Kita Butuh Ahli Sejarah : Misteri Bank Indonesia
Tuesday, April 15, 2014
2
comments
Tidak
banyak yang mengetahui sejarah Bank Indonesia, apalagi mengetahui siapa pemilik
Bank Indonesia. Bank Indonesia bukan milik Negara Indonesia, apalagi milik
Rakyat Indonesia. Sejatinya Bank Indonesia itu milik IMF!
Karenanya
jangan berharap Negara Indonesia bisa mencetak uang sendiri. Danjangan harap
rakyat negeri ini bisa menikmati hidup layak. Hingga darah menetes habis dari
tubuh ke tanah, kesenjangan sosial dan pemiskinan tak akan pernah tuntas dari
negeri ini. Satu-satunya solusi adalah keluar dari IMF dan membuat uang
sendiri!
Bank
sentral, umumnya adalah perusahaan swasta yang diberi monopoli mencetak uang.
Bank Sentral Republik Indonesia, semula adalah Bank Nasional Indonesia 46 atau
BNI 46. BNI 46, didirikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Ir.
Soekarno. Namun dipaksa diganti menjadi Nedherland Volkskrediet (NV) DeJavasche
Bank.
Bank
NV DeJavasche adalah Bank milik penjajah Belanda. Atas dukungan internasional
(Yahudi Internasional) menolak dan membekukan BNI 46. Dan memaksa Negara Indonesia
mendirikan Bank Republik Indonesia (BRI), sebagai pengganti NV DeJavasche Bank
yang memiliki monopoli kebijakan keputusan hutang dan tunduk serta dibawah
naungan IMF.
Berikut
kronologi terbentuknya Bank Negara Indonesia atau BNI.
Saat
Indonesia merdeka, Soekarno-Hatta memutuskan untuk mendirikan bank sentral,
yaitu Bank Negara 1946. Terbitkan “Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). ORI terbit
dengan satuan 1 sen samapi Rp 100. Nilai setiap 2 rupiah dijamin dengan 1 gram
emas. UU no 19/1946.
Atas
berdirinya BNI, Pemerintah penjajah Belanda, dan bankir internasional lain,
menolak keberadaan Negara Republik Indonesia NKRI dan BNI 46, sekaligus juga
menolak ORI. Buntut dari ditolaknya Kemerdekaan RI, agresi militer, dilakukan
oleh Negara imperialis yaitu Amerika, Inggris, Perancis dan memberikan
boncengan Belanda masuk kembali ke Indonesia.
Akhirnya
Indonesia dipaksa lewat perundingan, Konferensi Meja Bundar 1949, Negara
Republik Indonesia akan diakui dengan beberapa syarat.
Pertama,
utang pemerintah hindia Belanda, harus diambilalih oleh RI muda. Nilainya 4
milar dolar AS. Saat proklamasi NKRI tidak memiliki utang sedikitpun. Kedua
dengan dalih agar bisa mengambil alih hutang pemerintah penjajah Belanda, BNI
46 harus dihentikan sebagai bank sentral. Ketiga mengganti BNI 46 dengan De
Javasche Bank (yg dulunya milik bankir-bankir kompeni dari keturunan Yahudi) ,
bank ini kemudian berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI).
Dengan
BNI 46 diganti NV DeJavasche Bank, ORI dihentikan, diganti dengan Uang Bank
Indonesia (UBI), sejak 1952. Begitu diakui, tahun 1949, rupiah dipatok sebesar
3.8 per dolar AS. Melorot ke Rp 11.4 per dolar pada 1952, saat ORI diganti
menjadi UBI. Saat itulah dimulainya penjajahan jenis baru di negeri ini.
Pada
1965, Presiden Soekarno, memutuskan keluar dari PBB, IMF dan Bank Dunia.
Perusahaan-perusahaan asing dinasionalisasi. Karena keberaniannya itu, tahun
1967 pemerintahan Soekarno diakhiri oleh konspirasi para bankir, penguasa dan
politisi internasional, termasuk Amerika Serikat dengan jalan “kudeta oleh
Soeharto”.
Pada
tahun 1967 pula, dimulai ‘pembangunan’ oleh Orde Baru, dengan modal dari IMF,
Bank Dunia, dan konsorsium bank lainnya. BI sebagai ‘dompetnya’. Konsensus ini
dilakukan di Negara Swiss, termasuk memberikan tambang emas Freeport di Irian
Barat, sekarang Papua pada Amerika.
