Haji Beneran dan Rasa Haji
Tuesday, October 15, 2013
0
comments
Oleh: Emha Ainun Nadjib
INI adalah tulisan tentang haji dari
seorang yang belum pernah naik haji, bahkan belum pernah sekedar mendapat
oleh-oleh air zamzam. Oleh karenanya, penulis memohon maaf atas kelemahan
mendasar dari tulisan ini.
Taraf saya masih semacam Haji
Bawakaraeng. Gunung Bawakaraeng ada di Sulawesi. Pada musim haji, sejumlah
orang Islam mendatanginya dan melakukan sejumlah ritus seolah-olah mereka
sedang benar-benar menjalankan ibadah haji.
Tentu saja secara ‘syar’i, yuridis
formal’, mereka tak bisa dianggap telah berhaji. Tapi sekurang-kurangnya mereka
memperoleh kemungkinan ekonomi untuk sungguh-sungguh berangkat ke Tanah Suci
yang asli.
Alhamdulillah, Islam punya kecenderungan
besar untuk memudahkan pemeluk-pemeluknya. Kalau tak sanggup berdiri dalam
menjalankan shalat, boleh duduk. Kalau tak bisa duduk, silahkan berbaring.
Begitu juga haji.
Sementara ini ‘pangkat’ saya barulah
penggembira, ikut bahagia ada fenomena peribadatan bernama haji. Ikut senang
banyak orang berbahagia naik haji. Ikut bergembira dan menginternalisasikan —
secara ‘platonis’ — ide-ide, gagasan, metode, tarikan, modus, serta
pengembaraan rohaniah yang sedemikian total mewahidkan tiga dimensi esensial
kehidupan manusia: kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Haji adalah — atau kita sebut: semestinya
— puncak totalitas penyatuan antara tiga dimensi itu, yang diperjuangkan oleh
kehidupan manusia. Haji lebih dari sekedar efek dari kesanggupan ekonomi
seseorang untuk berangkat ke Arab Saudi: juga lebih dari sekedar ‘romantisme
pengembaraan kultural’. Bukan aksesori keperluan politik, status dan kebanggaan
sosial.
Adapun saya, tergolong di antara ratusan
juta ummat Islam yang belum atau tidak pernah naik haji, sehingga hanya bisa
‘menabuh beduk’ dari kejauhan: Betapa benar mauatan inisiatif-Mu ya Allah.
Betapa baik kandungan anjuran-Mu, ya Allah. Labbaika allahumma labbaik!
Nyayian cinta, lagu-lagu rindu, yang
dilantunkan oleh jutaan hamba-Mu di tanah suci pada hari-hari haji, ditampung
oleh ribuan malaikat dan diangkut ke langit, diserahkan kepada-Mu dengan
deraian air mata syukur. Adapun Engkau abaikan kami-kami yang belum atau tidak
sanggup berangkat ke rumah-Mu?
Padahal rasa rindu kami terlebih-lebih
dari berlipat-lipat karena jarak ketidakmampuan kami. Padahal kalau
saudara-saudara kami di tanah suci-Mu meneriakkan nama-Mu, kami memekikkannya.
Di dalam kejauhan jarak ini tangis kami adalah hujan sunyi yang hanya Engkau
belaka yang sanggup mendengarkannya. Jadi bolehlah kiranya dari rumah melarat
di kampung kami sendiri, kami mendendangkan lagu Labbaika allahumma labbaik!
Labbaika allhumma labbaik! Labbaika la syarika laka labbaik!
HAJI DAN ''TARIAN'' SUNNATULLAH
Haji adalah sebuah kemewahan ekonomi,
bagi kita yang bertempat tinggal jauh dari Tanah Suci. Tatkala para penempuh
haji berpakaian ihram, mereka ‘melompat’ naik ke taraf transendensi budaya:
menanggalkan status sosial, kedudukan, tingkat-tingkat jabatan dan profesi.
Metode itu membawa manusia kembali ke kefitrian, ke otentisitas dan kesejatian dirinya.
Pada pengalaman berhaji, mungkin
seseorang menjadi mengerti bahwa jati diri bukanlah to be pada tataran-tataran
sosial-budaya, sebab itu semua hanyalah cara atau jalan menjadi seseorang,
sesuatu atau ‘aku’ yang lebih sejati, lebih kualitatif, atau lebih berorientasi
ke universalitas nilai ‘Aku primer’ manusia bukan ‘aku pedagang’, ‘aku partai’,
‘aku status sosial’: sebab puncak dari semua jenis ‘aku’ tersebut pada akhirnya
adalah aku manusia.
