Edukasi Bahaya Rokok Sejak Dini
Thursday, March 28, 2013
0
comments
Kita patut gembira, karena belum lama ini pemerintah
Indonesia telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau
Bagi Kesehatan. Tentu aturan baru ini menjadi angin segar bagi gerakan kampanye
bahaya merokok, dan dinilai lebih efektif untuk mengingatkan bahaya rokok bagi
pecandu berat. Karena dalam PP ini antara lain mengatur area peringatan
kesehatan bergambar seluas 40 persen di depan dan belakang kemasan. Setidaknya
ada lima variasi gambar “seram” yang sudah disiapkan untuk dicantumkan pada
kemasan produk rokok di Indonesia, peringatan bergambar berupa gambar gangguan
yang diakibatkan oleh rokok seperti kanker mulut, tenggorokan, impotensi, dan
kanker paru.
Namun euforia kegembiraan ini janganlah berlebihan,
mungkin dengan alasan butuh waktu untuk sosialisasi hingga kini aturan tersebut
belum juga diimplementasikan ke masyarakat. Belum lagi kemungkinan gugatan
hukum dari industri rokok masih terbuka, karena PP tembakau ini dinilai
mengganggu bisnis mereka. Padahal bila kita bandingkan, sesungguhnya PP
Tembakau di Indonesia lebih “ringan” dari pada PP Tembakau di negara-negara
lain karena mereka sudah mencantumkan peringatan bergambar hingga 70 persen sejak
lama. Bahkan, sejumlah negara sudah mewajibkan bungkus rokok polos. Seperti
Selandia Baru yang mengikuti langkah Australia, melalui Menteri Urusan
Kesehatan menyatakan, pemerintah akan melarang pemakaian merek dan mewajibkan
rokok dikemas dalam kotak yang berbentuk membosankan dengan peringatan
kesehatan yang eksplisit. Sehingga dengan langkah itu akan “menghapus sisa-sisa
glamor terakhir dari produk mematikan ini” (Kompas, halaman 8, 20 Februari
2013).
Selama ini, industri rokok telah melakukan pengemasan
bungkus rokok dan memanipulasi istilah untuk menarik konsumen dengan tujuan
meningkatkan pesona serta akseptabilitas merokok seperti istilah mild, light,
dan low. Padahal menurut Departemen Kesehatan RI, istilah tersebut adalah jurus
industri rokok untuk mendongkrak tingkat adiksi konsumen secara perlahan-lahan.
Dalam istilah psikologi sosial, hal ini bisa disebut manipulasi kesadaran. Dan
kita pun tahu, dalam bentuk apapun, kebiasaan merokok tak akan pernah aman.
Dalam dunia industri rokok juga dikenal prinsip “Remaja hari ini adalah perokok di masa depan”. Karena itu bagi produsen rokok,
anak-anak dan remaja merupakan aset berharga bagi keberlangsungan industri
mereka. Sehingga perokok usia muda inilah yang menjadi sasaran dari produk
mereka. Karena itu, para produsen rokok terus membangun citra merokok tampak
seolah-olah jantan atau lelaki sejati. Begitu besarnya pengaruh membangun citra
ini sehingga dalam dunia remaja, kita bisa menemukan istilah “bencong” atau
“tidak gaul”, sebuah label yang disematkan bagi remaja laki – laki yang tidak
merokok.
Mungkin, hal inilah yang menjadi salah satu penyebab
makin meningkatnya pecandu rokok di kalangan remaja. Menurut Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) memperkirakan ada 21 juta anak Indonesia menjadi
perokok dan meningkat setiap tahunnya. Tahun lalu diperkirakan ada kenaikan
hingga 38 persen dari jumlah anak yang merokok di Indonesia. Sementara untuk
Jakarta, tingkatnya diperkirakan mencapai 80 persen.
Kalau industri rokok sudah menjadikan remaja kita sebagai
pangsa pasar yang menggiurkan. Sebelum semakin banyak remaja kita menjadi
konsumen dan pecandu rokok, sebelum terjerumus dalam kerusakan yang lebih besar
lainnya seperti narkoba. Maka kita sebagai orang tua harus mewaspadai dan mulai
berbenah.
Edukasi melalui keteladanan
Keteladanan yang baik akan membawa kesan positif dalam
jiwa anak. Dan orang yang paling banyak diikuti oleh anak adalah orang tuanya.
Mereka pulalah yang paling kuat menanamkan pengaruhnya ke dalam jiwa anak. Oleh
karena itu, Rasulullah SAW memerintahkan agar orang tua bersikap jujur dan
menjadi teladan yang baik kepada anak-anak mereka.
Begitu juga dengan edukasi bahaya rokok, salah satu cara
sederhana untuk mengurangi tingginya perokok aktif adalah melalui keteladanan
orang tuanya (ayah). Keteladanan orang tua yang tidak merokok menjadi pintu
gerbang awal dalam edukasi bahaya rokok. Biasanya, orang tua yang tidak
merokok, kemungkinan besar anak-anaknya juga tidak merokok, karena mereka
senantiasa memperhatikan perilaku orang tuanya. Dan keteladanan ini akan
menjadi imunitas bagi anak-anaknya saat mereka bergaul dengan komunitas
perokok, sehingga keinginan untuk mencoba merokok tidak akan pernah mereka
lakukan. Jadi sebaiknya, edukasi rokok ini diterapkan orang tua sejak bayi.
Namun disayangkan, orang tua yang seharusnya menjadi
teladan dalam edukasi bahaya merokok malah menjadi contoh buruk. Kita masih
mudah menjumpai di masyarakat, orang tua dengan mudahnya menyuruh anak-anaknya
untuk beli rokok di warung, menggendong anak bayinya sambil merokok, kiai yang
menyampaikan ilmu agama sambil merokok di depan santri-santrinya. Sesungguhnya
contoh buruk ini, tanpa disadari orang tua telah turut mewariskan dan
melanggengkan kebiasaan merokok kepada anak-anak mereka. Sehingga epidemi rokok
di Indonesia sulit diputus mata rantainya.
Maka kita tidak heran, kalau tingkat konsumsi rokok di
Indonesia terus meningkat. Menurut survey Global Adult Tobacco Survey (GATS)
disebutkan, konsumsi rokok di Indonesia tahun 2011 sekitar 270 miliar batang.
Angka konsumsi rokok ini terus meningkat karena tahun 1970 konsumsi rokok baru
sekitar 30 miliar batang. Konsumsi rokok di kalangan anak-anak juga terus
meningkat.
Alangkah indahnya dunia ini, jika para orang tua
menyadari bahaya rokok ini, bahaya itu tidak hanya karena ada 4.000 zat kimia
beracun yang terdapat pada sebatang rokok, tapi juga bisa berefek pada
kerusakan yang lebih besar, karena rokok merupakan pintu gerbang awal untuk
mengenal narkoba.
Sebelum terlambat, sebelum kerusakan terus menghantui
anak-anak kita, remaja kita, sebaiknya dicoba, dimulai dari diri kita,
tinggalkanlah rokok sebatang-demi sebatang hingga pada titik tidak merokok sama
sekali. Bagi pecandu rokok, memang hal ini terasa sangat berat, namun bila
dilandasi kesabaran dan perasaan sayang anak maka insya Allah bisa dilewati.
Karena hal ini sudah dipraktekkan ayah penulis, sejak penulis duduk di bangku
SMP, dan sampai sekarang alhamdulillah ayah tidak pernah lagi menyentuh barang
mematikan ini.
Keterlambatan selalu punya dampak serius. Tapi mengapa
keterlambatan selalu jadi bagian keseharian kita. Kita terlambat menyadari
bahaya rokok ini. Atau kita terlambat menentukan prioritas masa depan anak dan
mendahulukan egoisme demi asap rokok. Namun, menurut Eri Sudewo dalam bukunya
“Best Practice Character Building Menuju Indonesia Lebih Baik” halaman 147,
mengatakan, tidak ada kata terlambat bagi yang mau berbenah. Tidak ada paksaan
untuk perbaiki diri. Dan, tidak satu manusia pun yang bisa mengubah orang lain.
Semua kembali pada masing-masing.
Maka sebagai orang tua harus memilih, apakah lebih
mengutamakan egoisme kita menjadi teladan dan mewariskan kebiasaan merokok pada
anak-anak kita atau menyiapkan anak-anak kita, remaja kita lebih berprestasi
tanpa rokok dan narkoba.
Karena anak-anak kita, remaja kita adalah aset negara dan
pemimpin di masa depan. Remaja sangat diperlukan oleh masyarakat dan negara
karena golongan ini merupakan pilar pembangunan negara. Remaja juga merupakan
golongan yang paling berharga serta harta yang tidak ternilai. Pada mereka
jugalah terletak masa depan negara. Ada pepatah mengatakan “Rusak remaja,
pincanglah negara”. Tentu kita tidak mau hal ini terjadi.
Semoga, pencantuman gambar bahaya merokok ini bisa
menyadarkan para perokok aktif dan menjadi media efektif untuk mengurangi angka
konsumsi rokok di Indonesia, sebuah produk yang menewaskan 239 ribu warga
Indonesia per tahun. Wallahu a’lam.
Sumber:
http://www.dakwatuna.com
0 comments:
Post a Comment