Aplikasi Fastabiqul Khairat; Analogi Dua Rumah Makan
Wednesday, April 2, 2014
0
comments
Buatlah
Muhammadiyah menjadi rumah yang nyaman maka roda kaderisasi akan terus
berjalan. Sehingga tidak memaksa orang lain dalam ketidaknyamanan dalam
ber-Muhammadiyah. Jika Islam saja mengajarkan agar bisa beragama dengan nyaman,
mengapa organisasi dakwah yang seharusnya menuju ke sana justru tak nyaman?
Terkadang
kita terjebak dalam wacana, karena lontaran ide para tetua yang tak selalu
memahami kondisi di akar rumput. Dengan mudahnya menjustifikasi sebuah gerakan
sebagai musuh, ancaman dan patut diwaspadai secara tak proporsional. Saya
teringat analogi dua buah rumah (warung) makan yang biasa dibincangkan dengan
rekan.
Jika
ada dua buah rumah makan, satu rumah makan telah lama berdiri. Pengunjungnya
cukup ramai. Di satu ketika di sebelahnya berdiri rumah makan baru. Pelan tapi
pasti kehadiran warung ini mengurangi pelanggan warung lama. Sehari dua hari
tak menjadi masalah maka warung lama tak menanggapinya dengan serius. Tak
mengubah apapun. Tetap dengan pelayanan seperti biasanya. Namun berganti bulan,
warung baru semakin ramai, berbanding terbalik dengan warung lama.
Para
pengelola warung lama tampak kewalahan. Mereka mencoba berbagai cara untuk
mengatasi kesenjangan. Sebagian berpikiran memandang orang pihak lain. Bbagaimana
‘menghancurkan’ reputasi warung baru. Dengan harapan para pelanggan kembali
kepada mereka. Sebagian melihat kondisi diri. Berpikir bagaimana memperbaiki
pelayanan, meracik menu istimewa, meninjau kembali harga, mempercantik fisik
warung dan sebagainya.
Dalam
tulisan saya sebelumnya, vitalitas dalam rivalitas, adanya pesaing menjadikan
kita leih mudah dalam mengaplikasikan kalimat fastabikul khairat. Sehingga
setidaknya dengan adanya pesaing yang digemari banyak orang, kita bisa mengoreksi
diri dan memperbaiki diri agar kader-kader tertarik dan merasa nyaman. Bukan
justru menghakimi. [esp]
0 comments:
Post a Comment