Pengetahuan Generasi Al-Fatih
Thursday, October 24, 2013
0
comments
Dua puluh dua hari Murad II
mengepung Konstantinopel dari arah barat, namun benteng paling kokoh di
zamannya selalu melumpuhkan para penantang, sebagaimana ia telah melumpuhkan
pasukan muslim selama delapan abad. Namun mimpinya tidak mati, ia inspirasikan
ke anaknya Muhammad II hingga mengalir di jiwa dan darahnya lalu menjadi tujuan
hidupnya.
Tulisan ini bukanlah kisah
pertarungan bukan juga pertempuran, tapi cerita tentang pikiran besar dibalik
penaklukan yang kata kuncinya adalah kurikulum Murad II. Maka cerita ini
dimulai dari pengisian bahan-bahan pikiran.
Murad II memulai dari
ibukota ‘Ustmaniyyah, Edirne. Ia desainkan konsep masjid dan institusi
pendidikan terbaik, masjid untuk pendidikan dan institusi pendidikan yang
berspirit masjid. Tidak hanya untuk Muhammad II tapi juga untuk pemuda
se-generasinya, karena kebangkitan tak ditopang seorang pahlawan tunggal, tapi
sebuah generasi berpengetahuan.
Kendala umum anak-anak
lingkungan borjuis adalah keangkuhan, termasuk anaknya sendiri. Karena
kelimpahan fasilitas, kekuasaan keluarga, dan posisi kepemimpinan yang pasti di
tangan adalah racun yang melemahkan sendi-sendi motivasi belajar. Murad II
menyelesaikan kendala ini sebelum fase belajar Muhammad II dimulai. Ahmad bin
Ismail al-Kurani adalah guru pertamanya “Aku dikirim ayahmu untuk pendidikanmu,
bahkan jika diperlukan pukulan-pun aku keluarkan kalau kamu gemar membangkang”.
Muhammad II kecil tertawa mendengar gurunya, hingga Sang Guru benar-benar
memukulnya. Pukulan itu yang meruntuhkan tameng kewibawaan mental istana,
hingga Muhammad II mulai memahami makna menjadi orang biasa, bukan anak raja.
Rombongan ulama besar yang
tinggal di sana dikerahkan seluruhnya untuk misi besar penyiapan generasi ini.
Seperti murid-murid Syaikh Tiftazani dan Sayyid Syarif Jurjani yang
buku-bukunya sekarang dipelajari di Universitas Islam sedunia, bahkan ‘Alauddin
at-Thusi langsung mengajar di sana. Tapi mereka tidak diminta mendatangi
Muhammad karena ia yang harus berlelah datangi pintu guru-guru itu setiap hari
bersama anak-anak jelata lain.
Pendidikan masa kecil itulah
cetakan awal karakter Muhammad II yaitu mental seorang ilmuan. Para pakar itu
tidak tersaji di halaman istana yang hijau tapi dicari dan didatangi walau di
tanah tertandus. Gairah belajar lebih penting dari pada konten pengetahuannya
sendiri karena ia yang menjamin kontinuitas. Dan ini keberhasilan didikan
Al-Kurani. Sehingga Al-Quran dihafalnya cepat sebelum delapan tahun, lalu
ilmu-ilmu syari’at dilahapnya setelah itu.
Bahasa pengantar yang
diajarkan pada Muhammad II ada tujuh yaitu: Arab, Turki, Persia, Yunani,
Serbia, Italia, dan Latin. Ketujuh bahasa ini ia selesaikan di usia remaja.
Maka akses Muhammad II untuk mengkaji semesta ini tidak dibatasi cakrawala
budayanya [Turki]. Bahkan zaman Murad II ini dikenal dengan masa emas
terjemahan referensi-referensi besar Islam ke dalam bahasa Turki seperti Tafsir
dan Tarikh Thabari, Tafsir dan Tarikh Ibnu Katsir, referensi-referensi Fiqih,
Hadits, kedokteran, kimia untuk dikonsumsi generasi se-zamannya dan setelahnya.
Tapi keistimewaan tersebut
bukan pada kuantitas penguasaan bahasa, karena ia hanyalah tools pembuka
pengetahuan, tapi ketepatan sasaran dalam penggunaan. Maka ilmu ketiga dalam
kurikulum Murad II untuk dipelajari Muhammad II kecil setelah Qur’an dan
Islamologi adalah sejarah. Ia fokus mengkaji kaidah-kaidah kemenangan dan
sebab-sebab kekalahan dalam jejak perjalanan umat-umat terdahulu. Lalu
Matematika, Geografi dan Astronomi. Perangkat ilmu ini membuatnya rasionalis
dan berfikir strategis, berpandangan global dalam perencanaan tapi detail dalam
pelaksanaan.
Kemampuan ini saja sudah
membuatnya unggul di antara generasi muda sezamannya, namun Murad II memberi
anaknya perangkat lain, yaitu sastra. Tak sembarangan, seorang guru besar, Ibnu
Tamjid, seorang penyair Arab dan Persia, juga Syaikh Khairuddin dan Sirajuddin
al-Halabi. Kapasitas sastra berfungsi menghidupkan pikiran-pikiran
imajinatifnya. Bahkan lebih dari itu, Muhammad II memang seorang penyair.
Tibalah bagi Murad II untuk
menguji kapasitas pengetahuan Muhammad II. Di usianya yang ke 14, ia ditunjuk
menjadi gubernur Manisa. Siapa pun yang pernah mengunjunginya, akan mengakui
kapasitas kepemimpinan Muhammad II dalam mengelola kota, manajemen administratif,
membangun tentara, mendesain konsep sekolah, dan menghiasi kota dengan seni,
festival kebudayaan, dan pembangunan simbol-simbol kebanggaan sejarah.
Namun kesibukan politik
tidak mengakhiri petualangan pengetahuannya. Masjid Ibrahim Khaja adalah saksi
sejarah seorang pemimpin kota yang rela duduk merendah di jajaran para ulama
terbaik di zamannya, khususnya As-Syamsuddin, seorang ilmuan ensiklopedik
penemu konsep mikrobat dalam ilmu kedokteran. Di sinilah pengetahuan Muhammad
II mendaki puncaknya, karena landasan teoritis yang dikuasai sejak dulu bertemu
dengan ruang aplikasi untuk kemudian dievaluasi dalam majelis pengetahuan
masjid Ibrahim Khaja.
Semua perjalanan pengetahuan
ini adalah pengantar menuju penaklukan yang dirancang dengan sangat sistematis
oleh Murad II. Ia sendiri meninggal muda dan bahkan tidak pernah menyaksikan
anaknya mempersiapkan pasukan Ustmani menuju Konstantinopel. Tapi waktu
realisasi itu tidak lama. Muhammad II menggantikan menjadi sultan di Edirne
dalam usia 22 tahun dan hanya dalam waktu dua tahun ia melunasi hadits Nabi
yang selama 8 abad belum berhasil dituntaskan generasi-generasi kuat terdahulu,
baik generasi para penakluk daulah Umawiyyah atau generasi kemakmuran daulah
Abbasiyyah.
Generasi-generasi sebelum
Muhammad II al-Fatih mungkin sama kuat militernya, sama luas wilayah
kekuasaanya, sama melimpah aset manusia dan alamnya, dan sama menggebu obsesi
penaklukannya, tapi Murad II meretas jalan untuk mencetak generasi baru yang
belum pernah ada dalam sejarah Islam. Yaitu generasi yang berpengetahuan
tingkat tinggi dengan pemimpin terbaiknya. Pemimpin terbaik di zaman itu bukan
hanya petarung, atau manajer, atau sastrawan, atau ahli fiqih, atau panglima,
atau pemikir strategis, tapi pengetahuannya mencapai tingkat kepakaran nyaris
di semua bidang.
Maka mudah saja, memahami
semua kreasi strategi Muhammad Al-Fatih dalam proses penaklukan Konstantinopel,
yang belum pernah terfikirkan generasi sebelumnya, seperti pembuatan meriam
raksasa, mengangkat 70 perahu lewat darat sepanjang 3 mil, karena itu semua
produk pemikiran berbasis pengetahuan. Bahkan andai strategi-strategi teknis
itu gagal, generasi al-Fatih tidak akan kehabisan stok strategi dari gudang
pengetahuannya. Bagaimana tidak? Rasulullah sendiri yang mendeskrisipsikan
generasi penakluk itu “Konstantinopel benar-benar akan dibebaskan, pemimpin
terbaik adalah pemimpin yang membebaskannya dan pasukan terbaik adalah pasukan
yang bersamanya”. Dibalik setiap cerita kemenangan, selalu ada revolusi
pengetahuan. Dan Muhammad Al-Fatih beserta generasinya adalah model yang paling
sempurna untuk itu. (Edisi Lengkap Serial Pemuda bisa diakses di
www.elvandi.com)
Sumber:
http://www.dakwatuna.com
0 comments:
Post a Comment