Ternyata 'Harga' Goenawan Mohammad Hanya 50 Dolar Saja
Sunday, March 2, 2014
0
comments
Sepak
terjang Goenawan Mohamad, bekas pemimpin tertinggi Tempo yang amat kesohor
sebagai tokoh liberal dan kini Neo-Lib, dan amat dihormati di lingkungannya
dengan panggilan kehormatan : GM.
Namun
kini tiba-tiba GM dikuliti oleh Wijaya Herlambang dalam buku berjudul,
"Kekerasan Budaya Pasca 1965" yang terbit November 2013 lalu.
Pengungkapan buku ini membenarkan dugaan banyak pihak, bahwa GM dibiayai
lembaga filantropi mulai : Ford Fondation, Rockefeller Fondation, Asia
Fondation Open Society Institue, USAID juga tokoh Yahudi George Soros.
Laporan
ini tidak bermaksud hendak membedah buku Kekerasan Budaya Pasca 1965, tapi
sekadar mengutip di sana sini riset yang dilakukan Wijaya Herlambang sang penulis
yang kini dosen di Universitas Pancasila dan Gunadarma, tentang seorang GM.
Sangat
menarik mengutip dalam buku itu, apa yang dilakukan Ivan Kats, pimpinan teras
CCF (Congress for Culture Freedom) yang merupakan sayap operasi CIA, yang telah
membina GM pada 1960-an. Bagaimana Kats berkorespondensi dengan GM pada 1969
dan terang-terangan memperlakukan GM bak ‘kacung’, kita kutip korespondensinya
diantaranya :
"Saya
ingin kamu memilih seorang pemikir Barat (saya ingat kesukaanmu pada Camus),
pilih 40-60 halaman tulisannya. Terjemahkan atau kita minta orang lain
menterjemahkan, sesudah kamu memilih teksnya. (Tulis) pengantar yang dalam dan
tajam yang bisa menunjukkan kenapa kamu, Gun, merasa bahwa penulis ini memiliki
pandangan yang penting bagi orang Indonesia atau generasimu. Pilih sebuah teks
dan bertarunglah dengan si penulis bagai daimon Indonesia menghadapi kekuatan
cahaya. Atau sebaliknya…Saya akan membayarmu $50 di awal kerja, dan $50 lagi
pada saat pengiriman, ditambah ongkos penerjemahan…Sementara itu, saya akan
mencari dana, dan akan mendapatkannya. Bagaimanapun, hak-hakmu di atas saya
jamin secara pribadi (20 November 1969)."
Sebuah
perintah seorang agen Barat kepada seorang komprador yang luar biasa, menghina
sekaligus penghargaannya yang sangat murah, kepada seorang GM, 50 dolar saja
yang jika disetarakan nilai hari ini tak lebih dari enam ratus ribu saja.
Penulis buku itu, Wijaya Herlambang kemudian membuktikan perintah Ivan Kats ini
dikerjakan oleh GM setelah pada 1988 Yayasan Obor menerbitkan terjemahan
tulisan Albert Camus yang dikumpulkan menjadi sebuah bunga rampai berjudul
"Krisis Kebebasan" dengan pengantar Goenawan Mohamad.
Goenawan
Mohamad sejak Tempo diberangus rezim Soeharto (1994) menempatkan diri sebagai
pelawan orde baru yang handal. Dengan lenyapnya Tempo GM membangun Komunitas
Utan Kayu (KUK) yang bermarkas di Jalan Utan Kayu Jakarta Timur. Lembaga ini
kemudian melahirkan serenceng lembaga kebudayaan mulai AJI (Aliansi Jurnalistik
Indonesia), Jaringan Islam Liberal (JIL), Teater Utan Kayu (TUK) yang
diplesetkan bulletin Boemiputra menjadi Tempat Umbar Kelamin, sekaligus agen
imperialis Barat.
Kehadiran
JIL dirasakan umat Islam terbesar sebagai alat penghancuran Islam di negeri
ini. Karena itu JIL disebut dibiayai lembaga filantropi Barat mencapai 150.000
USD/tahun.
Pendek
kata KUK melalui lobby GM ke sejumlah orang-orang teras USAID, berhasil
menguras dananya sebesar 100.000 -200.000 USD, sehingga menempatkan KUK sebagai
agen Barat. Termasuk mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada 1995
dan belakangan membangun Salihara di kawasan Pasar Minggu sebagai pusat budaya.
Yang
sangat dirasakan menyakitkan bagi kelompok Islam mainstream, kehadiran KUK di
bawah GM, misalnya Radio FM 68, JIL, bahkan berbagai penerbitan bawah tanahnya
seperti Bergerak, X-Pos hingga Tempo majalah dan Koran Tempo yang kini sejak
era reformasi, kembali terbit, kesemua produk GM ini cenderung menghantam
aspirasi Islam.
Kini
terbongkar melalui buku Wijaya Herlambang, semua ini tidak aneh, GM sejatinya
seorang komprador sejati, yang diakuinya sendiri, dia memang dibiayai serenceng
lembaga filantropi Barat dan Asia termasuk Asia Foundation dan Japan
Foundation, termasuk tokoh Yahudi Gerge Soros itu.
Memang
Herlambang belum menyajikan ulasan bagaimana peranan GM saat rezim Soeharto
jatuh di mana Soros ikut memainkan peranan menghancurkan ekonomi Indonesia.
