HAMKA: Ulama Tak Bisa Dibeli!
Tuesday, November 6, 2012
0
comments
Surat itu pendek. Ditulis
oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah
Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai
dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan
MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
Buat banyak orang
pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam
dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan
percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya
mengharapkan agar mundurnya Hamka “jangan sampai dipergunakan golongan tertentu
untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam
sendiri.”
Kenapa Hamka mengundurkan
diri? Hamka sendiri mengungkapkan pada
pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang
dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti
upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut
K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat
untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. “Jadi
seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,” katanya.
Fatwa ini kemudian dikirim
pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5
Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no.
3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada
mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa
itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat
keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan
H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.
Menurut SK yang sama, pada
dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat
peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam
tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan
pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi
bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya “bocor”nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon
sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam
pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat
menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya
beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu
juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. “Menteri Agama secara resmi
memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak
agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk
pelaksanaannya,” kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI.
Ternyata fatwa itu keburu
bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta
iin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, “Tidak tepat kalau
saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.”
Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. “Tidak logis
apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas
beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka pada
Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang dimuat majalah Panji
Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya “kesalahpahaman” antara
pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu.
Kepada TEMPO Hamka mengaku
sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. “Gemetar tangan saya waktu
harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para
ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?”
kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis
penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat
pencabutan MUI 30 April itu “tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan
(nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” HAMKA
juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama
ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat
nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.
Buya Hamka tercatat sebagai
ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini
membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka
berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis
fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya
berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan
pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia
dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji
Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang
berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam
terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak
lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka lebih banyak
diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Ketika menjadi Ketua MUI,
Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang
lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian
dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem,
dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu
sebagai bagian dari “politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama”. Ulama
mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran “ulama yang tidak
bisa dibeli“. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada
pembelian, kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.
******
TAK ada lagi Buya Hamka.
orang tak akan menantikan khotbahnya di Masjid Al Azhar. Tak akan mendengarkan
suaranya yang serak itu lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada
pengajian subuh lewat RRI — untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat dikenal
itu akan tak ada lagi. Selama-lamanya.
Ulama sangat penting itu
berpulang “di hari baik bulan baik”, hari Jum’at 21 Ramadhan (24 Juli), “ketika
bulan puasa masuk tahap ketiga” atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian
orang santri. Memang menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring
jenazahnya ke pemakaman, dan yang keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh
dikatakan semuanya orangorang yang berpuasa dan baru turun dari sembahyang
Jum’at. Entah apa yang menggertak mereka itu: dalam waktu hanya empat jam, dan
tanpa sempat disiarkan koran (meninggal pukul 10.30, dan diberangkatkan ke
pemakaman pukul – 14.30), ribuan para pelayat memenuhi jalan dan pekuburan
dengan kendaraan yang macet panjang di daerah Kebayoran Lama dan Tanah Kusir.
Hamka memang sudah hampir
tidak berarti “golongan” agama. Juga tidak hanya seorang “kiai”. Barangkali
memang inilah ulama pertama yang dipunyai Indonesia, yang sangat paham “hidup
di luar masjid”. .
Abdul Malik (bin Abdul)
Karim Amrullah, HAMKA, dilahirkan di Negeri Sungai Batang, di sebuah rumah di
pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau. “Nama ibuku Shafiyah,”
katanya dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. “Beliau meninggal pada usia masih
muda, sekitar 42 tahun. Beliau dianugerahi Tuhan sepuluh orang putra. Lima
dengan ayahku dan lima pula dengan suaminya yang kedua. Ibuku cantik! . . . ”
la sangat memuja ibunya — sebagaimana juga istrinya yang pertama, nanti, Siti
Raham. Ayahnya, yang ia kagumi, hanya sebentar-sebentar tampak menyelinap dalam
hidup intelektualnya –meski dengan pengaruh sangat kuat.
Haji Rasul, nama asli sang
ayah, adalah orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor honoris causa —
dari Universitas Al Azhar, Kairo, tempat ia sendiri belakangan juga mendapat
gelar yang sama di tahun 1958 –dan pemimpin pesantren Sumatra Thawalib yang
masyhur di Padangpanjang. Kenang-kenangan masa kecil inilah yang, bagi siapa
yang membaca buku-bukunya, termasuk Ayahku, membentuk jiwa anak muda yang
bengal namun lembut itu. Si Malik itu seorang jagoan kecil dulu. Belajar silat,
belajar iniitu, kemudian lari ke Jawa dan berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan
Suryopranoto, ikut pergerakan, lari ke Mekah — dan akan tinggal di sana kalau
saja tidak dinasihati Haji Agus Salim untuk pulang. Dan jangan lupa: pemuda ini
juga bercinta — di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi kawin. Ia sendiri mengakui
sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang tersinggung dan perajuk,
“juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis” . . . Memang sangat manusiawi. Ia
memang akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan ayahnya: mengganti
kedudukannya sebagai ulama, seperti juga neneknya dan ayah neneknya.
