayah kerja
yang nyata, dan jama’ah yang terdata. Pendataan yang dilakukan Masjid terhadap
jama’ah mencakup potensi dan kebutuhan, peluang dan tantangan, kekuatan dan
kelemahan.
HM
Jazir ASP di Jogokariyan menginisiasi Sensus Masjid: pendataan tahunan yang
hasilnya menjadi Data Base dan Peta Dakwah komprehensif.
Data
Base dan Peta Dakwah Jogokariyan tak cuma mencakup nama KK dan warga,
pendapatan, pendidikan, dan lainnya, melainkan sampai pada siapa saja yang
shalat dan yang belum, yang berjama’ah di Masjid dan yang tidak, yang sudah
berqurban dan berzakat di Baitul Maal Masjid Jogokariyan, yang aktif mengikuti
kegiatan Masjid atau belum, yang berkemampuan di bidang apa dan bekerja di
mana, dan seterusnya. Detail sekali.
Dari
data base Masjid Jogokariyan kita misalnya bisa tahu; dari 1030 KK (4000-an
penduduk), yang belum shalat tahun 2010 ada 17 orang. Lalu bandingkan dengan
data th 2000, warga Jogokariyan yang belum shalat ada 127 orang. Dari sini,
perkembangan da’wah 10 tahun terlihat.
Peta
Dakwah Jogokariyan memperlihatkan gambar kampung yang rumah-rumahnya
berwarna-warni: hijau, hijau muda, kuning, dan seterusnya hingga merah. Di tiap
rumah ada juga atribut ikonik: Ka’bah (sudah berhaji), Unta (sudah berqurban),
Koin (sudah berzakat), Peci, dan lain-lain. Konfigurasi rumah sekampung itu
dipakai untuk mengarahkan para Da’i yang cari rumah. Saya misalnya ditempatkan
di Barat Daya Jogokariyan.
Data
potensi Jama’ah dimanfaatkan sebaik-baiknya; segala kebutuhan Masjid Jogokariyan
yang bisa disediakan jama’ah diorder dari mereka. Masjid Jogokariyan juga
berkomitmen tidak membuat Unit Usaha agar tak menyakiti jama’ah yang memiliki
bisnis serupa. Ini harus dijaga.
Misalnya;
tiap pekan Masjid Jogokariyan terima ratusan tamu. Konsumsi untuk mereka
diorderkan secara bergiliran pada jama’ah yang punya rumah makan.
Data
jama’ah digunakan untuk Gerakan Shubuh Berjama’ah. Pada 2004 dibuat Undangan
Cetak layaknya pernikahan untuk itu; by name. UNDANGAN: “Mengharap kehadiran
Bapak/Ibu/Saudara …. dalam acara Shalat Shubuh Berjama’ah, besok pukul 04.15
WIB di Masjid Jogokariyan..”
Undangan
itu dilengkapi hadits-hadits keutamaan Shalat Shubuh. Hasilnya? Silakan mampir
Jogokariyan merasakan Shubuh sepertiga Jumatan.
Sistem
keuangan Masjid Jogokariyan juga berbeda dari yang lain. Jika ada Masjid
mengumumkan dengan bangga bahwa saldo infaknya jutaan, maka Masjid Jogokariyan
selalu berupaya keras agar di tiap pengumuman, saldo infak harus sama dengan
NOL! Infak itu ditunggu pahalanya untuk jadi ’amal shalih; bukan untuk disimpan
di rekening Bank.
Pengumuman
infak jutaan akan sangat menyakitkan jika tetangga Masjid ada yang tak bisa ke
Rumah Sakit sebab tak punya biaya, atau tak bisa sekolah. Masjid yang menyakiti
jama’ah ialah tragedi da’wah.
Dengan
pengumuman saldo infak sama dengan NOL; jama’ah lebih semangat mengamanahkan
hartanya. Kalau saldo jutaan, ya maaf.
Masjid
Jogokariyan pada 2005 juga menginisiasi Gerakan Jama’ah Mandiri. Jumlah biaya
setahun dihitung, dibagi 52; ketemu biaya pekanan. Dibagi lagi dengan kapasitas
Masjid; ketemu biaya per-tempat shalat. Lalu disosialisasikan. Jama’ah
diberitahu bahwa jika dalam sepekan mereka berinfak segitu, maka dia Jama’ah
Mandiri. Jika lebih, maka dia Jama’ah Pensubsidi. Jika kurang maka dia Jama’ah
Disubsidi. Sosialisasi ditutup kalimat: “Doakan kami tetap mampu melayani
ibadah Anda sebaik-baiknya.”
Gerakan
Jama’ah Mandiri sukses menaikkan infak pekanan Masjid Jogokariyan hingga 400%;
ternyata orang malu jika ‘ibadah saja disubsidi.
Demikianlah
jika peta, data, dan pertanggungjawaban keuangannya transparan (Infak Rp. 1000
pun kita tahu ke mana alirannya), tanpa dimintapun Jama’ah akan berpartisipasi.
Tiap kali renovasi, Masjid Jogokariyan berupaya tak membebani jama’ah dengan
proposal..
Takmir
hanya pasang spanduk, “Mohon Maaf Ibadah Anda Terganggu, Masjid Jogokariyan
sedang Kami Renovasi.” No rekening tertera di bawah.
Satu
kisah lagi untuk menunjukkan pentingnya data dan dokumentasi. Masjid
Jogokariyan punya foto pembangunannya di tahun 1967. Gambarnya: seorang bapak
sepuh berpeci hitam, berbaju batik, dan bersarung sedang mengawasi para tukang
mengaduk semen untuk Masjid Jogokariyan.
Di
tahun 2002/2003 Masjid Jogokariyan direnovasi besar-besaran; foto itu dibawa
kepada putra si kakek dalam gambar, seorang Juragan Kayu. Dikatakan padanya,
“Ini gambar Ayahanda Bapak ketika membangun Masjid Jogokariyan, kini Masjid
sudah tak mampu lagi menampung jama’ah kami bermaksud merenovasi Masjid; jika
berkenan untuk melanjutkan ‘amal jariyah beliau, kami tunggu partisipasinya di
Jogokariyan”
Alhamdulillah,
foto tahun 1967 itu membuat yang bersangkutan menyumbang Rp.1 Milyar dan mau
jadi Ketua Tim Pembangunan Masjid Jogokariyan, sampai sekarang….
Artikel ini disusun ulang redaksi
Fimadani dari kultwitt Ustadz Salim A. Fillah tentang Masjid #Jogokariyan.
0 comments:
Post a Comment