Ustadz Penjual Buah
Thursday, March 21, 2013
0
comments
Aku kerap tersadarkan secara tiba-tiba bahwa hidupku
senantiasa dikelilingi oleh sosok-sosok yang banyak memberikan renungan dan
pembelajaran hidup. Pembelajaran bahwa keberadaan kita di dunia ini adalah
ruang-ruang kesempatan untuk bersyukur dan berbuat dengan sebaik-baiknya.
Pembelajaran bahwa poin penilaian yang membedakan kita dengan orang lain di
sisi Allah hanyalah seberapa berkualitas amalan dan sejauh apa ketakwaan yang
kita punya.
Seperti perjumpaanku dengan seorang “ustadz” penjual buah
tiga pekan silam. Ketika itu aku bertemu dan berkenalan dengannya di rumah
dakwah kami yang baru sempat kusambangi semenjak pulang dari Mesir. Kala itu ia
mengaku menjadi seorang penjual buah keliling yang berjualan dari daerah ke
daerah. Sebut saja namanya Rahmat. Setiap hari ia membeli berbagai jenis buah
secara borongan di pasar-pasar tradisional yang tersebar di negeri ini, berupa
mangga, duku, rambutan, pepaya, jeruk, dan sebagainya, lalu menjualnya secara
eceran di daerah lain. Begitu setiap subuh buta ia menjemput rezeki dengan
menempuh jarak yang tak bisa terbilang dekat. Usianya masih relatif cukup muda,
jika kutaksir sekitar dua puluh delapan tahun. Benar saja, di perjumpaan
berikutnya ia mengaku telah menikah dan sudah dikaruniai tiga orang anak.
Sepintas tak ada sesuatu yang begitu istimewa pada
penampilannya. Ia mengatakan bahwa ia hanya tamat sekolah dasar dan lebih memilih
untuk bekerja sebagai penjual buah. Sebagaimana lazimnya seorang pekerja keras,
gurat-gurat kesederhanaan dan kebersahajaan terpahat jelas pada wajah sawo
matangnya. Kendati demikian, ia tak pernah datang ke markas ini dengan wajah
dan penampilan layaknya seorang pedagang serabutan di pasar. Ia selalu hadir
dengan semangat muda dan penampilan terbaik yang ia miliki, dengan jenggot dah
rambut tersisir rapi. Selalu datang tepat waktu dan tidak pernah terlambat,
apalagi sampai absen hanya karena alasan remeh-temeh. Benar-benar pukulan telak
bagi siapa saja yang tidak menghargai waktu dan suka mencari-cari alasan untuk
tidak menjadi lebih baik.
Hal lain yang membuatku takjub dan kagum pada sosok itu
adalah semangat dan loyalitasnya yang luar biasa terhadap dakwah ini. Tak
jarang ia harus meninggalkan dagangan buahnya demi membuat dirinya lebih
berarti. Ia adalah sosok pedagang jujur dan apa adanya, yang tidak mengurangi
takaran dan timbangan. Ia bukanlah golongan pedagang yang disindir dalam Surat
Al-Muthaffifin. Saat i’tikaf pada sepuluh penghujung Ramadan silam, ia adalah
orang hampir selalu datang pertama kali dan tak pernah alpa. Aku yakin, tentu
ia tidak sekadar bermodal semangat sampai pada di titik ini. Aku pun percaya,
pilihannya tersebut berangkat dari sebuah pemahaman yang utuh tentang apa dan
bagaimana berislam yang sesungguhnya.
Belakangan aku semakin kerap bertemu dan bertatap muka
dengannya, baik itu di jalan, di masjid, ataupun di sekolah tempatku mengajar
sekarang. Aku kembali dikagetkan ternyata siswa bernama Wildan yang begitu
menonjol di antara teman-temannya karena sangat kuat menghafal Al-Quran itu
adalah anak dari “ustadz” penjual buah tersebut. Seketika aku jadi teringat
dengan kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terlahir dari rahim seorang
wanita yang tidak mau berbuat curang dalam berdagang. Begitu pula dengan siswa
bernama Wildan itu. Ia hadir sebagai keberkahan dari sesosok ayahnya yang
shalih dan jujur.
Sumber:
http://www.dakwatuna.com
0 comments:
Post a Comment