Menakar Fakta-fakta (Novel) Sang Pencerah
Thursday, November 15, 2012
0
comments
Oleh: Priyantono Oemar
Di Keluwesan Sang Pencerah ,
saya sengaja menutup tulisan dengan ''penebusan dosa'' Sultan berupa sokongan
dana dan tanah untuk Muhammadiyah. Ini ada kaitannya dengan pernyataan Sultan
di prolog Sang Pencerah : Sultan mendorong Ahmad Dahlan untuk membuat
organisasi di bidang agama, yang serupa dengan Boedi Oetomo.
Pada 1904 itu, kita bisa
mengembangkan imajinasi bahwa Kalifatullah Panatagama itu telah gusar dengan
''dampak'' dari izin yang ia berikan kepada para misionaris.
Bangsawan-bangsawan Pakualaman semakin banyak yang masuk Katolik. Pastur Franz
van Lith -yang kemudian diajak dialog oleh Dahlan memberikan kontribusi
terhadap meningkatnya jumlah pemeluk Katolik di Pakualaman.
Ketika RM Sudarto pada 1900
ditolak masuk Europeesche Lagere School (ELS), van Lith-lah yang menyalurkan
cucu ke-7 Pakualam III dari Pangeran Sasraningrat itu masuk ke sekolah Katolik.
Berikutnya, empat adik RM Sudarto juga disalurkan van Lith ke sekolah-sekolah Katolik,
baik di Yogyakarta maupun di Muntilan. Kelimanya kemudian dikenal sebagai
tokoh-tokoh Katolik. (BS Dewantara, Nyi Hajar Dewantara , hlm 38-40).
Sejak 1904, Lith menekuni
dunia pendidikan dan mendirikan sekolah guru di Muntilan. ''Anak laki-laki yang
masuk sekolah ini semuanya Muslim. Mereka semua tamat sebagai orang Katolik.''
(Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia Jilid 1 , hlm 384).
Tentu saja, Muhammadiyah tak
memerlukan posisi tawar untuk mendapatkan bantuan Sultan, karena Sultanlah yang
mendorong pendiriannya. Maka, jika Akmal mengembangkan narasi tentang
''penebusan dosa'' ini di Sang Pencerah , tentu saja masih bisa dimaklumi,
kendati realisasi bantuan dana dan tanah itu terjadi setelah 1912.
Jika Akmal mau memperdalam
narasi ''penebusan dosa'' Sultan ini, ia bisa menggali lebih dalam kondisi
psikologis Dahlan. Dahlan yang abdi dalem Keraton mencoba memperbarui praktik
keagamaan dan kemudian tetap harus taat pada tradisi Jawa, telah memiliki
konflik psikologis saat harus "protes" kepada Sultan. Ia memilih
berbicara dengan Sultan di kamar gelap, demi tidak menatap langsung muka
Sultan. Dan, kemudian kondisi psikologis seperti apa yang dimiliki Dahlan
ketika harus berhadapan dengan Sultan untuk membahas semakin banyaknya pemeluk
Kristen di pusat kekuasaan?
Akmal menolak memasukkan
''penebusan dosa'' ini ke Sang Pencerah , karena peristiwanya setelah
Muhammadiyah berdiri. Tapi, dialog-dialog antaragama yang kejadiannya jauh di
atas tahun 1912 justru menjadi kisah tersendiri di Sang Pencerah . Saya memilih
mengomentari rangkaian peristiwanya, karena untuk spirit toleransi Dahlan dari
peristiwa dialog itu sudah gamblang dalam Sang Pencerah .
Rencana dialog dengan Dr
Samuel Marinus Zwemer (bukan Zwijner) sebenarnya terjadi 10 tahun setelah
Muhammadiyah berdiri. Misionaris Yahudi-Amerika yang bertugas di Asia itu
sangat pedas mengecam Islam. Ia berkunjung ke Jawa pada 1922.
Dengan Pendeta D Bakker,
Dahlan memiliki jadwal dialog bulanan. Bakker bertugas di Kebumen mulai 1900
dan pernah mencoba masuk ke komunitas Sadrach, tapi ditolak (Th Sumartana,
Mission at the Crossroads , 1991). Di setiap dialog, menurut Herman L Beck (
www.kitlv-journals.nl ), Bakker didampingi Offringa dokter ini mulai bertugas
di Yogyakarta pada 1912.
Untuk dialog dengan van
Lith, sangat janggal jika dikatakan dialog tak berlanjut di waktu-waktu
berikutnya karena van Lith meninggal. Lith meninggal pada 9 Januari 1926,
Dahlan wafat pada 23 Februari 1923. Apa mungkin arwah Dahlan yang berdialog
dengan Lith? Jika ternyata dialog itu terhenti karena Dahlan keburu wafat,
berarti dialog dilakukan di periode 1920-an.
Dialog dengan Hendrikus van
Driesche (bukan van Driesse) juga dilakukan di akhir dekade 1910-an. Nama van
Driesse -lihat ejaannya-- hanya saya dapati di buku Muhammadiyah Setengah Abad:
Makin Lama Makin Tjinta (1912-1962) , buku yang juga menyebut van Lith
meninggal sebelum dialog dengan Dahlan membuahkan hasil.
Driesche resmi bertugas di
Yogya sejak Maret 1919. Tapi, pada 1917 ia sudah ditugasi mendekati para
bangsawan Yogya untuk rencana pembangunan sekolah Katolik di Yogya. Kepada para
bangsawan, ia menyatakan sekolah ini akan netral. Tapi, setelah sekolah
berjalan, di tahun kedua, separuh siswanya (dari 200 siswa) mengikuti pelajaran
katekismus. (Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe, Sejarah
Sosial 1880-1930 , 2008).
Riset yang lemah
Dengan riset yang kurang
memadai, Akmal keliru dalam membangun narasi. Untuk kasus sadrach misalnya,
andai Akmal memegang data penginjil Wilhelm, tentu ia akan membisiki Kiai Noor
dengan data ini. Akmal boleh saja tidak mempercayai Wilhelm -satu-satunya
penginjil Belanda yang diterima di komunitas Sadrach sebagai guru hingga
1890-91 (di tahun ini pengikut Sadrach mencapai lebih dari 9.000 orang). Tapi,
dengan data itu, maka Kiai Noor tentu akan lebih memilih mengkhawatirkan
banyaknya Muslim Yogyakarta yang masuk Kristen (lebih dari seribu orang
pengikut Sadrach pada 1889), ketimbang jauh-jauh menunjuk ke Jawa Timur. Salah
pula.
Jumlah pengikut Sadrach di
pusat kekuasaan itu sudah layak dirisaukan, apalagi Yogya yang berpenduduk
651.123 orang hanya memiliki 485 haji dan 187 guru agama. Ini tentu layak masuk
rangkaian peristiwa di Sang Pencerah .
Saya tak meragukan data
Ricklefs. Saya mengatakan "tidak tepat" bukan untuk data Ricklefs,
melainkan penggunaannya untuk menggambarkan situasi di tahun yang berbeda dan
untuk penyebutan sebagian besar pengikut Sadrach ada di Jawa Timur. Ricklefs
tak menyebut satu kata pun soal itu.
Kalimat Ricklefs Antara
tahun 1855 dan 1963, anggota pribumi gereja-gereja di Jawa Timur yang dibaptis
dari 2.000 menjadi 60.000 orang, sebuah angka pertumbuhan yang lebih besar
dibanding dengan pertumbuhan penduduk bukanlah kalimat untuk menjelaskan kerja
Sadrach. Akmal lewat email menyatakan, ''Tahun 1855 itu usia Kiai Sadrach sudah
20-an tahun, dan masuk akal jika semangatnya untuk melakukan pembaptisan
terhadap pribumi sedang bergelora.''