Tapi bahwa ia tak seperti
mereka, terlihat misalnya dari sikap Buya kepada poligami: Hamka termasuk ulama
yang tidak merestuinya. Kenang-kenangannya masa bocah, dari sebuah keluarga
yang pecah, yang berpoligami dan bercerai, rupanya cukup tajam untuk menggugah
jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah, bersama dengan penghayatannya kepada
adat Minangkabau, yang menjadi modal pokok roman-romannya yang memeras air
mata: Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah,
Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah
Kehidupan.
Hamka bukan sekedar “ulama
yang bersastra”. Ia ulama, dan ia pengarang. Hanya segi sastra itu makin mundur
ke belakang sejalan dengan usianya yang menua, maupun tugas-tugasnya yang
menjadi makin formal agama. Ketika ia menulis tafsir Qur’annya yang 30 jilid,
yang diberinya judul dengan nama masjid yang dicintainya, Al Azhar, kemampuan
kepengarangan itu tidak lahir dalam wujud bahasa yang disengaja indah Namun
orang toh tahu bahwa caranya bertutur betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri
dikerjakannya di penjara rezim Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang
memberi pengajian ‘. Kepada seratusan ibu-ibu di bulan Ramadhan. Pengalaman itu
ada terasa menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa Hamka. “mudah memaafkan dan
menyesuaikan diri”, terlihat dari misalnya pergaulannya dengan keluarga Bung
Karno — Nyonya Fatmawati terutama — yang sangat baik sampai akhir hayat.
Ulama ini memang memenuhi
fungsi pemimpin rohani yang paling pokok jadi pelayan. Asal jangan ditekan, dan
jangan dibeli. Kata-katanya enam bulan lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu
selesai dicetak, merupakan salah satu firasat. “Nampaknya, tugas yang menjadi
beban selama ini selesai. Tinggal lagi kini menunggu panggilan llahi . . . ” Dan
panggilan itu pun datang kini.
“Kita kehilangan seorang
ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita kehilangan seorang
sastrawan besar, ” komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas jenazah
almarhum di pekuburan. E.Z. Muttaqien, salah seorang ketua Majelis Ulama
Indonesia sekarang ini mengakui: “Akhir-akhir ini beban Buya Hamka memang
sangat berat. Kesehatannya tidak memungkinkannya lagi memikul beban itu.”
*****
Puisi ini ditulis Buya Hamka
pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir yang mengurai
kelemahan system kehidupan buatan manusia dan dengan tegas menawarkan kepada
Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara RI.
KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR
Meskipun
bersilang keris di leher
Berkilat
pedang di hadapan matamu
Namun
yang benar kau sebut juga benar
Cita
Muhammad biarlah lahir
Bongkar
apinya sampai bertemu
Hidangkan
di atas persada nusa
Jibril
berdiri sebelah kananmu
Mikail
berdiri sebelah kiri
Lindungan
Ilahi memberimu tenaga
Suka
dan duka kita hadapi
Suaramu
wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana
lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini
berjuta kawan sepaham
Hidup
dan mati bersama-sama
Untuk
menuntut Ridha Ilahi
Dan
aku pun masukkan
Dalam
daftarmu……!
(dikutip dari buku “Mengenang 100 tahun HAMKA”)
Sajak berikut merupakan
rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir pada Buya Hamka yang sebelumnya
menyusun sajak untuk M Natsir yang berjudul “Kepada saudaraku M Natsir”.
DAFTAR
Saudaraku
Hamka,
Lama,
suaramu tak kudengar lagi
Lama…
Kadang-kadang,
Di
tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman
bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar,
tingkatan irama sajakmu itu,
Yang
pernah kau hadiahkan kepadaku,
Entahlah,
tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.
Tiba-tiba,
Di
tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan
umbuk dan umbai silih berganti,
Melantang
menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang
biasa bersenandung itu,
Seakan
tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.
Aku
tersentak,
Darahku
berdebar,
Air
mataku menyenak,
Girang,
diliputi syukur
Pancangkan
!
Pancangkan
olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan
Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau
karihal kafirun…
Berjuta
kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam
”daftarmu” … *
Saudaramu,
Tempat, 23 Mei 1959
Sumber:
http://serbasejarah.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment