Ketika NA dan NU Bersatu
Tuesday, September 22, 2015
0
comments
Oleh: @ekosangpencerah
Bila para Pemuda Muhammadiyah lebih
cenderung hati ke akhwat tarbiyah, jangan salahkan jika kader NA, setuju
dilamar NU.
Ketika NA dan NU bersatu, bagaimana
cerita awal dan akhirnya? Dalam perbincangan ringan bersama istri, setelah mencermati status
beberapa kawan tentang perbedaan pelaksanaan Idhul Adha tahun 2015 lalu di
Indonesia ternyata cukup menarik. Ada seorang akhwat yang memposting bahwa ia
senang merayakan Idul Adha meskipun berbeda hari dengan sang suami.
So, sweet.... Saya membayangkan mereka pun berbeda dalam melaksanakan puasa
Arafah.
Itu hanya sekelumit dari cerita panjang
asal-muasal ‘koalisi’ NA dan NU. Di satu sisi kita patut bersyukur dengan
adanya pernikahan antar kader lintas organisasi itu akan kian mempererat ikatan
persaudaraan antara NA (Muhammadiyah) dan NU.
Toh pernikahan tidak mengharuskan mesti
satu organisasi. Titik pentingnya ialah akidah. Dan tentu saja berbeda jenis
kelamin. Maka kolaborasi antara kader NA dan Kader NU, akan lebih membawa
keanekaragaman keluarga Islam di Nusantara. Islam yang tetap berpegang teguh dengan
ajaran Rasulullah Muhammad SAW.
Sebelum terlalu jauh membahas ‘koalisi
permanen’ NA dan NU, ada baiknya saya salinkan pengertian istilah NA dan NU, dari
website masing-masing.
Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA) merupakan
organisasi otonom yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan
keputrian. NA tetap mengedepankan gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar
seperti yang diamanatkan oleh oleh Muhammadiyah. Tugas luhur ini dilakukan baik
secara kolektif organisasional maupun secara individu oleh personil-personil
NA. (www.nasyiah.or.id)
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham
Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu
sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. (www.nu.or.id)
Mohon maaf untuk pemaknaan NU, kurang pas
karena saya cari di website mereka belum ketemu kalimat penjelasan yang lengkap.
Kembali ke topik tentang beberapa kader
NA yang kemudian memilih kader NU sebagai pendamping hidup. Sejak bergabung di
Pemuda Muhammadiyah, ada satu hal yang tidak berubah dari tahun ke tahun:
Banyaknya kader siap menikah yang belum menikah! Bahkan sampai melewati usia 30
tahun.
Memang banyak hal dan pertimbangan,
tetapi saya juga melihat satu faktor menonjol, yakni adanya teman kader yang
juga belum menikah, sehingga ada perasaan nyaman-nyaman saja.
Baca juga : Membibit Kader Muhammadiyah (Sebuah Pengantar)
Baca juga : Membibit Kader Muhammadiyah (Sebuah Pengantar)
Bagi para ikhwan, tentu tidak begitu
banyak ‘masalah’ tetapi sadarkah jika mereka ternyata juga membuat ‘masalah’
lain? Banyak para kader NA yang menunggu untuk dikhitbah dan dinikah.
Pada masa seperti itu, seiring beranjaknya
usia, kader NA semakin punya waktu sedikit dan tidak punyak pilihan lain
kecuali melonggarkan kriteria calon imam mereka. Semula bisa jadi prinsipnya
harus kader Muhammadiyah, hanya saja lambat lain mungkin akan berubah.
Dalam berbincangan lain, istri saya
pernah bertanya kepada sahabatnya, perempuan seperti apa yang ideal untuk
dinikahi? Jawabnya, ternyata kader Muhammadiyah itu merujuk ke akhwat tarbiyah.
Katanya, mereka terlihat santun dan menentramkan. Bisa saja itu hanya pendapat
pribadi satu orang tapi cukup untuk menebak-nebak apa yang ada di benak
sebagian kader Muhammadiyah kita. Tak suka gerakannya, tapi mendamba akhwatnya.
Nah, sekarang bagaimana para Pemuda
Muhammadiyah? Siapkah segera mengkhitbah dan menikah dengan kader Nasyiah?
Jangan biarkan mereka terkekang dalam pilihan-pilihan sulit bagi masa depan
langkah dakwah mereka.
*) seorang anggota ranting Pemuda
Muhammadiyah
0 comments:
Post a Comment