Pada 1855, Sadrach baru
berkenalan dengan JE Jellesma (penginjil di Mojowarno), saat ia nyantri di
Jombang. Ia baru terbujuk masuk Kristen atas pengaruh Hoezoo, penginjil
Semarang yang pindah ke Mojowarno pada 1860. Sadrach dibaptis pada 1867 dan
wafat pada 1924.
Saya menduga Ricklefs
mengutip Philip van Akkeren (buku Akkeren yang disebut di buku Ricklefs, adalah
terbitan 1970). Dalam buku Sri and Crist (koleksi saya terbitan 1969), Akkeren
menampilkan tabel pertumbuhan pemeluk Kristen/Katolik di Jawa Timur yang
meningkat 2.900 persen pada 1960 (58 ribu orang, sebanyak 36 ribu di antaranya
memeluk Katolik) dari situasi 1855 (2.000 orang). Sementara, pertumbuhan
penduduk Jawa Timur kurun 1860-1960 terlihat "hanya" 500 persen (dari
12,7 juta menjadi 63,5 juta).
Dengan mengutip Dr Nathan
Uglow dari Universitas Leeds, Inggris, Akmal justru memberitahu adanya
kelemahan di Sang Pencerah . Nathan menegaskan bahwa selain menggabungkan alur
cerita dramatik yang kuat dan kondisi psikologis kemanusiaan yang meyakinkan,
novel sejarah juga didasari riset yang mendalam terhadap rangkaian kejadian,
lokasi, karakter. Akmal tak melakukan riset secara mendalam terhadap rangkaian
peristiwa.
Saya sengaja tak membahas
sisi alur cerita dan kondisi psikologis sang tokoh, karena justru mengikuti
Akmal yang sangat peduli pada data dan fakta peristiwa. Ia sudah memulainya
sejak prolog. Riset jauh lebih penting, karena ia akan menghasilkan perspektif
literer yang tepat.
Tentu saja, saya tak hendak
menganggap Sang Pencerah sebagai buku sejarah. Karena itu, di Keluwesan Sang
Pencerah saya tak mempermasalahkan fiktif-tidaknya tokoh maupun
dialog-dialognya, kendati warga Muhammadiyah berharap yang dikisahkan adalah
yang sesuai kenyatan. Maka, ketika "riset mendalam'' -salah satunya
tentang rangkaian peristiwa dialog antaragama gagal menghadirkan akurasi rangkaian
peristiwanya, saya mencoba membahasnya.
Catatan kaki
Di bagian-bagian tertentu ia
juga memberi catatan kaki. Dalam hal kecil, tentang lagu Ilir-ilir misalnya,
Akmal perlu memberi catatan kaki soal adanya klaim dua pencipta lagu itu. Tapi,
untuk kasus tahun kapan Dahlan naik haji pertama, ia tak memberikan catatan
kaki. Akmal memilih menampik Dahlan naik haji pertama pada 1890. Alat
kontrolnya, kata dia, pada 1890 anak pertama Dahlan lahir, sehingga tak mungkin
Dahlan berada di Makkah.
Tapi, bisa saja lain
kisahnya jika Akmal memilih Dahlan berhaji pertama seusai menikah seperti yang
dinyatakan sumber-sumber lain. Dan, itu bukannya tidak mungkin. Jangan lupa,
kebiasaan di Jawa saat itu: Orang yang akan bepergian jauh dan lama justru
dinikahkan terlebih dulu. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) juga
mengalami itu, sebelum ia melanjutkan belajar ke Batavia. Karena ia masih
remaja, statusnya masih nikah gantung (tak boleh bercampur suami-istri sebelum
ia lulus dari STOVIA).
Tapi, sudahlah, mungkin
lebih tepat jika tulisan saya muncul sebelum Sang Pencerah masuk ke penerbit.
Apa boleh dikata, Sang Pencerah sudah diedarkan dan menjadi hak pembaca untuk
menilainya. (-)
Sumber:
muhammadiyahstudies.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment