Antara Demokrasi, Trinitas dan Kebangkitan Umat
Friday, January 11, 2013
0
comments
Bagaimana
sikap anda jika mendengar berita tentang seorang anak yang berzina dengan
ibunya sendiri? Tentu anda akan merasa sangat jijik, benci, prihatin dan marah.
Begitu juga dengan semua orang dalam masyarakat ini yang masih sehat akalnya
tentu akan memberikan respon yang serupa. Padahal kita saat ini bukan hidup di
masyarakat Islamiy, tetapi masyarakat sekuler yang terbentuk dari penerapan
hukum sekuler. Walaupun sudah jauhnya masyarakat terhadap pemikiran Islam,
tetapi kemaksiatan berupa kasus perzinahan antara ibu dan anak ini masih jarang
terjadi sehingga masih dianggap sebagai hal yang tabu.
Disisi lain
masyarakat saat ini malah sudah terbiasa dengan kemaksiatan lainnya yaitu
melakukan transaksi ribawi yang sebenarnya tingkatan dosa terendahnya setara
dengan dosa perzinahan antara ibu dan anak kandungnya sendiri.
“Riba itu
ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang
menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi )
Banyak
alasan yang dilontarkan masyarakat sebagai pembenaran dilakukannya transaksi
ribawi, misalnya dalam hal kepemilikan rumah, mulai dari alasan karena sulitnya
memiliki rumah tanpa mengambil leasing di bank, sampai karena ingin punya rumah
megah yang diidam-idamkan, walau sebenarnya punya dana yang cukup untuk membeli
rumah yang sederhana. Begitu ringannya mereka memilih melakukan transaksi
ribawi, padahal disisi lain mereka sangat jijik dengan peristiwa perzinahan
antara ibu dan anaknya sendiri. Mungkin sudah saatnya kita mengganti kata-kata
“si Fulan membeli rumah dengan cara leasing” dengan kata “si Fulan membeli
rumah dengan cara menzinai ibunya sendiri” untuk merubah gambaran masyarakat
tentang transaksi ribawi.
Pada
kasusnya lainnya, seorang anggota parlemen (dewan) yang sedang mengunjungi
sebuah daerah dengan menggunakan mobil dinas nan mewah dan diiringi oleh
pengawalan polisi. Ketika pintu mobil terbuka, karpet merah dihamparkan dan
rangkaian bunga segera dikalungkan sebagai penyambutan anggota dewan yang
dianggap oleh masyarakat daerah tersebut sebagai orang yang terhormat. Tetapi
bagaimana seandainya jika ketika pintu mobil tersebut terbuka dan anggota dewan
tadi berkata, “perkenalkan, saya adalah anggota dewan, perkerjaan saya adalah
menggantikan kedudukan Alloh SWT dalam hal menetapkan hukum”, apa kira-kira
yang akan terjadi? Bisa jadi karpet merah yang sudah dihamparkan segera
digulung kembali, dan bukannya kalung bunga yang diberikan, malah cacian atau
bahkan lemparan batu dan kotoran hewan yang didapat. Gambaran tentang anggota
parlemen sebagai orang yang terhormat tiba-tiba lenyap hanya karena penjelasan
yang singkat tadi, padahal tanpa penjelasan tersebut, memang itulah fakta
pekerjaan dari seorang anggota parlemen.
Penulis
sengaja memberikan 2 contoh kasus di atas sebagai pengantar bahwa ada beberapa
hal yang sebenarnya tabu untuk masyarakat muslim, tetapi karena mereka hidup di
sistem sekuler, hal-hal tabu tadi berangsur-angsur lenyap dan dianggap sebagai
hal yang biasa saja. Kasus-kasus di atas juga sebagai pengantar pembahasan
utama yang tak kalah mengerikan dibanding 2 contoh kasus diatas.
Bagaimana
sikap anda jika mengetahui ada seseorang yang mengaku sebagai seorang muslim
tetapi malah membela konsep Trinitas? Atau bagaimana sikap anda jika mengetahui
ada seorang aktivis partai Islam yang memberikan ucapan selamat Natal kepada
umat Kristen dengan alasan hanya sebagai wasilah/alat untuk mendapatkan simpati
orang-orang Kristen agar bersedia memberikan suara/dukungan ke partainya?
Tentu anda
akan kesal, marah, muak dan prihatin. Memang hal-hal tersebut belum pernah
terjadi, tetapi ketahuilah bahwa hal-hal yang mirip dengan hal-hal tersebut
tengah terjadi dan menjangkiti pemikiran umat Islam saat ini. Mari kita
buktikan!
Apakah yang
dimaksud dengan Trinitas? Trinitas berarti kesatuan dari tiga. Trinitas dalam
Kristen adalah satu Zat Tuhan yang memiliki tiga fungsi/bentuk yakni Tuhan
Allah (Bapa), Tuhan Anak (Yesus) dan Tuhan Roh Kudus.
Penulis
tidak akan panjang lebar membahas tentang konsep Trinitas, karena umat Islam jelas
telah menolak konsep ini karena bertentangan 180 derajat dengan aqidah Islam
yang meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak beranak dan
diperanakkan.
Ketahuilah
bahwa sebenarnya ada konsep dari sebuah ideologi/paham yang sangat mirip dengan
konsep Trinitas, yakni Demokrasi, mengapa demikian? Demokrasi adalah sebuah
ideologi sebagai derivatif (turunan) dari ideologi sekuler yang berlandaskan
pada asas ”kedaulatan di tangan rakyat (manusia)”, artinya rakyat (manusia)-lah
yang berhak menentukan hukum apa yang akan diterapkan di muka bumi ini. Manusia
dalam hal ini mengambil fungsi sebagai Allah SWT yang sebenarnya berperan
sebagai satu-satunya Zat yang berhak menentukan/membuat hukum untuk ciptaanNya.
”Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik”. (QS. Al-An’am:57)
Jadi menurut
Demokrasi, dalam setiap pribadi manusia memiliki 2 fungsi, yaitu fungsi sebagai
manusia dan fungsi Ketuhanan yang berhak menentukan hukum, bahkan jika hukum
Allah (syariat Islam) tidak sesuai dengan kehendak (iradah) rakyat, maka hukum
Allah tersebut bisa dibatalkan, sungguh mengerikan!
Menurut
Demokrasi, dalam 1 pribadi memiliki 2 fungsi, maka Demokrasi bisa juga disebut
dengan istilah Dwinitas, sangat mirip dengan Trinitas, hanya bedanya di dalam
Dwinitas (Demokrasi) tidak terdapat fungsi Roh Kudus.
Lantas
mengapa kebanyakan umat Islam saat ini memberikan sikap yang berbeda terhadap
Trinitas dan Dwinitas? Jika kita sama-sama marah, benci, dan prihatin ketika
ada seorang muslim yang malah membela konsep Trinitas, tetapi mengapa kita
bersikap biasa saja bahkan mendukung ketika ada seorang muslim yang membela paham
Dwinitas? Banyak yang masih belum mengerti tentang hakikat Demokrasi dengan
asas Dwinitasnya, walau mereka mengaku sebagai aktivis partai Islam sekalipun.
Mereka mengira bahwa Demokrasi hanyalah sebuah tatanan prosedural untuk memilih
seorang pemimpin, padahal hakikat Demokrasi adalah asas/konsep Dwinitas, yang
sama bathilnya dengan konsep Trinitas.
Sebagian
dari mereka sebenarnya ada yang sudah mengerti akan kebathilan Demokrasi,
tetapi mereka berdalih bahwa hanya menggunakan Demokrasi sebagai alat saja dan
bukan untuk mengadopsinya. Tetapi bagaimana bisa di saat yang sama mereka
menolak memanfaatkan momentum Natal sebagai alat untuk meraih dukungan dari
umat Kristen? Bukankah keduanya sama-sama memanfatkan kebathilan?
Penulis
adalah seorang mualaf yang ’lari’ dari orang-orang yang bergelar ”Ignatius”,
”Stefanus”, ataupun ”Floribertus”, yang kemudian memutuskan untuk memeluk
Islam, tetapi kemudian kecewa, sedih, dan marah ketika harus menerima fakta
bahwa banyak umat Islam yang bangga dengan gelar ”Demokratius”.
Ketika umat
Islam sudah mampu melihat riba seperti ketika mereka melihat perzinahan antara
seorang anak dan ibunya sediri, ketika umat Islam sudah mampu melihat anggota
parlemen sebagai orang yang merampas hak Allah, dan ketika umat Islam sudah mampu
melihat dan bersikap terhadap Dwinitas (Demokrasi) seperti layaknya mereka
bersikap terhadap paham Trinitas, di saat itulah pertanda umat Islam mulai
bangkit dikarenakan bangkitnya taraf berfikir mereka. Seperti apa yang terjadi
pada revolusi Suriah, ketika AS menawarkan solusi demokrasi untuk menggulingkan
rezim Assad, pihak Mujahidin sepakat untuk menolaknya, keinginan mereka tetap
tak tergoyahkan, yaitu tegaknya Syariah & Khilafah. Allahu Akbar!
”Ya Allah
tunjukkanlah yang haq itu haq, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk
mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil dan berikanlah kemampuan
kepada kami untuk menjauhinya”.
Penulis:
Budi
Kristyanto
Mualaf,
mantan penganut Katholik
Sumber: eramuslim.com
0 comments:
Post a Comment