Infiltrasi “Sekularisme” dalam Kurikulum 2013
Tuesday, September 16, 2014
0
comments
Oleh:
Dr. Adian Husaini
Dalam
bukunya, Islam and Secularism (terbit pertama tahun 1978), pakar pemikiran
Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebut tiga komponen proses
sekularisasi dalam pemikiran manusia, yaitu: (1) disenchantment of nature
(pengosongan alam dari semua makna spiritual); (2) desacralization of politics
(desakralisasi politik); dan (3) deconsecration of values (pengosongan
nilai-nilai agama dari kehidupan).
Sementara
itu, pemikir Kristen Harvey Cox, dalam buku terkenalnya, The Secular City,
menyebutkan definisi sekularisasi adalah: “pembebasan manusia dari asuhan agama
dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini.
(Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical
tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this
one).
Menyimak
kedua definisi itu, pada intinya, sekularisasi adalah proses pengosongan
pemikiran manusia dari nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai agama. Dengan
makna seperi itu, sekularisasi jelas bertentangan dengan tujuan Pendidikan
Nasional Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam
UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga disebutkan tentang tujuan
Pendidikan Tinggi di Indonesia, yaitu: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa dan
berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten,
dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Itulah
tujuan Pendidikan Nasional. Maka, tidak aneh dan sudah sepatutnya, jika
Kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi inti pada penghayatan dan
pengamalan ajaran agama para murid sekolah/universitas. Kita perlu memberikan
apresiasi positif terhadap niat pemerintah dalam menyusun Kurikulum 2013,
karena menempatkan agama sebagai hal yang penting dalam dunia pendidikan
nasional.
Hanya
saja, setelah mencermati sejumlah buku ajar dari Kurikulum 2013 yang digunakan
di berbagai sekolah, kita menemukan masih dominannya pengajaran paham
sekularisme, yang secara terang-terangan membuang ajaran Islam dan
mempromosikan paham-paham materialisme, positivisme, relativisme, dan pluralisme.
Bahkan, secara tegas dan sistematis, ada buku ajar yang menyingkirkan Islam dan
ajaran-ajarannya.
Sebagai
contoh, dalam buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk
SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013), disebutkan, bahwa kompetensi inti pelajaran
ini adalah: “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.” Sedangkan
kompetensi dasarnya adalah: “Menghargai perilaku beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME dan berakhlak mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat.”
Anehnya,
buku ini dibuka dengan bab “Sejarah Perumusan Pancasila” yang menyebutkan,
bahwa nilai-nilai Pancasila sudah dirumuskan jauh sebelum dimulainya Zaman
Sriwijaya/Majapahit, zaman Penjajahan Barat, zaman Jepang, hingga zaman
Kemerdekaan. Sama sekali buku ini tidak menyebutkan adanya unsur Islam dalam
perumusan Pancasila. Padahal, jelas sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata
‘Allah’ yang merupakan nama Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci
Islam juga menjadi bagian dari Pancasila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’,
‘hikmah’, dan ‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah
Nusantara sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para
ulama dari kawasan Jazirah Arab.
Disebutkan
juga dalam buku ini kisah tentang dihapuskannya tujuh kata dari sila pertama
Pancasila, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Hanya saja, buku ini tidak menyebutkan tentang adanya
kesepakatan antara Bung Hatta dengan tokoh-tokoh Islam ketika itu, bahwa makna
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “Tauhid” dalam pengertian Islam.
Guru
besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya,
Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa
yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi
(akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan
Allah” atau “Kedaulatan Allah”. (hal. 31). “Negara RI, wajib menjalankan
syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat
Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan
perantaraan kekuasaan Negara.” (hal. 34).
Argumentasi
Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekedar
pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan belum memenuhi konsep
Tauhid yang sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi
dalam al-Quran, Iblis disebut kafir (abaa wastakbara wa-kaana minal kaafirin).
Seorang Muslim yang baik tentulah tidak mau jika statusnya sama dengan Iblis,
yakni hanya mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tetapi membangkang terhadap
aturan-aturan Allah Subhanahu Wata’ala.
Pemahaman
sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep Tauhid ditegaskan dalam Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16
Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan, diantaranya:
(1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia
menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang
lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (2) Bagi
Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.(3) Penerimaan dan pengamalan
Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan
syariat agamanya. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila
Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan
Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Dalam
ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan
Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan
Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan
yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara
Preambul dengan materi undang-undang.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam
Jakarta 22 Juni 1945, hal. 224).
