Guru dan Orang Tua Mesti Tahu, Pandangan Mendikbud Soal Pergantian Kurikulum

Posted by KahfiMedia Monday, August 8, 2016 0 comments



Banyak masyarakat yang cemas jika terjadi pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Termasuk saat pergantian Mendikbud dari Anis Baswedan ke Muhadjir Effendy. Muncul kekhawatiran jika ganti menteri akan ganti kurikulum dan imbasnya juga ganti buku.

Tapi kecemasan itu ditampik oleh Muhadjir Effendy. “Karena itu (soal kurikulum) gak usah risau. Saya sudah di SMS-i, nanti beli bukunya, mesti ganti kebijakan, ganti menteri. Halah … biarkan saja. Pokoknya (kurikulum yang ada) biar jalan saja.”

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah ini mengatakan, sebenarnya persoalan pendidikan bukan pada kurikulum tetapi pada guru. Apapun kurikulumnya, kata Muhadjir, kalau gurunya pofesional tidak masalah. “Guru berdiri di depan kelas itulah kurikulum. Entah gurunya pakai kurikulum 2016, kurikulum 2020, atau 3000. Sama saja. Wong mata pelajarannya ya itu-itu saja. Itu kan tergantung bagaimana di tangan guru. Makanya guru menjadi sangat penting,” kata Muhadjir saat berbicara dalam acara “Silaturrahmi bersama Prof Dr Muhadjir Effendy MAP Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia” yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Sabtu (6/8), di Surabaya.

Bagi Muhadjir, yang menjadi persoalan adalah ketika guru tidak profesional. Oleh karena itu ia berharap pada Muhammadiyah untuk menjadi pelopor bagaimana meningkatkan profesionalisme guru.

Muhadjir menjelaskan bahwa profesioanal guru itu syaratnya ada tiga. Pertama, expertise, yaitu ahli di bidangnya sebagai seorang guru. “Dia menguasai metodologi, menguasi materi, menguasai strategi pembelajaran. Dia punya pengalaman yang cukup. Yang terus semakin lama pengalaman itu semakin matang,” jelas Muhadjir.

Menurutnya, di sinilah pentingnya kepangkatan guru sebagaimana kepangkatan profesi dalam militer. “Makanya nanti mestinya guru-guru yang sudah matang gak usah ngajar. Dia mengajari guru. Guru-guru yang mau pensiun itu yang nanti ngajari guru-guru muda. Sama seperti dokter muda yang dibimbing dokter senior.”

Syarat kedua, kata Muhadjir, guru profesional harus punya social responsibility yaitu tanggungjawab sosial. “Kalau guru itu ngajar-nya eplek-eplek, gak punya rasa bersalah, itu yang gak punya tanggungjawab. Kalau ngajar-nya salah, malpraktik, itu risikonya bangsa yang jadi taruhan,” ungkapnya.

Ketiga, corporateness, yang memiliki dua faktor, yaitu faktor pribadi yang disebut dengan panggilan atau call. “Jadi, guru itu harus panggilan batin. Panggilan nurani. Gak boleh mergo (karena) daftar kedokteran gigi gak ditompo (tidak diterima) lalu daftar guru. Rusaknya guru itu karena tidak adanya rasa terpanggil. Profesi itu panggilan,” ujarnya. Muhadjir memberi contoh tentang ini dengan guru ngaji yang tetap bersemangat meskipun tidak dibayar karena yakin dengan balasan pahala di akherat.

Selain faktor panggilan batin, faktor lainnya adalah jiwa corsa, solidaritas antarguru. Dalam hal ini Muhadjir menganggap pentingnya dibentuk asosiasi-asosiasi guru. “Nanti harus dibentuk ada asosiasi guru matematika, asosiasi guru fisika, atau asosiasi guru Pancasila, PMP. Kalau untuk sekolah dasar ada asosiasi guru kelas.”

Di dalam asosiasi itulah berbagai persoalan guru sejenis dibahas “Kalau kumpul ngomong profesinya. Ngomong pengalamam ngajar-nya. Ngomong persoalan-persoalan yang dihadapi ketika di kelas. Nanti juga berhubungan profesi di luar negeri yang sejenis. Cocok-ccokanya misalnya dengan profesi sejenis di Singapura,” ungkapnya. (Nurfatoni)


Sumber: PWMU.CO

0 comments:

Post a Comment

Terbanyak Dibaca

Sosok

Risalah

Catatan

Kabar

Halaman Dilihat