Muhammadiyah dan Majelis Tafsir Al Quran (MTA)
Tuesday, November 27, 2012
2
comments
Ta’awun, Tasamuh dan
Fastabiqul Khairat
Syamsul Hidayat
(Dosen FAI UMS, Wakil Ketua
Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)
Ada beberapa pertanyaan yang
datang kepada Majelis Tabligh, mengenai hubungan Muhammadiyah dengan Majelis
Tafsir Al-Quran (MTA). Dari Papua menanyakan apakah MTA itu bagian dari
kegiatan Muhammadiyah di Solo? Dari Magetan dan Ngawi, mengeluhkan banyaknya anggota
Muhammadiyah yang “hengkang” ke MTA, karena paham MTA sama dengan Muhammadiyah,
tetapi yang menarik MTA lebih tegas dan konsisten. Demikian juga pertanyaan
dari Muko-muko Bengkulu.
Pertanyaan seperti saudara
dari Papua bisa dikatakan wajar karena oleh Ustadz Ahmad Sukina, Ketua Umum
Yayasan MTA, Prof Din Syamsuddin dalam kapasitasnya sebagai Sekjen MUI (waktu
itu) diangkat sebagai penasehat MTA dan beliau (Prof Din) sempat mengikuti
pembukaan Cabang MTA di suatu daerah. Pernah juga Prof Din diminta untuk
menjadi Imam dan Khatib shalat Id di jamaah MTA. Syukur, waktu itu hari Idul
Fitrinya sama dengan Muhammadiyah. Biasanya MTA untuk Idul Fitri selalu
“nderek” Penguasa, tetapi untuk Idul Adha ikut Arab Saudi. Ini beda dengan
Muhammadiyah yang menetapkan hari Idul Fitri dan Idul Adha berdasar hasil hisab
dengan kriteria wujudul hilal.
Kalau dilihat dari segi
pemahaman Aqidah dan akhlak, tampaknya antara Muhammadiyah dan MTA memiliki
banyak kesamaan, yaitu berpahamkan pemurnian dari segala bentuk TBC (Takhayul
Bid’ah dan Churafat) dan SEPILIS (sekularisme, pluralisme dan liberalisme).
Yang membedakan adalah dalam metode penyampaian dakwahnya. MTA mengambil jalan
tegas dan keras, sedangkan Muhammadiyah mengambil jalan santun, menjaga
toleransi, tetapi tetap pegang prinsip. Ketika ada kesamaan dan kemiripan,
selayaknya kita bisa bermitra untuk mendakwah aqidah dan akhlak shahihah.
Kemitraan ini tentunya dijalankan dengan proporsional, saling asah dan asuh,
sehingga terdapat simbiosis mutualisme.
Sementara itu dalam
pemahaman fiqhiyyah, Muhammadiyah terbiasa membahas masalah ini selalu disertai
dalil dengan istidlal dan istinbatnya seperti yang dilakukan oleh Tim Fatwa
Majelis Tarjih sebagaimana dimuat di majalah Suara Muhammadiyah. Sementara di
MTA banyak sekali fatwa atau jawaban masalah fiqhiyah yang tidak dirujukkan
kepada dalil tertentu. Misalnya dalam Tanya Jawab dengan Ustadz Sukina sebagai
berikut:
TANYA: “Ustadz puasa tiga
hari setiap bulan apakah harus dilakukan pada tanggal 13, 14, 15? Kalau pada hari
itu berhalangan apakah bisa dilakukan pada hari yang lain?”
JAWAB: “Memang hadistnya
mengatakan bahwa puasa putih itu dilaksanakan pada tanggal 13, 14, 15. Jadi
kalau mau melaksanakan ya kita laksanakan pada tanggal itu saja. Kalau mau
berpuasa pada hari yang lain, kita niatkan saja untuk puasa yang lain. Misalnya
bila jatuh pada hari senin dan kamis, maka kita niatkan untuk puasa senin
kamis”
Contoh lainnya:
TANYA: Ustadz walimah
syukuran itu apakah dibenarkan oleh agama?
JAWAB: “Walimah yang ada
adalah walimah pernikahan, tetapi kalau walimah syukuran karena kenaikan
pangkat atau yang semacamnya itu hanyalah wujud pemborosan. Karena syukur yang
sebenarnya kepada Allah adalah pujian kepada Allah dan memanfaatkan apa yang dikaruniakan
dengan sebaik-baiknya.”
Dari contoh di atas dapat
dipahami bahwa secara substansi mungkin jawaban cenderung benar, tetapi kurang
memberi pencerahan kepada jamaah karena tidak disertai dalil-dalil yang relevan
dengan istidlal dan istinbat yang akurat. Di samping itu jawaban dilakukan oleh
seorang Ketua Umum, Ustadz Ahmad Sukina. Dapat dipahami bahwa peran Ketua Umum
sangat dominan, sehingga ketaatan terhadap Ketua Umum sangat tinggi, sehingga
kepemimpin bersifat sentralistik.
Bandingkan dengan tanya-jawab
dengan Majelis Tarjih di Suara Muhammadiyah, jawaban disusun berdasarkan
musyawarah (ijtihad jama’i), dengan menyertakan dalil-dalil dan cara istidlal
dan istinbatnya. Dari mekanisme memberikan jawaban menunjukkan bahwa
kepemimpinan bersifat ta’awun jama’i, tidak terpusat kepada Ketua Umum.
Kepemimpinan berdasarkan pendelegasian yang mantap.
Dari persamaan dan perbedaan
tersebut sudah semestinya terbangun ukhuwwah Islamiyah di kalangan Muhammadiyah, khususnya dan umat serta bangsa
pada umumnya.
Menyikapi persamaan,
perbedaan yang perlu dilakukan adalah ta’awun (kersajama), tasamuh (menghormati
dan saling menghargai perbedaan), dan akhirnya adalah Fastabiqul Khairat
(kompetisi secara sehat). [ ]
Sumber: tabligh.or.id
(Majalah Tabligh versi Online)
2 comments:
Setahuku Muhammadiyah itu amaliyahnya malah sama dengan Nahdlatul 'Ulama. Diantaranya baca sholawat dengan "sayyidinaa", niat sholat dengan "usholli...", qunut subuh setaip hari, sholat tarawih 20 rokaat dengan salam tiap 2 rokaat (bukan 8 rokaat dengan salam setiap 4 rokaat).
Coba baca kitab fiqh Muhammadiyah jilid III. Bisa di download di www.4shared.com/office/St_Xvs8T/kitab_fiqh_jilid_iii_muhammadi.html
silakan dibaca keputusan tarjih yang terbaru, dan memang asli keputusan majelis tarjih PP Muhammadiyah. untuk yang mudah dipahami bisa dilihat dalam buku tanya jawab agama, yang dibuat berseri, berisi tentang pertanyaan dalam amaliyah harian dan hal-hal terkait lainnya
Post a Comment