Ketika Kambing Menjadi Alat Dakwah
Wednesday, March 20, 2013
0
comments
Bukti efektif dakwah dengan cara memberi dan merangkul,
dibanding menghakimi.
Pagi itu Anwar Anshary (37) bersiap-siap memberi ceramah
pernikahan di kampung sebelah. Ia memakai baju koko bermotif bunga dan sarung
biru. Ia pun siap meluncur. Tapi bukannya langsung menuju tempat acara, ia
malah menyempatkan diri menjenguk beberapa kambing piaraannya. “Kambing inilah
yang menjadi alat dakwah saya di sini,” ujar pria kelahiran Tasikmalaya, 13
Maret 1975 kepada Suara Hidayatullah.
Kok bisa kambing menjadi alat dakwah?
Tentu saja bisa. Menurut Anwar, cara ini merupakan salah
satu strategi pendekatan dakwah ke masyarakat. Bermula dari program yang
digulirkan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta untuk para dai di
daerah-daerah. Anwar termasuk salah seorang dai yang mendapatkan kambing
sebanyak 15 ekor. Kambing sebanyak itu, sebagian dipelihara dirinya dan santri
di Pondok Ma’rifah (Mahad Riyadhul Falah). Sebagiannya lagi disebar ke
masyarakat untuk dipelihara. “Kini jumlahnya sudah mencapai 65 ekor. Itu pun
sebagian sudah dipotong saat Idul Adha tahun lalu,” akunya.
Masyarakat yang mendapatkan kambing tidak dibiarkan
begitu saja. Mereka diharuskan mengikuti pengajian bulanan. Bahkan, kadang
Anwar yang menyambangi mereka satu persatu di rumah. “Sambil mengecek kambing,
biasanya kita juga bicara tentang Islam,” ujar lulusan Institut Agama Islam
Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat ini.
Dengan cara ini, aku Anwar, keberadaan dirinya di tengah
masyarakat kian diterima. Tidak saja secara pribadi, pesantren miliknya, Pondok
Ma’rifah di Kecamatan Cigalontang, Tasikmalaya yang awalnya dicurigai karena
dianggap membawa ajaran berbeda, kini telah diterima masyarakat dengan baik.
Mendirikan Pesantren
Debut dakwah Anwar dimulai saat masih menjadi pelajar di
SMA Galunggung, Tasikmalaya tahun 1992. Demikian juga saat kuliah, Anwar makin
giat mengkaji Islam. Bahkan, saat itu, ia mulai banyak bersentuhan dengan
aktivis Islam, termasuk aktivis Hidayatullah di Tasikmalaya.
Usai lulus kuliah, langkah dakwah Ustadz Anwar semakin
luas. Ia mengaku aktif di Gerakan Persaudaraan Muslimin Indonesia (GPMI). Anwar
yang pernah menjadi ketua GPMI Tasikmalaya tahun 2000 ketika itu sering
melakukan kegiatan bareng dengan seluruh gerakan dakwah di Tasikmalaya. Namun,
meski sudah disibukkan dengan kegiatan dakwah di GPMI, Anwar juga aktif membina
remaja masjid di kampung kelahirannya, Sukamanah. “Semangat yang kita
perjuangkan ketika itu semangat tadhbigu (penerapan -red) syariah,” tegasnya.
Dalam perjalanannya, Anwar berpikir, sesungguhnya yang
menolak penerapan syariat ini bukan pemerintah, justru masyarakat itu sendiri.
“Kita banyak disibukkan dengan diskusi kepada masyarakat tentang penerapan itu,
sehingga tekanan kita malah jadi berat sebab masyarakatnya belum siap,”
katanya. Maka, perlu ada basis untuk melakukan penerapan itu, yaitu pesantren.
“Saya ini lahir dari pesantren, ayah saya pendiri
pesantren. Sejak itu saya mulai merancang untuk mendirikan pesantren,” tutur
Anwar yang mulai merancang pesantren tahun 1998. Selama merancang itu, ia
kembali ke pesantren untuk mengaji dan mengajar di Pesantren Miftahul Falah,
milik ayahnya. Selama lima tahun ia berusaha mempersiapkan konsep dan maket
pesantren. Katanya, ia ingin memiliki pesantren yang bisa menjawab tantangan
dan keinginan masyarakat, tapi juga bisa menghidupkan nilai Islam.
Pada tahun 2003, suami Lilis Nurmali Amadiyah ini,
mewujudkan cita-citanya. Akhirnya, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Cigalontang
menjadi pilihannya. “Waktu pertama kali melihat tempat ini saya merasa cocok.
Tambah lagi, kegiatan dakwah di sini nyaris sepi,” ungkap Anwar. Bahkan, yang
membuat hatinya miris yakni banyak praktek kemusyrikan, bid’ah, dan khurafat
yang mewarnai Pesanggrahan.
“Pengaruh tempat pemujaan di Gunung Handap dan Kampung
Naga yang masih memegang adat Hindu, masih terasa di kampung ini,” jelas Anwar.
Menghadapi kondisi masyarakat seperti itu, Anwar berpikir
tak bisa menanganinya dengan cara frontal. Ia mencoba menggunakan pendekatan
lain dengan membuat sesuatu yang mereka senangi dan tidak perlu berbenturan
dengan tradisi.
Caranya, ia masuk melalui pintu tradisi yang ada di
masyarakat, misalnya hajat lembur (perayaan kampung). Tradisi ini pada
prakteknya mengarah kepada kemusyrikan. Padahal sebenarnya intinya adalah
bersyukur dan tolak bala. “Akhirnya kita ajak mereka untuk mengaji di dalam
masjid, tapi tetap saja ada yang mengikuti tradisi itu bersama tokoh
ritualnya,” kata Anwar.
Tradisi lain, namanya puput bayi yang harus memotong ayam
dan darahnya disimpan dekat bayi tersebut. Sementara, kalau ibu hamil banyak
larangan-larangan yang harus dipatuhi agar selamat. Anwar tidak melarang
tradisi itu. Ia hanya memberi contoh saja. “Kebetulan anak saya enam orang,
tapi tidak melakukan itu semua, Alhamdulillah bisa selamat,” katanya. Lambat
laun masyarakat paham dan meninggalkan tradisi itu dengan sendirinya.
Tradisi-tradisi sesat di masyarakat kata Anwar, terjadi
karena doktrin pemahaman. Kepada masyarakat ia tidak melawan secara frontal,
cukup menjelaskan saja dalam pengajian. Tapi kepada santri ia memberikan
doktrinasi aqidah yang lurus, sehingga kelak santri yang akan melaksanakan
budaya islami di tengah masyarakat.
Diancam
Sekalipun sudah lunak, bukan berarti tidak mengalami
penentangan, termasuk dari salah seorang tokoh yang memimpin ritual-ritual
kemusyrikan itu. “Dulu waktu tokoh itu masih hidup sangat membenci kita, tapi
selalu kita dekati melalui saudaranya. Alhamdulillah, di akhir hidupnya, ia
justru simpatik dengan pesantren dan ikut membantu menyumbang kayu,” kenang
Anwar.
“Serangan” lainnya yang juga sempat membuat Anwar
khawatir, ketika seorang tokoh agama mengajak masyarakat untuk membakar
pesantrennya. Namun, hasutan itu tidak berlanjut. Selain karena pertolongan
Allah, Anwar merasa itu berkah dari selalu dekat dengan masyarakat.
“Kalau kita dekat dengan mereka, mereka akan memahami
perbedaan walaupun tidak melupakannya. Tapi kalau kita jauh, malah akan semakin
frontal,” ucap Anwar.
Kini, melalui pesantrennya, Anwar serius membina santri
dalam hal aqidah. “Kelak mereka akan menjadi kader-kader yang memiliki jiwa muwahid,
mujtahid, mujahid, mujaddid, dan muzakki,” harap Anwar.
Selain sibuk memberikan ceramah, mengajar, dan mengurus
pesantren, Anwar juga telah menulis buku-buku saku tentang ajaran Islam yang
dibagikan kepada masyarakat. Menurutnya, hal ini juga bisa menjadi salah satu
media dakwah.* Ahmad Damanik/Suara Hidayatullah NOPEMBER 2012
Sumber:
majalah.hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment