Rahasia Kekayaan Hati
Saturday, March 23, 2013
0
comments
Betapa pentingnya kekayaan sehingga banyak orang tua
menasehati anaknya dengan ungkapan, “Nak, jadilah kamu orang kaya.”
Nasehat ini selalu diulang-ulang untuk mengingatkan
kepada sang anak bahwa menjadi orang kaya itu penting.
Namun, banyak orang yang tidak menyadari bahwa yang
paling penting di dalam hidup ini bukanlah bagaimana menjadi kaya, tetapi
bagaimana membangun orientasi akhirat atas harta yang akan kita dapatkan atau
telah kita miliki. Bagaimana caranya?
1. Membangun Pribadi Qana’ah
Qana’ah yaitu rela menerima dan merasa cukup dengan apa
yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas yang berlebihan.
Orang yang qana’ah selalu giat bekerja dan berusaha. Namun, bila hasilnya tidak
sesuai dengan yang diharapkan, ia tetap rela menerima hasil tersebut dengan
rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sikap ini merupakan sifat dasar seorang mukmin yang bisa
mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah
dan tamak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
beruntung orang yang masuk Islam dan rezekinya cukup dan merasa cukup dengan
apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya,” (Riwayat Muslim).
Orang yang qana’ah memiliki pendirian bahwa apa yang
diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah Ta’ala.
Firman-Nya,”Tiada sesuatu mahluk yang melata di bumi melainkan ditangan Allah
rezekinya.” (Huud [11]: 6)
2. Menjadi Pribadi Zuhud
Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu
karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya.
Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syai`un zahidun” yang berarti “sesuatu
yang rendah dan hina”.
Menurut Al-Hasan Al-Bashri, zuhud itu bukan mengharamkan
yang halal atau menyia-nyiakan harta. Namun, zuhud di dunia adalah, ”Engkau
lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah dari pada apa yang ada di
tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja,
sebagaimana antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu sama dalam
kebenarannya.”
Hal itu timbul dari keyakinannya yang kuat dan lurus
terhadap kekuasaan Allah Ta’ala. Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya, “Berupa
apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku tidak pernah takut miskin
karena percaya kepada Allah Ta’ala, dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada
di tangan manusia, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi, serta apa
yang berada di antara keduanya.”
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan
menjauhinya. Lihatlah Nabi SAW, teladan bagi orang-orang yang zuhud. Beliau
mempunyai sembilan istri. Para Sahabat juga mempunyai istri-istri dan harta. Di
antara mereka bahkan sangat kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan
mereka dari hakikat zuhud yang sebenarnya.
Dalam Hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak
Adam, kosongkanlah gudangmu untuk memenuhi apa yang ada di sisi-Ku. Engkau akan
selamat dari kebakaran, kebanjiran, pencurian, dan kejahatan. Itu semua lebih
engkau butuhkan,” (Riwayat Thabrani dan Baihaqi).
3. Menjadi Insan Bersyukur
Diberi kesempatan hidup saja sudah merupakan anugrah dan
kenikmatan yang luar biasa, apalagi ditambah dengan berbagai macam nikmat
lainnya. Orang yang tidak merasa pernah cukup terhadap nikmat yang sudah
diberikan, selamanya akan miskin. Adapun orang yang ridha dan bersyukur maka
dialah orang kaya yang sesungguhnya.
Imam Syafii pernah berpesan, “In kunta dza qalbin
qanu’in, fa anta wa malikuddun-ya sawa’u (bila engkau memiliki hati yang penuh
[ridha dan puas dengan karunia] maka engkau dan raja dunia itu sama saja.”
Yang membuat seseorang tidak bersyukur adalah karena
hidupnya dipenuhi oleh keinginan yang tak berujung. Di sinilah urgensi
kesadaran akan banyaknya nikmat Allah Ta’ala sehingga diperlukan kesyukuran
sebagai tanda kekayaan hati. Sehingga ukurannya kekayaan bukanlah melimpahnya
harta.
4. Menjadi Pribadi yang Senang Memberi
Islam mengajarkan umatnya agar menjadi pemberi dan bukan
sebaliknya. Sebab, tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Tatkala
seseorang telah bermental pemberi, maka mereka merasa sukses karena keinginan
jiwanya itu telah terpenuhi.
Orang seperti ini biasanya tidak suka mengumpulkan harta
benda, bahkan merasa risih dan malu untuk melakukannya. Bagaimana mungkin ia
akan mengambil harta yang bukan haknya sedangkan harta miliknya saja diberikan
kepada orang lain.
Berdasarkan dalil dan kenyataan empirik, siapa pun yang
banyak memberi ia akan banyak menerima pula.
Imam Al-Qayyim berkata, “Sesungguhnya sedekah (memberi)
memiliki khasiat yang menakjubkan dalam menangkal bahaya sekalipun orang yang
bersedekah adalah orang yang berbuat dosa, zalim, atau bahkan kafir. Maka dari
itu dengan sedekah, sungguh Allah Ta’ala menahan bagi penderma berbagai macam
bahaya. Hal ini sudah diketahui seluruh penduduk bumi. Mereka telah memahami
kebaikan yang luar biasa dari sedekah, karena mereka telah mencobanya,” (Buku
Rahasia di Balik Sedekah oleh Ibrahim Fathi Abdul Muqtadar)
Kiat Membangun Mental Kaya
Mental kaya sesungguhnya dapat dibiasakan atau dilatih
hingga seseorang yang awalnya pelit dapat berubah menjadi dermawan. Adapun
untuk mengembangkan mental kaya, cara-cara berikut ini bisa kita terapkan:
Pertama, menyakini bahwa harta yang mutlak kita miliki
adalah harta yang diberikan sebagai wujud ketaatan terhadap Allah Ta’ala, dan
sebagai amal jariyah untuk mendapatkan janji dan jaminan Allah Ta’ala.
Di dalam al-Qur`an surat Ali Imran [3] ayat 133-134,
Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa orang yang bertakwa itu adalah orang-orang
yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit.
Kedua, tidak takut miskin karena rajin bersedekah, sebagaimana
nasehat Rasulullah SAW kepada Shahabat Bilal: “Bersedekahlah wahai Bilal!
Jangan takut kekurangan dari pemilik ‘Arsy,” (Riwayat Bazzar dan Thabrani).
Pada dasarnya harta adalah milik Allah Ta’ala. Manusia
hanyalah pengelola saja. Bagi orang-orang mukmin, keberadaannya mutlak sudah
bertransaksi dengan Allah Ta’ala seperti firman-Nya, “sesungguhnya Allah telah
membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga
untuk mereka… (At-Taubah [9]: 111)
Ketiga, takut ancaman dan hukuman dari Allah Ta’ala untuk
orang-orang bakhil. Hal ini dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam al-Quran surat
Ali Imran [3] ayat 180, bahwa kelak, harta yang mereka bakhilkan akan
dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat.
Keempat, meyakini bahwa pemberian yang ia lakukan pada
hakekatnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan orang lain yang menikmatinya.
Barangsiapa takut kepada Allah Ta’ala dalam masalah harta
lalu membelanjakannya sesuai dengan yang diridhai-Nya, atau untuk menolong
agama-Nya, niscaya Allah Ta’ala akan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman,”Dan kebaikan apa saja yg engkau
perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh-nya disisi Allah sebagai balasan
yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. (Al-Muddatstsir [74]: 20)
Kelima, memiliki keinginan kuat untuk mendapatkan naungan
pada Hari Pembalasan, yakni saat kesulitan manusia memuncak dan matahari
didekatkan dengan ubun-ubun manusia.
Ketika itulah orang-orang yang suka bersedekah mendapat
jaminan. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan, ada tujuh golongan
manusia yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan kecuali
naungan-Nya. Salah satunya adalah, “Laki-laki yang bersedekah dan
menyembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
dikeluarkan oleh tangan kanannya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam bish-shawab.*** SUARA HIDAYATULLAH, MEI
2011
Sumber:
majalah.hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment