Gusti Allah Tidak "Ndeso"
Monday, October 21, 2013
0
comments
SUATU
kali dalam sebuah forum saya ditodong pertanyaan beruntun :
"Cak
Nun," kata sang penanya.
"Misalnya
pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus
dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar
berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari,
mana yang sampeyan pilih?"
Saya
menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."
"Tapi
sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.
"Ah,
mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab saya.
"Kalau
saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak,
" kata saya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga
orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."
Bagi
kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada
di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan
mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata
Tuhan:
Kalau
engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.
Kalau
engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau
engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya
erujar, saya bertanya balik, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga
macam orang ini?
Pertama,
orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi
uang negara.
Kedua,
orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hafal al-quran, menganjurkan hidup
sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat
permusuhan.
Ketiga,
orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak
korupsi, dan penuh kasih sayang?
Kalau
saya, memilih orang yang ketiga.
Kalau
korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau
korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-
injaknya.
Kalau
korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang
orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang
yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria
kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan
seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa.
Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial,
sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu
sesama.
Idealnya,
orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak
korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama
adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu
mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma
puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut
saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi,
bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran
keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan
diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan
sosial.
Orang
beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang
beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.
Orang
yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum
tertindas).
Juga
tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama
mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang
meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya,
orang-orang miskin meronta kelaparan.
Sumber:
facebook.com/pages/emha-ainun-nadjib
0 comments:
Post a Comment