Yang Terpuji, Yang Teruji
Monday, October 7, 2013
0
comments
“Aku ingin agar dia dipuji, di langit dan
di bumi.”
BEGITU ‘Abdul Muthalib berkata sembari
menimang sang bayi yang berwajah cahaya. Senyumnya bangga, rautnya gembira, air
mukanya renjana. Dengan teguh dijawabnya para tetua Quraisy yang tadi
menggugat, “Mengapa kauberi nama dia Muhammad; nama yang tak pernah digunakan
oleh para leluhur kita yang hebat?”
Dan Muhammad senantiasa terpuji, hingga
para pembencinya tak mampu mencaci. Ibn Ishaq meriwayatkan dalam Sirah-nya;
bahwa setelah turun Surah Al Lahab yang menyebut Ummu Jamil sebagai ‘wanita
pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut’, perempuan itupun
mencari-cari Kanjeng Nabi.
Di salah satu sudut Masjidil Haram,
diapun berjumpa Abu Bakr Ash Shiddiq. Maka segera dia menghardik, “Di mana
sahabatmu itu hai putra Abu Quhafah? Dia pikir hanya dia yang sanggup bersyair
hah? Sungguh akupun pandai menyusun sajak tuk membuatnya susah!” Lalu diapun
mulai mendaras gubahannya.
Mudzammam ‘si tercela’
kami abaikan
Agamanya kami benci bersangatan
Perintahnya kami tentang sekalian
Bakdanya, wanita keji yang hobi menabur
duri di laluan Baginda Nabi ini bersungut-sungut pergi. Maka Ash Shiddiq pun
menoleh dengan wajah pias-pias terkesima pada sosok yang ada di sebelahnya.
“Apakah dia tak melihat engkau Ya RasulaLlah? Dia datang dan menanyakanmu, lalu
mencaci maki seakan kau tak di sini; padahal di sisiku Paduka berdiri?”
Senyum tersungging di bibir mulia, lalu
lisan Al Mushthafa memekarkan sabda, “Allah mentabiri pandangannya dari diriku duhai Aba Bakr.” Abu Bakr
mengangguk, iman di dadanya kian berduduk, jiwa dan raganya sempurna tunduk.
“Tidakkah kau perhatikan bagaimana Allah
menjaga diri dan namaku hai Aba Bakr?”, ujar Sang Nabi dengan renyah, “Mereka
menghina dan menista Mudzammam, padahal aku adalah Muhammad.”
Betapa dahsyat nama Muhammad. Hingga yang
hendak menjelekkannya pun tak bisa tidak harus memuji jika menyebut asmanya.
Atau jika membalik namanya dari Muhammad ‘si terpuji’ pada Mudzammam ‘si
tercela’, menjadi salah-sasaranlah cercaannya.
Tetapi orang terpuji tidaklah terlepas
dari uji. Maka Al Amin, yang tepercaya, yang menjunjung kejujuran sebagai
permata hidupnya akan terhenyak ketika pada suatu hari dia digrambyang, “Dusta
kau hai Muhammad!”
Mari bayangkan 40 tahun hidup yang bersih
tanpa cacat; semua orang berkata padanya, “Benarlah kau duhai Muhammad! Janjimu
tepat! Kau tunaikan amanat!” Lalu ketika kebenaran samawi bahwa tiada Ilah
selain Rabb mereka dipikulkan ke pundaknya, tiba-tiba semua berkata, “Engkau
dusta!”
Semua kan diuji atas hal yang paling
dijunjung tinggi hati. Ibrahim pada cintanya hingga penyembelihan putra, Maryam
pada kesuciannya hingga hamil tanpa sentuhan pria, Muhammad pada kejujurannya
hingga dituduh berdusta. Shalawat bagi mereka yang telah lulus sempurna.
Bagaimana dengan kita?
sepenuh cinta
Salim A. Fillah, @Salimafillah
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment