Haruskah Kita Memilih? Agar Pemilu Tak Jadi Pilu
Sunday, April 6, 2014
0
comments
Kemarin
ribuan teman kita non muslim berbondong2 ke Kedutaan di London memberikan suara
u wakil pilihan mereka. Bayangkan jika kita diam karena kecewa jd GOLPUT.Maka
wakil2 merekalah yg akan memimpin. ini nyata bukan asumsi. (Syafii Antonio)
Tadi sempat mengunjungi akun FB salah satu ekonom dan dai favorit saya, Syafii Antonio. Agak
terkejut, karena dalam status FB yang merupakan tautan dari akun Twitter beliau
membahas tentang pemilu. Salah satu status beliau seperti saya kutipkan di awal
tulisan ini. Ustadz yang biasa membahas ekonomi Islam kali ini ber-twit tentang
pemilu.
Beberapa
kawan, jauh hari sebelum pemilu digelar telah mengungkapkan niatnya untuk
golput alias tidak memilih. Sebagian lagi berkisah akan tetap datang ke TPS
mencoblos surat suara tanpa membukanya. Tentu semua itu akumulasi dari
kekecewaan kepada wakil rakyat. Serta tak adanya perubahan signifikan dari
hasil pemilu. Lalu mengapa kita harus memilih?
Bagi
saya memilih adalah hak dan tidak memilih juga merupakan hak. Hanya saja
keduanya punya konsekuensi berbeda. Pernahkah melihat kalangan yang aktif di
komunitas Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) beramai-ramai mendukung
calon Gubernur tertentu? Mereka begitu kompak menyuarakan aspirasi mereka. Tentu
mereka juga akan semangat untuk memilih wakil sesuai yang mereka inginkan.
Hal
yang sama juga akan dilakukan saudara kita yang non-muslim. Mereka akan kompak
untuk memilih, dan pilihan mereka kebanyakan adalah seperti pilihan ketika
masih tiga partai. Tidak banyak berubah. Tak heran jika partai dengan
mengatasnamakan agama mereka justru tak lolos pada pemilu. Sebab mereka memang
tetap berkhidmat dengan partai ‘merah’.
Jika
kemudian umat Islam pasif dan tidak memilih, maka merekalah yang akan berkuasa.
Sebab saat ini cara ini (pemilu) merupakan pilihan perjuangan. Mau tidak mau,
sadar tidak sadar setiap WNI telah ‘tunduk’ kepada konstitusi yang digarap oleh
DPR. Uang, KTP, Surat Nikah, Akta Kelahiran dan banyak lagi adalah produk dari
pemerintah yang diatur konstitusi yang sulit kita nafikan.
Maka
memilih adalah pilihan. Memilih yang paling baik di antara yang buruk. Memilih yang
memberi lebih sedikit mudharat ketimbang yang banyak. Partai berbasis masa
Islam bisa menjadi alternatif, cermati rekam jejak mereka. Cermati kader-kader
mereka, sebab kader mencerminkan tokoh-tokoh mereka. Cermati caleg mereka,
ukuran gampangnya, apakah dia terbiasa shalat berjamaah di masjid atau tidak. Jika
tidak, tinggalkan saja.
9
April 2014 segera menjelang. Ibarat orang bertarung, sekarang di hadapan kita ada senjata bernama 'pemilu' apakah kita yang akan menggunakan atau musuh kita. Jika kelak ada pertarungan lain, bisa kita gunakan senjata berbeda. Sekarang bukan saatnya berdebat. Tentukan pilihan untuk tujuan kebaikan. Hilangkan fanatisme
golongan, suku, ras. Tetapkan satu ukuran: iman. Pilih yang seiman dan lihat
bagaimana akhlaknya. [esp]
0 comments:
Post a Comment