Membangun Tradisi Ta’awun
Tuesday, December 25, 2012
0
comments
Rasulullah
saw pernah bersabda: “innal mu.mina lil mu’mini kal bunyâni, yasyuddu ba’dhuhu
ba’dhan, wa syabbaka ashâbi’ahu, seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti
satu bangunan yang tersusun rapi, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.
Dan beliau pun —mengisyaratkan dengan— merekatkan jari-jemarinya”. (Al-Bukhari
dari Abu Musa al-Asy’ari). Sementara itu, Allah SwT memerintahkan kita untuk
berta’âwun (bekerja sama) di dalam kebajikan dan ketakwaan, dan melarang dari
berta’awun di dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Sebagaimana firman-Nya: “...
wa ta’âwanû ‘alal birri wat taqwâ, wa lâ ta’âwanû ‘alal itsmi wal ‘udwân... ,
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
(lakukan) tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..”. (Al-Mâidah
[5]: 2)
Hadits dan
ayat tersebut memberikan panduan pada diri kita – umat Islam – untuk membangun
tradisi “ta’âwun” dalam bingkai prinsip syari’ah. Hanya saja, hingga kini
konsep yang ditawarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah masih menjadi wacana akademik
yang belum membumi dalam realitas kehidupan umat Islam.
Sebenarnya
ruh ta’âwun – mengutip sebuah artikel yang berjudul Nubdzatul ‘Ilmiyyah fit
Ta’âwun asy-Syar’iy wat Tahdzîr minal Hizbiyyah, yang diterbitkan dalam bentuk
mansyûrât (selebaran) oleh Markaz al-Imâm al-Albani, nomor 3, Rabi’ul Awwal
1422 H., dengan beberapa modifikasi, konsep ta’âwun dalam Islam bisa
diterjemahkan menjadi delapan macam:
Pertama,
ta’awun di dalam kebajikan dan ketakwaan, yang mencakup kebajikan universal
(al-birr) dalam bingkai ketaatan sepenuh hati (at-taqwâ) yang akan membawa
akibat kepada kebaikan masyarakat Muslim dan keselamatan dari keburukan serta
kesadaran individu akan peran tanggung jawab yang diemban oleh masing-masing
pribadi Muslim. Karena ta’awun di dalam kehidupan umat merupakan manifestasi
dari kepribadian setiap muslim dan merupakan fondasi yang tak bisa ditawar
dalam kerangka pembinaan dan pengembangan peradaban umat.
Kedua,
Ta’awun dalam, bentuk wala’ (loyalitas) kepada antarMuslim. Setiap Muslim harus
berkesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari Muslim yang lain. Siapa pun yang
mengabaikan saudara sesama Muslim dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia
adalah seorang yang dapat diragukan ke-Islamannya. Karena loyalitas antarMuslim
merupakan konsekuensi keber-Islaman mereka.
Ketiga,
Ta’awun yang berorientasi pada penguatan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat
dan dan saling-melindungi. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang secara
eksplisit telah menyerupakan ta’âwun kaum Muslimin, persatuan dan berpegang
teguhnya mereka (pada agama Allah) dengan bangunan yang dibangun dengan batu
bata yang tersusun rapi kuat sehingga menambah kekokohannya. Kaum Muslimin akan
semakin bertambah kokoh dengan tradisi ta’âwun seperti ini.
Keempat,
Ta’awun dalam upaya ittihâd (persatuan). Ta’awun dan persatuan selayaknya
ditegakkan di atas kebajikan dan ketakwaan, jika tidak, akan mengantarkan pada
kelemahan umat Islam, berkuasanya para musuh Islam, terampasnya Tanah Air,
terinjak-injaknya kehormatan umat. Seorang Muslim haruslah memiliki solidaritas
terhadap saudaranya, ikut merasakan kesusahannya, ta’âwun di dalam kebajikan
dan ketakwaan harus diorientasikan agar umat Islam dapat menjadi seperti satu
tubuh yang hidup.
Kelima,
ta’âwun dalam bentuk tawâshî (saling berwasiat) di dalam kebenaran dan
kesabaran. Saling berwasiat di dalam kebenaran dan kesabaran termasuk
manifestasi nyata dari ta’awun di dalam kebajikan dan ketakwaan. Kesempurnaan
dan totalitas ta’âwun dalam masalah ini adalah: dengan saling berwasiat di
dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar.
Keenam, di
antara bentuk manifestasi ta’awun di dalam kebajikan dan ketakwaan adalah
menghilangkan kesusahan kaum Muslimin, menutup aib mereka, mempermudah urusan
mereka, menolong mereka dari orang yang berbuat aniaya, mencerdaskan mereka,
mengingatkan orang yang lalai di antara mereka, mengarahkan orang yang tersesat
di kalangan mereka, menghibur yang sedang berduka cita, meringankan mereka yang
tertimpa musibah, dan menolong mereka dalam segala hal yang baik.
Ketujuh,
jangan pernah berta’âwun yang berpotensi menimbulkan perpecahan, karena
perpecahan pada dasarnya telah menghilangkan esensi ta’awun (kerjasama).
Perpecahan merupakan syi‘ar (semboyan) kaum musyrikin, bukan syi‘ar kaum
muwahhidin (orang yang bertauhid). Oleh karena itu berhati-hatilah terhadap
budaya tahazzub (berpartai-partai) dan tafarruq (bergolong-golongan), yang
berorientasi pada ta’ashshub (fanatisme) kelompok.
Kedelapan,
kita telah merasakan dan melihat sendiri apa yang telah dilakukan oleh kelompok
Muslim partisan yang bersikap eksklusif. Mereka sering —secara tidak sadar
(atau mungkin juga dengan kesadaran penuh)— mengintroduksi rasa permusuhan dan
kebencian di antara umat Islam atas nama Islam, dikarenakan mereka berinteraksi
dengan asas hizbiyyah (kepartaian). Loyalitas mereka hanyalah untuk hizb
(partai) dan tanzhim (organisasi), tidak untuk Islam dalam arti yang
sebenarnya. Mereka lebih mendahulukan ukhuwwah hizbiyyah (persaudaraan
kepartaian) daripada ukhuwah
imaniyah
(persaudaraan keimanan). Menurut mereka, ta’awun disyaratkan haruslah
‘berafiliasi’ dulu dengan partai mereka.
Menutup
penjelasan tentang arti pentingnya ta’âwun antarkita (umat Islam), menurut
ceritera teman saya yang pernah ke Jepang, “orang Jepang” sangat mengutamakan
kerjasama dalam sebuah sistem yang menawarkan budaya ‘saling mendukung’ dalam
memacu keberhasilan seseorang atau sebuah tim kerja. Inilah yang —dalam istilah
manajemen— disebut dengan Total Quality Management atau prinsip KAIZEN, untuk
mencapai yang terbaik, seseorang atau suatu tim harus selalu memperbaiki dan
menyempurnakan diri terusmenerus secara kompetitif dalam prinsip kebersamaan.
______________________
Dosen Tetap
FAI-UMY dan Dosen Tidak tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta
Sumber: muhammadiyah.or.id
0 comments:
Post a Comment