Berhentilah Melecehkan Tuhan Yang Maha Esa!
Tuesday, October 14, 2014
0
comments
oleh Dr Adian Husaini
Indonesia
– diakui – saat ini merupakan negara muslim terbesar. Tahun 2014, jumlah
penduduk Indonesia sudah mencapai angka sekitar 244 juta jiwa.
(http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com_proyeksi&task=show&Itemid=941).
Konon, kekayaan alamnya juga melimpah ruah. Meskipun sudah dieksploitasi dengan
berbagai cara, kandungan ikan, hutan, minyak, gas, batubara, dan sebagainya,
masih saja belum habis-habis.
Hanya
saja, ironisnya, di tengah melimpahnya kekayaan minyak, rakyat Indonesia justru
sering dipaksa mengantri untuk membeli Bahan Bakar Minyak (BBM).
Indonesiadikenal sebagai salah satu negara penghasil gas terbesar di dunia.
Uniknya, harga gas elpiji di Indonesia (saat artikel ini ditulis) lebih mahal
dari harga elpiji di Malaysia, yang konon bahan mentahnya diimpor dari
Indonesia. Lihat juga harga daging, ikan, dan sebagainya.
Tahun
1984, saat memasuki bangku kuliah di satu PTN, saya tidak ditarik uang masuk
apa pun. Uang SPP-nya hanya Rp 48 ribu per semester. Kini, meskipun anggaran Pendidikan sudah
dinaikkan, berbagai PTN masih meminta bayaran uang masuk Perguruan Tinggi
kepada mahasiswa baru. Ada yang nilainya puluhan juta. Jika kita melawat ke
Timur Tengah dan berbagai negara lain, sebagai bangsa Muslim terbesar, kita “miris”
menyaksikan kondisi TKW kita. Banyak diantara mereka berstatus sebagai istri
dan ibu yang harus meninggalkan suami dan anak-anak mereka, selama
bertahun-tahun, demi menyambung hidup.
Ada
apa dengan negara kita? Apakah bangsa kita tidak mendapatkan rahmat dari
Tuhan? Padahal, sejak awal, bangsa ini
sudah menerima konsep dasar Ketuhanan. Bahkan, dalam Pembukaan Konsitusi (UUD
1945), ditegaskan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah”atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa”. Juga, disebutkan, bahwa “Negara berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di dalam
setiap Undang-undang yang disahkan oleh DPR bersama Presiden, diawali dengan
penegasan: “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.
Jika
posisi Tuhan Yang Maha Esa begitu penting, lalu di manakah Tuhan itu diletakkan
oleh bangsa Indonesia, oleh para pemimpin kita, para tokoh, dan juga para
cendekiawan kita. Dalam CAP-381 lalu, sudah kita paparkan, bahwa bagi kaum
Muslim, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai-nilai ketauhidan. Tuhan Yang Maha
Esa adalah Allah SWT, yaitu nama Tuhan orang Muslim, yang secara resmi disebut
dalam Pembukaan UUD 1945.
Itulah
yang diputuskan oleh para ulama yang berkumpul dalam Musyawarah Nasional
(Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 21 Desember 1983.
Ketika itu Munas menetapkan “Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan
Islam” yang pada poin kedua menegaskan:
“Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut
pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut
pengertian keimanan dalam Islam.”
Jadi,
begitu pentingnya kedudukan Tuhan Yang Maha Esa dalam Konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Coba kita renungkan dengan hati yang dingin, untaian kata-kata pada alinea keempat
Pembukaan UUD 1945: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Renungkan
sekali lagi, dan mohon sekali lagi!
Bahwa,
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu harus berdasar kepada
“Ketuhanan Yang Maha Esa!” Jika mengikuti keputusan Munas Ulama NU tahun 1983,
itu artinya, Negara Indonesia ini berdasarkan kepada Tauhid. Bagi muslim, siapa pun orangnya, dan apa pun
jabatannya, sepatutnya menyadari hal itu. Negara berdasar atas ketuhanan Yang
Maha Esa, bermakna, pemerintahan negara itu harus tunduk kepada prinsip-prinsip
dan ajaran Tauhid. Maksudnya, yang harus mentaati ajaran Tuhan Yang Maha Esa,
bukan hanya individu dan komunitas Muslim, sebagaimana disebut dalam “tujuh
kata” Piagam Jakarta yang sudah tergantikan dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, tetapi, Negara Indonesia itu sendiri, yang harus mendasarkan diri pada
ajaran Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai
manusia, tentu suatu saat pernah berbuat salah; mungkin tergoda rayuan setan,
sehingga terjebak dalam kesalahan. Tapi, orang beriman senantiasa mudah
menyadari kesalahan dan bersegera dalam taubat. Jika salah, mengaku salah.
Bukan malah menantang Tuhan seperti yang pernah dilakukan oleh Iblis. Lebih tak
patut lagi, jika berani mempermainkan Tuhan Yang Maha Esa. Ketika berkampanye
berpura-pura dekat dengan Tuhan, setelah menjadi pejabat negara, Tuhan
dicampakkan; ajaran-ajaran-Nya disingkirkan, digantikan dengan ajaran-ajaran
setan.
Bukan
kebetulan, bahwa Negara Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa sepatutnya
bukan hanya dijadikan penghias dinding-dinding kantor dan sekolah atau sekedar
lantunan ritual kosong yang disajikan setiap upacara bendera. Bung Hatta,
seorang yang dianggap paling bertanggung jawab dalam penghapusan “tujuh kata”
dan perumusan sila pertama ini, mencatat:
“
Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing
– seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno bermula – melainkan jadi dasar yang
memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.
Negara dengan itu memperkokoh fondamennya. Dengan dasar-dasar ini sebagai
pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakekatnya tidak boleh
menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan
keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa….
Dengan bimbingan dasar-dasar yang tinggi dan murni akan dilaksanakan tugas yang
tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan,
karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan gaib yang
membimbing kembali ke jalan yang benar… Sebab, apa artinya pengakuan akan berpegang
kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila kita tidak bersedia berbuat dalam
praktik hidup menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
seperti kasih sayang serta adil?” (Lihat, Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila,
Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, hlm. 30-31).
Prof.
Notonagoro, pakar hukum dan filsafat Pancasila dari UGM, menulis dalam bukunya,
Pancasila, Secara Ilmiah Populer (Jakarta, Pancuran Tujuh, 1971):
“Sejak
kita kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, pada 5 Juli 1959, maka isi arti
dari sila yang pertama itu mendapat tambahan. Perlu ditegaskan, bukan
kata-katanya ditambah atau diubah, kata-katanya tetap, akan tetapi isi artinya
mendapat tambahan, dan lengkapnya dengan tambahannya itu ialah “kesesuaian
dengan hekekat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” (hlm.
69. NB. Tulisan telah disesuaikan dengan EYD).
Prof.
Notonagoro juga menegaskan:
“Sila
ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti mutlak, bahwa dalam Negara
Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal ke-Tuhanan atau
keagamaan bagi sikap dan perbuatan anti ke-Tuhanan atau anti keagamaan dan bagi
paksaan agama.” (hlm. 73).
Prof.
Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat, “Bahwa yang dimaksud dengan
Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan
Allah’ (Prof. Hazairin,Demokrasi Pancasila, hlm. 31).
Tahun
1951, Prof. Hamka, menulis dalam sebuah risalah kecil berjudul “Urat Tunggang
Pancasila”, bahwa suatu bangsa, menurut kaum yang memperjuangkan ketuhanan
Yang Maha Esa, akan mencapai derajat
yang setinggi-tingginya, selama mereka masih memegang tiga perkara pokok dari
Kemerdekaan, yaitu (1) Merdeka iradah, (2) merdeka pikiran, dan (3) merdeka
jiwa.
“Kepercayaan
inilah yang menyebabkan tidak ada ketakutan. Tidak takut miskin, dan tidak
sombong lantaran kaya. Tahan seketika dapat sengsara, dan tahan pula seketika
dapat ni’mat. Dan tidak pula canggung seketika jatuh dari ni’mat. Karena yang
dikerjakan dalam hidup ini adalah bakti dan ibadah belaka. Dan kalau pokok ini
yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah permulaan hilan kemerdekaan. Walaupun
serdadu asing tidak ada di dalamnya lagi. Bahkan, pemerintahannya itulah yang
akan asing baginya.” (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Media Dakwah,
1985, hlm. 28-29).
Memang,
tentu tidak sesuai dengan akal sehat kita sebagai manusia, bahwa sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, dimaknai sekedar mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Lalu,
pada saat yang sama, manusia hidup tanpa mempedulikan Tuhan. Apalagi, sampai
berani melawan Tuhan. Lebih parah lagi, mengubah-ubah ajaran Tuhan, dengan
tujuan untuk menyesatkan manusia. Sikap mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan
Yang Maha Esa – tetapi menolak untuk diatur oleh-Nya -- seperti itu pernah
dilakukan oleh makhluk durjana bernama Iblis yang telah dilaknat oleh Tuhan
Yang Maha Esa, karena membangkang atas perintah-Nya.
*****
Di
bulan Oktober 2014 ini kita akan mengalami pergantian pemerintahan. Rezim Pak
SBY akan digantikan dengan rezim baru, khususnya di jajaran Eksekutif dan
Yudikatif. Presiden dan wakil Presiden baru telah terpilih. Saat artikel ini
ditulis, beredar luas ratusan nama calon menteri. Seperti ritual lima tahunan,
biasanya, setiap pergantian kekuasaan, ada harapan baru di tengah masyarakat.
Meskipun terasa berat, kita masih boleh berharap, bahwa para pemimpin bangsa
mau menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar dalam perumusan konsep
dan program Pembangunan Nasional, agar tercapai tujuan negara yang merdeka,
berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Padahal,
setiap Muslim, senantiasa mengikrarkan dua kalimah syahadat, yang maknanya
terang benderang: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!” Maknanya jelas, seorang Muslim
hanya mengakui Tuhan yang Esa, yaitu Allah. Ia menolak tuhan-tuhan lain. Ia
hanya menyembah dan taat kepada Allah, bukan taat kepada Tuyul atau Genderuwo! Ia pun mengakui, berikrar, bersaksi, bahwa
Allah sudah mengirimkan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia, yaitu Muhammad
saw, yang ajaran-ajarannya pasti menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Betulkah
ciri utama manusia Indonesia – seperti dikatakan budayawan Mokhtar Lubis –
adalah munafik? Yakni, lain yang dikata, lain pula yang dibuat? Wallahu a’lam.
Yang jelas, al-Quran begitu banyak menjelaskan ciri-ciri orang-orang munafik.
Diantaranya, jika bertemu orang mukmin, mereka mengaku-aku beriman; dan jika
bertemu sesama munafik, mereka pun mengaku bagian dari golongan munafik juga.
Mereka hanya melakukan pelecehan dan penghinaan kepada orang-orang beriman. (QS
2:14).
Sikap
dan perilaku jahat kaum munafik – yang secara lahir mengaku beriman, tetapi
batinnya mencintai kekufuran – bahkan diabadikan dalam satu surat khusus, yaitu
Surat al-Munafiqun (63). Mereka dikenal sebagai pendusta, mengaku-aku iman
padahal selalu memusuhi kaum Muslimin. Kadang mereka tak segan
bersumpah-sumpah agar bisa dipercaya.
Padahal, mereka selalu berusaha menghalagi manusia untuk mendekat kepada Allah.
Juga, tak jarang penampilan lahiriah kaum munafik itu sangat memukau; ucapan-ucapan mereka pun
banyak didengar orang. Jika diajak beriman, mereka bersikap angkuh, membuang
muka, enggan menerima kebenaran. (QS 63:1-5).
Ada
lagi golongan manusia yang al-Quran begitu banyak menjelaskan tentang sifat dan
perilaku jahat mereka. Itulah golongan Yahudi. Golongan atau kaum Yahudi
dikenal sangat materialis dan berlebihan dalam mencintai kehidupan dunia (QS
2:96); mereka pun sangat rasis, memandang bangsa Yahudi sebagai bangsa pilihan
Tuhan karena berdarah Yahudi, sedangkan yang bukan Yahudi dianggap sebagai
manusia kelas rendah (QS 62:6). Surat al-Baqarah banyak menceritakan bagaimana
kebiadaban dan pengkhianatan Yahudi kepada Nabi Musa, yang telah menyelamatkan
mereka dari kekejaman Firaun.
Di
era modern ini, kejahatan kaum Yahudi juga banyak diungkapkan oleh ilmuwan
modern, seperti Paul Findley dan Dr. David Duke. Nama yang terakhir ini adalah
sejarawan AS yang saat ini melakukan kampanye secara massif dan serius untuk
membuka kejahatan-kejahatan kaum Yahudi dalam sejarah dan di era kini. (lihat,
situs http://davidduke.com/).
Ciri
lain kaum Yahudi yang disebut dalam al-Quran, adalah bahwa mereka suka merusak
ajaran agama, dengan cara mengubah-ubah ayat-ayat Allah atau mengaku-aku
tulisan mereka sendiri sebagai wahyu Allah. (QS 2:75, 79). Mereka pun enggan
mengikuti semua ajaran Allah yang dibawa melalui utusan-Nya; mereka hanya mau
mengimani sebagian dan menolak sebagian ajaran Tuhan yang lain. (QS 2:85).
Maka, sebagai Muslim, kita selalu berdoa setiap melaksanakan shalat, semoga
kita tidak mengikuti perilaku dan jalan hidup kaum yang dimurkai Allah ini
(al-maghdlub).
Jika
kita yang orang Indonesia sudah menyatakan diri beragama Islam, mengaku sebagai
Muslim, apa pun posisi dan kedudukan sosialnya, maka tidak relevan lagi, kita
berdiskusi, apakah Indonesia ini negara agama atau negara sekuler. Wacana bahwa
Indonesia adalah “bukan negara agama dan bukan negara sekuler” – tetapi juga
bukan negara yang bukan-bukan – tidak berlaku bagi seorang Muslim yang memiliki
pandangan alam (weltanchaung/worldview) Islam. Sebab, di mana pun, dan kapan
pun, seorang Muslim akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, yang cinta
dan ridha untuk selalu berusaha mentaati ajaran-ajaran Allah yang disampaikan
kepada kita melalui utusan-Nya yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad saw).
Seorang
muslim, apakah ia presiden atau penjual ayam goreng, tidak mungkin (MUSTAHIL)
akan mengatakan, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi,
bahwa: “Memang Tuhanku Allah, tetapi aku
bebas untuk hidup di dunia ini dengan cara dan kemauanku sendiri; aku tidak mau
diatur-atur oleh Tuhan dan Nabi-Nya; ajaran Nabi Muhammad sudah kuno dan hanya
berlaku untuk bangsa Arab; aku orang Indonesia, bukan orang Arab; aku lebih
hormat dan lebih taat kepada al-Mukarram Darmogandhul, Karl Marx, Adam Smith,
Thomas Jefferson, John Locke, Charles Darwin, dan lain-lain.”
Nabi
Muhammad saw tidak bisa dan tidak boleh memaksa orang lain untuk menerima
hidayah Allah. Iman dan kufur menjadi tanggung jawab diri masing-masing.
Apalagi, kita semua, umat sang Nabi. Kita hanya menyampaikan imbauan kebenaran;
mohon kepada diri kita dan para pemimpin kita, “Tuan-tuan, apakah belum saatnya
bangsa kita berhenti melecehkan Tuhan Yang Maha Esa?”
Semoga
kita selamat dari sifat-sifat buruk kaum munafik dan kaum yang dimurkai Allah
(al-maghdlub), yang sadar atau tidak telah berani melecehkan Tuhan Yang Maha
Esa, dengan hanya mengaku-aku berketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dirinya
membenci, melecehkan dan terus berusaha menyingkirkan ajaran-ajaran Tuhan Yang
Maha Esa dari kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negaranya. Semoga kita
selamat; juga keluarga, sahabat, dan para pemimpin kita. Amin.(Kualalumpur, 12
September 2014).
Sumber: www.adianhusaini.com
0 comments:
Post a Comment