Sejak
itu, dari tahun ke tahun, hutang Indonesia membengkak. Pada 2013, mendekati Rp
2000 triliun. 1999, BI dilepas dari Pemerintah RI, dan langsung di bawah
kendali IMF. Gubernur BI tidak lagi bagian dari Kabinet RI, tidak akuntable
kepada Pemerintah RI, apalagi kepada rakyat RI. Dibiayai bukan dari APBN.
Bank
sentral umumnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Detik ini orang
masih bertanya: mengapa pemerintah tidak mencetak uang sendiri?
Bank
sentral yang tidak langsung dimiliki swasta, “disembunyikan”, di balik
undang-undang, sebagai ‘bagian dari negara’. Tapi independen 100 persen.
BI
Milik siapa? Jadi misteri. Kalau milik negara, mestinya berupa BUMN, masuk
APBN, akuntable terhadap rakyat. Meski tidak mengeluarkan saham, BI,
mengeluarkan ‘Sertifikat BI’, yang tentu saja dimiliki bank komersial. Sekitar
50 persen, sertifikat BI sekarang milik asing.
Semantara
itu, tugas pokok BI, untuk menjaga nilai rupiah tidak pernah bisa dilakukan. Nilai
rupiah sudah hancur lebur, hilang 99 persen nilainya.
Janji
bahwa nilai Rp 2 rupiah = 1 gram emas yang dicanangkan Presiden Soekarno para
imperialis, kapitalis internasional dan antek-anteknya. Hari ini 1 gram emas
setara dengan Rp 520.000. Rakyat RI mengalami 250 ribu kali pemiskinan.
Untuk
nutupi kegagalan itu, BI, seperti bankir di manapun, akan melakukan
redenominasi. Hari ini redenominasi sudah di mulai. Targetnya, memasuki tahun
2014, akan ada uang baru dengan nulai baru yang lebih memiskinkan rakyat,
bangsa dan negeri ini dalam kubangan kemiskinan yang semakin parah.
Bagaimana
dengan Bank Sentral negara lain?
Marilah
kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS,
yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ni
dimiliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%).
Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%),
Morgan Guaranty Trust (9%) , Manufacturers Hannover (7%), dsb. Sampai pada tahun
1983 sebanyak 66% dari total saham Federal Reserve AS ini, setara dengan
7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh
17 bank lainnya.
Bahkan,
kalau dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS dimilik
hanya oleh lima besar yang disebutkan di atas. Bahkan, kalau diperhatikan
benar, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang
menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah
pengaruh bank-bank yang secara langsung dikontrol oleh ‘London Connection’,
yaitu, Bank of England, yang dikuasai oleh keluarga Rothschild.
Sama
halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain, namanya berbau
nasionalis, tapi pemilikannya adalah privat. Bank of England, sudah disebutkan
sebelumnya, bukan milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825
sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild.
Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi setelah mereka mem-bail out utang
negara saat terjadi krisis di Inggris. Deutsche Bundesbank bukanlah milik
rakyat Jerman tapi dikuasai oleh keluarga Siemens dan Ludwig Bumberger.
Hong
Kong and Shanghai Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest
Cassel. Sama halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt
didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum Muslim Maroko
atau Mesir. Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan
dikendalikan oleh Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis. Demikian
seterusnya.
Jadi,
‘Bank-bank Nasional’ seperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan
inter-nasional, modal ‘antar-bangsa’ yang secara riel tidak ada dalam bentuk
aset nyata (specie) apa pun, kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas
kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini
sebagian besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan
di atas.
Utang-utang
yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat
negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang
mengatasnamakan warga negara. Mereka, para bankir ini, adalah orang-orang yang
tidak dipilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi
mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. Dan, setiap kali mereka
menciptakan kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte
komputer belaka.
Nasehat
saya, rakyat sebaiknya bertindak sendiri, jaga harta, amankan daya beli.
Tinggalkan uang kertas, gunakan Dinar emas dan Dirham perak.
Diriwayatkan oleh Zaim Saidi, dari
wakalanusantara.com dan siaga.co, facebook.com
2 comments:
Mohon berhati-hati menulis informasi. Informasi yang tidak kredibel, lalu dianalisis tanpa ilmu yang memadai justru kontraproduktif dengan tujuan dakwah itu sendiri. Masyarakat yang paham, mengerti mekanisme Bank Indonesia bekerja, bahkan yang terlibat langsung di dalamnya bisa menganggap 'informasi' ini sekedar wacana tanpa ilmu.
Wallohua'lam
terima kasih masukannya. kami memang tidak memiliki ilmu memadai tentang dunia perbankan. sumber tulisan sy sertakan di atas. silakan bagi ya punya koreksi bisa menuliskan di komentar atau via email.
Post a Comment