Muhammadiyah dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan
Monday, October 14, 2013
0
comments
Oleh : Dahnil A Simanjuntak
Laporan keuangan Muhammadiyah “agak”
rapi. Demikian salah satu pernyataan Ketua PP. Muhammadiyah Buya Syafii ketika
menyampaikan pidato iftitahnya pada pembukaan muktamar Muhammadiyah di Malang.
Dengan penuh kesadaran, kata yang diucapkan Buya penuh dengan sindiran, seharus
mampu menjadi pecutan keras bagi Muhammadiyah dan seluruh Ortom maupun amal
uasahanya dalam pengelolaan keuangan. Namun, ternyata tidak. Kelemahan Muhammadiyah
serta ortom maupun amal usahanya semakin menjadi-jadi. Semakin besar dana yang
dikelola, makin rendah pula akuntabilitas keuangan yang disajikan.
Hampir dipelbagai tingkatan pimpinan
mulai dari pusat hingga ke ranting baik itu Muhammadiyah maupun Ortomnya, akan
kita temui kelemahan dalam pengelolaan dan sistem pertanggungjawaban keuangan
di tubuh Persyarikatan. Apabila wacana ini kita gulirkan ditengah-tengah forum
Muscab, Musda, Muswil maupun Muktamar, maka akan ditemui jawaban yang nyaris
kompak. “ yah…idealnya kita memiliki laporan keuangan yang rapi dan sesuai
dengan standar, tapi sudahlah. Kita ini mengelola dan berjuang di Muhammadiyah
penuh dengan semangat keikhlasan, ndak usah meributkan hal-hal sepele seperti
itu”. Kira-kira begitu jawaban yang sering terlontar ketika wacana ini
digulirkan. Semakin keras kita berusaha mendorong akuntabilitas keuangan di
Muhammadiyah, makin keras pula kelompok atau orang yang melakukan hal itu
disingkirkan dalam ber-Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas) yang seluruh kebutuhan dananya berasal dari sumbangan atau partisipasi
publik (umat), maupun lembaga-lembaga donor yang memberikan kepercayaan kepada
Muhammadiyah untuk mengerjakan sebuah program. Berarti Muhammadiyah menggunakan
dan mengelola keuangan yang berasal dari Publik (umat) atau Lembaga Donor, maka
Muhammadiyah bertanggungjawab penuh memberikan laporan tertulis melalui
instrumen Laporan Keuangan kepada Publik, dengan benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Bukan tidak sadar akan pentingnya
Akuntabiltas Keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban. Namun, lebih dari
sekedar “ketakutan” karena ada sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan
keuangan yang dilakukan. Dan apabila dibuat pelaporan keuangan dalam bentuk
laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku, maka akan
mudahlah ditemui ketidakberesan tersebut. Perang terhadap penyelewengan
keuangan (korupsi) jangan hanya menjadi retotrika, yang memuakan. Yang ternyata
dirumah sendiri geliat menuju praktek yang sama ditoleransi untuk tumbuh dan
menjamur. Namun, harus dilakukan melalui pembenahan terhadap
instrumen-instrumen yang mampu membentengi munculnya praktek tersebut di dalam
rumah sendiri. Apabila Muhammadiyah dan Ortom tidak memulai membenahinya, maka
akan mudah disimpulkan bahwa tempat yang paling aman melakukan korupsi adalah “
Muhammadiyah” karena tidak ada instrumen yang dapat digunakan dan mampu
mengukur kinerja pengelolaan keuangan di organisasi yang “mengaku modern ini”.
Prilaku yang tidak mengedepankan sistem pertanggungjawaban merupakan
manifestasi dari perlawanan terhadap kandungan Surat Al-Baqarah Ayat 282, yang
justru mengandung ajaran perubahan peradaban, dari peradaban Jahiliyah
Economics yang tidak memiliki sistem dan instrumen pertanggungjawaban yang
lengkap dengan bukti material (material evidence) dan non-material (unmaterial
evidence) yang akhirnya cenderung menipu, menuju Accoauntability Economics.
Sistem kehidupan ekonomi yang sarat dengan pertanggungjawaban yang akuntabel
dan acceptable
Saya menulis artikel ini bukan tanpa
dasar. Ketika saya memulai kerja bersama teman-teman Tim Verifikasi untuk
Muktamar Pemuda Muhammadiyah Ke-13 yang akan dilaksanakan pada bulan Juli
mendatang di Samarinda. Saya menemui berbagai kejanggalan dan keterbatasan dari
system akuntabilitas pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh PP. Pemuda
Muhamadiyah. Bahkan yang lucunya, bendahara yang bertanggung jawab terhadap
konstruksi sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan mengaku tidak
mampu menyajikan Laporan Keuangan sesuai dengan standar, dengan berbagai dalih.
Padahal dana yang dikelola tidak sedikit. Sudah mencapai angka sembilan digit,
alias milyaran. Dan hal tersebut tidak hanya ditemukan dalam tubuh PP. Pemuda
Muhammadiyah saja, hanya sekedar contoh. Banyak Pimpinanan Wilayah, Daerah
hingga Cabang bahkan Pimpinan Pusat ditemui kasus-kasus serupa. Banyak
program-program kerjasama yang juga memiliki nasib yang sama, tidak jelas
sistem pertanggungjawabannya.
Kemampuan dan kesadaran menyajikan
pertanggungjawaban keuangan yang baik akan menjadi ”Push Factor” bagi
Muhammadiyah untuk menunjukkan bahwa Organisasi keagamaan ini “pantas” menjadi
kepercayaan publik (umat) sebagai organisasi keagamaan yang mampu memberikan
pelayanan dakwah dan sosial secara maksimal kepada publik (umat), hingga tidak
ada keraguan bagi indivudu atau lembaga donor untuk mempercayakan dananya untuk
digunakan dan dimamfaatkan oleh Muhammadiayah. Karena pastilah untuk
kepentingan publik (umat), terrefleksi melalui sistem pertanggungjawaban yang
transparan dan akuntabel. Dan Muhammadiyah tidak perlu kikuk dengan instrumen
ekonomi modern seperti Akuntansi yang mampu menyajikan pertanggungjawaban
keuangan tersebut.
Di sini letak urgensi Lembaga Pemeriksaan
dan Pengelolaan Keuangan (LPPK) Muhammadiyah untuk melakukan tugasnya mendorong
perubahan “tradisi buruk jahiliyah Economics” di tubuh Persyarikatan dan
Ortomnya. Menjadi “Accoauntability Economic”. LPPK Muhammadiyah di tingkat
pusat harus mampu membangun formulasi sistem Pelaporan Akuntansi yang merujuk
pada PSAK Nomor 45 tentang Laporan Keuangan Yayasan dan Organisasi Nirlaba.,
dengan modifikasi sesuai karakter transaksi di Muhammadiyah yang tidak
melanggar kelaziman, yang kemudian disosialisasikan keseluruh tingkat pimpinan
persyarikatan dan Ortom. Hingga tidak ada alasan lagi Muhammadiyah lemah dalam
sistem pelaporan keuangan, kecuali memang ada yang tidak beres.
Sumber: dahnilonomic.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment