Elegi Muslim Minoritas : Kematian Sepasang Suami Istri
Monday, May 12, 2014
0
comments
Malam
ahad, (11/5/2014) ketika asyik bersantap malam tiba-tiba handphone bergetar. Saya
lihat ada panggilan masuk dari seorang relawan Gerakan Dana Ta’awun (GDT) PCPM
Minggir, Didin. Dia menceritakan butuh ambulan untuk mengangkut jenazah. Lalu ia
bercerita tentang kematian sepasang suami istri yang hampir bersamaan. Sehingga
butuh dua ambulan. Sebab kematian pastinya saya tidak tahu, hanya menjadi
begitu heroik karena keduanya adalah mualaf dan tinggal di wilayah mayoritas
Katolik. Butuh ambulan karena memang biasanya sedikit yang mau mengantar
jenazah ke makam apalagi ini dua orang.
Iringan ambulan yang membawa Jenazah Suami-Istri |
Saya
mencoba menghubungi temen-temen Laskar Sedekah, tapi saat itu ambulan mereka
sedang digunakan. Akhirnya saya menyampaikan ke Didin, jika terpaksanya tidak
ada ambulan gratis, bisa diusahakan meminjam ambulan yang ada dan biaya akan
ditanggung oleh GDT PCPM Minggir. Sampai pemakaman siang tadi. Belum ada
laporan lebih lanjut dari Didin.
Kisah
ini nyata dan tidak jauh dari kita. Tidak perlu ke Papua atau NTT. Ini ada di
tanah Jawa. Cerita semacam ini tak langka. Jika Anda pernah mendengar metode
kristenisasi dengan pola ‘makan bubur’ tentu akan paham bahwa daerah pinggiran
menjadi target jitu. Sleman bagian barat, meliputi daerah bantaran sungai Progo
merupakan lahan subur bagi para ‘Penggembala Domba’. Kristenisasi pernah
berjaya di sana. Tidak heran jika terkadang, bila ada muslim yang meninggal di
daerah minoritas harus mendapat pilihan pahit: urus sendiri jenazah dengan cara
muslim atau kami kuburkan dengan cara non-muslim. Jika di kampung itu tidak ada
yang bisa dengan cara muslim, maka relalah mengikuti cara mereka. Apalagi jika
yang meninggal adalah mulaf, tentu akan semakin rumit ceritanya.
Beruntung
ada sebagian yang masih peduli, beberapa Ustadz yang konsen dalam hal pembinaan
mualaf telah mengikhlaskan waktu untuk mengurusi kebutuhan ini. Jika ada muslim
yang meninggal, maka merekalah yang mengurusi. Dari proses memandikan,
menshalatkan, mencari tempat pemakaman hingga selesai pemakaman. Menjadi mualaf
memang tidak mudah, seringkali kita begitu bahagian melihat saudara yang masuk
Islam, tetapi kemudian membiarkan mereka dalam ketidakberdayaan baik secara
ekonomi maupun sosial. Mereka dikucilkan dari komunitas lama, sedang kaum
muslim masih enggan merangkul mereka. Jadilah mereka serba salah. Dalam beberapa
kisah, kemudian mereka kembali ke agama lama.
Beberapa
tahun lalu, PCPM Minggir merintis Forum Kajian Sabilul Muhtadin (FKSM) yang
bermaksud mengakomodasi para mualaf di Yogya Barat dan Kulon Progo. Kajian itu
sampai kini tetap berlanjut bekerjasama dengan Yayasan Arrohmah, Yaumu dan
lembaga lainnya. [esp]
0 comments:
Post a Comment