Di dalam Islam, ‘aku manusia’
meningkatkan dirinya menjadi aku ‘Abdullah’ atau ‘aku hamba Allah’ kemudian
‘aku khalifatullah’ atau ‘aku hamba Allah’ kemudian ‘aku khalifatullah’ atau
‘aku wakil Allah’, kemudian meningkat atau lebih menginti lagi.
Ketika mereka berputar mengelilingi
Ka’bah, yang mereka lakukan seolah-olah adalah tarian sunnatullah: gerakan pada
inti atom atau sel, atau koreografi bintang-bintang, planet dan satelit; yang
pada perspektif kesadaran local manusia hal itu menciptakan ikhtilafillaili
wannahar, pergantian siang dan malam.
HAJI DAN ESENSIALISASI DIRI
Dan tatkala para hamba Allah itu
bersujud, yang mereka sembah bukanlah Ka’bah, melainkan merupakan simbolisasi
ahad dan wahid. Ahad itu satu-Nya Allah, dan wahid itu penyatuan semua
kuantitas indidividu manusia dan keummatan manusia, serta semua sistem kualitas
nilai dirinya, pada satu mata air, yang menjadi sumber dan sekaligus muara
segala sistem eksistensi.
Proses penegakan ‘ahad’ dan penempuhan
‘wahid’ itu disebut tauhid. Proses penyatuan. Menyatukan diri dengan Allah.
Proses penyatuan diri dengan Allah itu ditempuh melalui metode transdimensi:
status sosial, kedudukan budaya, bahkan pada akhirnya unsur biologis manusia
harus ditanggalkan, karena ia bersifat sangat relatif dan temporer.
“Barangsiapa mendambakan kesatuan dengan-Ku,
hendaklah ia berbuat baik….”, dalam pergaulan sehari-hari, melalui lembaga,
partai, birokrasi dan apapun, meski dalam bentuk yang seolah-olah ‘non-agama’.
Artinya, pertemuan dengan Allah tidak dalam keadaan biologis dan budayawi,
melainkan ketika kita telah menjadi cahaya rohani, yakni telah menjadi inti
perbuatan baik itu sendiri.
Ibadah shalat, puasa dan haji, juga
landasan syahadat — kesadaran dan ikrar eksistensi manusia — adalah juga metode
pengatmosfiran diri menuju kesadaran ‘ahad’ dan ‘keberadaan’ ‘wahid’. Namun
peristiwa haji adalah kemewahan, adalah puncak dari segala kemungkinan semacam
itu.
Dengan itu semua saya membayangkan bahwa
menjalankan ibadah haji adalah kesempatan ‘mencicipi’ peristiwa pencintaan
langsung dengan Allah, melalui sejumlah tahapan sublimasi, kristalisasi dan
universalisasi dan esensialisasi diri.
Bermilyar-milyar kekasih Allah adalah
penari-penari dan Allah adalah pusat tarian agung di mana Ia berkata — “Kalian
kekasihku, semua kalian kekasihku, mendekatlah, mendekatlah kemari,
berkerumunlah di seputarku. Akan kutaburi wajah kalian dengan cahaya sehingga
seluruh keberadaan kalian akan bergelimang cahayaku. Dan nanti akan kubukakan
wajahku, agar kalian melihat betapa indahnya Aku….”
Dengan demikian mestinya haji adalah
produk dari proses kualifikasi diri seeorang muslim yang ditempuh melalui
rutinitas intens peribadatan-peribadatan yang lain, seperti shalat, zakat,
puasa, dan — tentu saja — pada mulanya ikrar syahadatain.
Syahadat memfokuskan diafragma idealisme
hidup. Shalat mencahayai kejernihan. Obyektivitas akal, keseimbangan mental,
ketulusan hati dan ketenteraman jiwa. Zakat melatih kesadaran bahwa “susu
kambing harus diperah untuk anak-anaknya atau makhluk lain”, karena dalam harta
yang kita miliki terdapat milik orang lain. Puasa membuat manusia jadi pendekar
kehidupan. Dan haji adalah madu dari semuanya.
Madu bukan makanan bukan minuman: di
antara keduanya. Haji pun adalah titik sublim dari seluruh proses peribadatan
dan tradisi baik manusia. Maka apakah haji seseorang mabrur atau tidak, jawaban
pastinya ada di tangan Allah, karena dia yang punya otoritas tunggal untuk
menerima atau menolak.
Tapi gejala kemabruran haji seseorang,
bayangannya, pantulannya, barangkali bisa dijumpai pada output sosial seorang
haji. Pertanyaan itu sederhana: apakah sesudah haji, ia adalah madu bagi
tetangga-tetangganya, bagi orang lain, bagi masyarakat, bangsa dan negara?
‘Menjadi madu’ itu punya kemanfaatan
sosial, produktif dan kreatif bagi kemaslahatan umum. Dalam hal ini saya tidak
bersedia ‘ngrasani’ tentang kualitas madu haji-haji kita. Kaum haji adalah
tingkat manusia yang semestinya paling pandai bercermin diri.
HAJI DAN KESUSAHAN
Tetapi dengan perspektif itu kita
masing-masing bisa kembali mengevaluasi. Misalnya seberapa jauh atau seberapa
dalam pengalaman haji seorang merupakan peristiwa agama. Dan seberapa jauh ia
‘hanya’ merupakan peristiwa sosial.
Kalau seorang ‘gugup’ menaruh gelar haji
di depan namanya, ia semata-mata kasus sosial, bukan kasus agama. Apalagi kalau
berhaji diinstrumentalisasikan untuk kepentingan politik pribadi, untuk
aksesoris kultural, atau untuk menambah ‘peci’ reputasi.
Kita yang naik haji dengan fasilitas
mewah, tentu identitas dan ragam pengalaman batin kita akan kalah dengan
dibanding nenek moyang kita yang berhaji berbulan-bulan dengan kapal.
‘Penderitaan’ dalam perjalanan haji secara psikologis bias merupakan ‘asset’
dari kualitas penghayatan ibadah haji, meskipun agama tidak menganjurkan agar
Anda hidup untuk mencari penderitaan.
Tetapi saya tidak tahu apakah kalau
penderitaan para jamaah haji itu ‘disengaja’ oleh berbagai keputusan birokrasi
resmi perjalanan haji — dari standar harganya yang makin tidak meringankan
hingga jenis-jenis korupsi kecil-kecilan yang besar yang lain — akan membuat
para birokrat kita memperoleh pahala. Hanya karena tindakan mereka bisa
memungkinkan intensifikasi penghayatan kehajian para jamaah.
Tetapi saya memang pernah mendengar isi
pidato birokrat haji: “Kalau saudara-saudara mengalami kesusahan-kesusahan
selama proses akan naik haji, ambillah hikmahnya, karena di Tanah Suci nanti
akan ada kesulitan yang lebih besar dan serius….”
HAJI DAN KIAI
Kadar peristiwa haji sebagai pengalaman
agama dan pengalaman sosial biasa, mungkin bisa kita cari indikatornya juga
dari makna sosiologi haji dengan kiai.
Ada ratusan ribu haji dan kita bisa
‘melupakannya’, sementara ada tidak banyak kiai namun kita tak bisa
melupakannya. Secara kultural kiai lebih ‘berwibawa’ dan lebih menjanjikan
kualitas hidup dibanding haji. Padahal haji adalah produk agama, sementara kiai
adalah produk masyarakat.
Kalau seseorang disebut haji, itu hanya
menginformasikan bahwa ia pernah melakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Tapi
kalau seseorang disebut kiai, ada berbagai dimensi yang dikandungnya:
kesalehan, kepandaian, kealiman, kepribadian, dan mungkin juga kepemimpinan
atau kapasitas-kapasitas fungsi dan reputasi sosial tertentu, yang mungkin sama
sekali tak terasosiasikan ketika seseorang disebut haji.
Kenapa secara sosiologis haji ‘kalah
wibawa’ dibanding kiai? Kenapa syarat dan konvensi keulamaan seseorang lebih
diwakili idiom kiai dibanding haji? Kalau disebut H. Bur, tak begitu terdengar
di telinga. Tapi kalau ditambah menjadi KH. Bur, baru orang mendongak. Kenapa?
Mungkin karena pada umumnya pengalaman
haji berposisi diskontinyu dan mungkin irrelevan dengan tahapan-tahapan
peningkatan kualitas kepribadian seseorang melalui proses Islamisasi diri dalam
kehidupan nyata. Mungkin.
*) Penulis adalah alumni SMA Muhammadiyah
1 Yogyakarta
Sumber:
facebook.com/pages/Emha-Ainun-Nadjib
0 comments:
Post a Comment