Hanya dikutip sekilas GM bersama Adnan Buyung Nasution terlihat menonjol di
saat itu namun bukanlah dua orang itulah sejatinya yang memainkan peranan
terpenting dalam reformasi Mei 1998 itu.
Yang
jelas melalui seluruh penampilannya, GM cenderung berlawanan arus dengan Islam.
Tatkala umat Islam makin bersikeras menentang eksistensi aliran sesat Ahmadiyah
dan mendesak pemerintah membubarkannya, awal 2008, GM dan kelompoknya
menentangnya dan mendirikan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan) dan memajang iklan di harian Kompas menunjukkan eksistensinya
seraya mengecam umat Islam mainstream yang dituduhnya melanggar hak-hak asasi
warga Ahmadiyah, mengancam kebhinekaan, sekaligus menyebar kebencecian,
kekerasan, dan ketakutan di tengah masyarakat.
Pengumuman
yang ditandatangani 250-an nama dengan membawa sejumlah tokoh Islam yang kurang
pikir, seperti Syafii Maarif, Gus Dur, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Utomo
Dananjaya, dan Djohan Effendi yang memang agen Ahmadiyah, mengundang masyarakat
menghadiri apel akbar di Monas pada 1 Juni 2008. Jadilah bentrokan di bawah
tugu Monas dengan FPI yang mengakibatkan Munarman, SH dan Habib Rizieq Syihab
dijebloskan ke penjara.
Sejak
peristiwa Monas itu berkembang adagium melalui wacana dan opini pers bahwa umat
Islam dituduh selalu menolak keberagaman, melecehkan minoritas, menolak
pluralisme, bahkan tuduhan umat Islam dan sejumlah Ormasnya cenderung
memaksakan kehendak, bahkan dengan cara-cara vandalisme, kekerasan fisik, dan
kesemuanya itu bagai dibiarkan saja oleh aparat keamanan. Contoh yang sering
dikemukakan dalam hal ketertindasan kaum minoritas oleh Islam adalah kasus
Gereja Yasmin di Bogor, kasus bentrokan Cikeusik Banten dengan warga Ahmadiyah,
juga kasus Syiah di Sampang Madura.
Berbagai
kasus yang disebutkan sebagai contoh itu dalam berbagai rubrik di Suara Islam
seringkali dibongkar fakta yang sebenarnya terjadi yakni pemutar-balikan fakta
yang sangat kurang ajar.
Seperti
dalam diskusi bertajuk "Memilih Presiden Peduli Pluralisme" di Forum
Alumni Fisip UI Jakarta (26/1), fitnah kepada umat Islam kembali terjadi.
Pemutarbalikan fakta di lakukan oleh seoranng panelis. Dalam diskusi itu
dihadirkan panelis Budiarto Shambasy dari Kompas, Jaya Suprana, Alvin Lee bekas
tokoh PAN.
Pendapat
Budiarto Shambasy esok harinya dilansir Kompas dengan pernyataan : “Keberagaman
sudah terancam sejak insiden Monas 1 Juni 2008. Saat itu pawai kebhinekaan
diserbu kelompok radikal dan tidak pernah ada proses hukum yang memberi efek
jera. Tragedi Monas memicu insiden lain yang tidak jelas penyelesain hukumnya
seperti kasus HKBP Philadelpia, Syiah Sampang Madura dan Gereja Yasmin Bogor,”
Demikian Budi Shambasyi.
Pernyataan
ini walau keluar dari wartawan Kompas yang dianggap selama ini sangat cerdas
ternyata jauh dari fakta yang sebenarnya. Ia menyebut insiden Monas tidak
diselesaikan secara hukum, tentu pernyataan yang sangat salah, karena kasus itu
telah menjebloskan Munarman SH ke dalam penjara bersama Habib Rizieq, selama
satu setengah tahun. Betapa awamnya seorang Budi Shambasyi ? Itu urusan dia
sendiri. Jika dia mau mengikuti seluruh persidangan insiden Monas itu, dia akan
mengikuti bahwa Munarman dan Habib Rizieq tidak bersalah. Setiap kali
persidangan digelar keduanya dengan telak selalu membuktikan dirinya tidak
bersalah. Namun mereka harus mengikuti kompromi mengikuti vonis yang dijatuhkan
karena tekanan penguasa. Dokumen persidangan semua itu masih bisa dibaca dengan
gamblang oleh siapapun termasuk oleh wartawan Kompas yang kondang sangat pintar
itu.
Barangkali
sikap Budiarto seperti itu hanyalah berlagak pilon, asal aspirasi Islam apapun
harus dihantamnya. Itulah yang juga selalu dilakukan oleh GM yang kini mewabah
di negeri ini sebagai sebuah pesanan dari alat-alat propaganda dan intelejen
Barat, khususnya AS, seperti USAID, Rand Corporation, dan serenceng lembaga
filantropi mulai Rockefeller Foundation, Ford Foundation dan serenceng lembaga
lainnya.
Dulu
kita semua hanya menduga-duga peranan GM yang telah menjadi alat Barat,
misalnya dukungan GM kepada sistem politik dan ekonomi liberal di
Indonesia—khususnya akhir-akhir ini—dan karena itu habis-habisan ia mendukung
Wapres Boediono
Sumber: Suara Islam
0 comments:
Post a Comment