Mentalitas Pendidik
Tuesday, March 19, 2013
0
comments
Saya tertarik membaca status seorang teman di akun
jejaring sosial Facebook. Bunyinya, “sehari menjadi guru, seumur hidup menjadi
orang tua”. Ada pesan moral agung dan kontekstual di situ. Menjadi guru berarti
bersedia menjadi orangtua. Murid bukan sekadar sebagai obyek pengajaran, tetapi
juga harus diberikan pendidikan dan kasih sayang laiknya anak sendiri.
Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Bisa dibilang, di
sinilah tantangan terberat menjadi guru. Di pundak guru, misi pencerdasan
sekaligus pendidikan dan kasih sayang. Jika ini sanggup ditunaikan, betapa
luhur dan mulia profesi sebagai guru di mata Tuhan dan manusia. Inilah
mentalitas pendidik sejati.
Dalam realitas nyata, banyak guru yang telah menjalankan
peran ideal itu. Tetapi, tidak jarang ada guru yang hanya menjalankan tugas
persis seorang karyawan di perusahaan. Bekerja semata agar mendapat upah.
Sering pula tugas mengajar sekadar sebagai sampingan. Masuk dan mengajar di
kelas hanya kalau benar-benar tidak ada kesibukan lain di luar.
Alangkah naif perilaku guru demikian. Sialnya lagi,
sekali-dua kali masuk, guru bersangkutan tidak fokus pada pelajaran yang sedang
dibahas. Ia malah cerita ngalor-ngidul yang sama sekali tidak terkait dengan
pelajaran di kelas.
Setiap sekolah sebenarnya sudah memiliki tata tertib
untuk guru. Sayangnya, tata tertib itu sering hanya selesai di atas kertas lalu
ditempelkan di papan kantor atau buku jurnal guru. Pelaksanaannya jauh panggang
dari api. Dan tidak semua kepala sekolah mampu menindak perilaku guru yang
tidak patut digugu dan ditiru itu. Terlebih jika guru bersangkutan tergolong
senior. Kepala sekolah biasanya merasa ewuh pakewuh dalam bersikap.
Munculnya perilaku minim tanggung jawab itu barangkali
disebabkan motivasi awal menjadi guru. Bukan rahasia lagi, banyak orang menjadi
guru bukan karena bercita-cita menjadi guru. Karena sudah lelah mencari
pekerjaan dan tidak kunjung dapat, lantas terjun sebagai guru.
Ada juga yang menjadi guru karena coba-coba. Misalnya,
iseng-iseng melamar ke sebuah lembaga pendidikan, eh… diterima. Parahnya lagi,
ada yang memang berniat menjadi guru, tetapi alasannya adalah karena menjadi
guru itu tidak butuh tenaga kasar tetapi bisa juga mendapatkan gaji dan
tunjangan.
Tidak disangkal, sejak Pemerintah memberikan tunjangan
ini-itu bagi guru, fakultas-fakultas keguruan menjadi ramai peminat. Terlebih
bagi mereka yang terbuang dari jurusan-jurusan umum di kampus impian, lantas
banting setir ke fakultas keguruan. Anggapannya, fakultas keguruan, seperti
juga profesi guru, adalah rendahan. Siapa saja bisa masuk asal mau.
Paradigma demikian wajib diubah. Juga perilaku guru yang
memble harus segera dikikis habis. Terlebih di sekolah Islam atau pesantren,
setiap guru harus bisa memaknai profesinya dalam kerangka menjalankan amanah.
Abai terhadap tugas pendidikan jelas pengingkaran terhadap amanah secara
sempurna. Ini berarti pula tidak menjalankan ibadah secara ikhlas—karena
mengajar adalah juga ibadah.
Jika diteruskan, dampaknya akan sangat fatal. Generasi
bangsa akan telantar. Karena itu, spirit keikhlasan hendaknya ditancapkan
kuat-kuat. Guru tidak elok berlaku seperti karyawan yang hanya berhitung gaji.
Ada nilai spiritual dalam status guru. Inilah yang mengantarkan tunas-tunas
bangsa memasuki gerbang masa depan.
Penting pula disadari, jika sampai hari ini pendidikan
kita tidak beranjak maju, bahkan malah tertinggal oleh negara lain di dunia,
barangkali disebabkan hilangnya mentalitas pendidik di sekolah-sekolah kita.
Sebagian guru kita baru sekadar sebagai pengajar dan bahkan pencari nafkah yang
tidak memenuhi kriteria standar seorang pendidik dan pejuang pendidikan.
Karena itu, mari berdoa semoga ke depan lahir sosok-sosok
guru yang punya mentalitas pendidik sejati, sehingga mampu memperlakukan
murid-murid bagai anak kandung sendiri.
Sumber:
http://www.dakwatuna.com
0 comments:
Post a Comment