Jadi,
bisa disimpulkan, buku Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tersebut
jelas-jelas telah berusaha menjauhkan murid-murid Muslim dari agamanya, karena
Pancasila hanya dipahami dalam perspektif sekular yang dijauhkan dari nilai
keislaman. Materi ajar seperti ini pada ujungnya akan mempertentangkan antara
Islam dan Pancasila, sebab Pancasila ditempatkan sebagai satu pandangan hidup
dan pedoman amal tersendiri, yang ditempatkan sebagai tandingan bagi pandangan
hidup Islam. Akhirnya anak didik diarahkan menjadi sekular; didorong untuk
membuang ajaran agamanya ketika menerima pelajaran Pancasila dan
kewarganegaraan. Minimal, anak didik dipaksa bersikap mendua atau munafik;
pura-pura menerima ajaran Pancasila yang sekular, sementara ia pun harus
menerima pandangan hidup Islam.
Contoh
lain dari buku ajar yang mendorong anak didik menjadi sekuler bisa dilihat
dalam buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X”, yang juga
berdasarkan Kurikulum 2013. Buku ini terbitan sebuah penerbitan terkenal. Pada
Bab II, tentang Asal-usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia, disebutkan bahwa
Karakter yang dikembangkan dalam pembahasan ini adalah: “Mensyukuri kebesaran
Pencipta dan bertakwa kepada-Nya. Mempelajari secara ilmiah terjadinya alam
semesta mengarahkan siswa untuk sadar bahwa di balik segala peristiwa sejarah,
Tuhan memiliki maksud dan tujuan yang mulia untuk kita, dan karena itu
mendorong kita untuk berserah hanya kepada-Nya.”
Jadi,
karakter yang dituju dalam buku ini sangat baik. Akan tetapi, anehnya, dalam
pembahasan tentang sejarah manusia Indonesia tersebut, tidak ada sama sekali
rujukan wahyu Allah. Semua pembahasan hanya berlandaskan empirisisme dan
rasionalisme. Jelas, di benak penulis buku ajar ini, ayat-ayat al-Quran yang
menjelaskan tentang penciptaan alam semesta dan sejarah penciptaan manusia dan
juga asal-usul manusia, tidak dianggap sebagai sumber ilmu, sehingga tidak
dimasukkan ke dalam kategori “ilmiah”.
Di
halaman 77, 92, dan 93 ditampilkan lukisan nenek moyang bangsa Indonesia yang
memperlihatkan sebuah keluarga homo erectus yang – katanya – berumur sekitar
900 tahun yang lalu, dimana mereka dilukiskan sebagai manusia purba yang
mulutnya monyong dan bertelanjang bulat. Pada bagian rangkuman (hal. 81)
dikutip pendapat Charles Darwin (1809-1882) yang menyatakan, bahwa: “Manusia
sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang
berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.”
Dikatakan
dalam buku ini, bahwa pendekatan agama dan pendekatan sains (ilmu pengetahuan)
dalam upaya memahami realitas alam semesta adalah berbeda. “Agama berada dalam
tingkat eksistensial dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains
berada dalam tingkat faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama
dan sains memiliki otonomi masing-masing. Itu tidak berarti keyakinan keagamaan
tidak rasional. Perasaan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tetap dapat
dijelaskan secara rasional. Singkatnya, agama dan sains (ilmu pengetahuan)
tidak perlu dicampuradukkan.” (hal. 81).
Cara
pandang terhadap agama dan sains semacam itu jelas-jelas bersifat sekular. Itu
jelas keliru. Cara berpikir semacam ini juga merupakan dogma yang diyakini oleh
ilmuwan sekular. Itu merupakan kesalahan epistemologis, yang memisahkan panca
indera dan akal sebagai sumber ilmu, dengan khabar shadiq (true report) — dalam
hal ini wahyu Allah — sebagai sumber ilmu. Padahal, dalam konsep keilmuan
Islam, ketiga sumber ilmu itu diakui dan diletakkan pada tempatnya secara
harmonis. Dalam Kitab Aqaid Nasafiah – kitab aqidah tertua yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Melayu – dikatakan bahwa sebab manusia meraih ilmu ada tiga,
yaitu: panca indera, akal, dan khabar shadiq.
Sistem
keilmuan sekular dan ateistik tidak mengakui “wahyu” sebagai sumber ilmu,
karena wahyu dianggap sebagai dogma yang tidak ilmiah. Padahal, pada saat yang
sama, ilmuwan sekular itu pun menerima berita-berita yang dibawa oleh para
anthropolog dan ilmuwan ateis, tanpa proses verifikasi. Mereka menolak berita
dari al-Quran, tetapi menerima berita dan dugaan-dugaan dari Charles Darwin dan
sejenisnya. Itu juga menjadi dogma bagi ilmuwan ateis itu. Darwin ditempatkan
sejajar dengan Nabi.
Teori
manusia purba adalah suatu rekaan dari penyusunan tulang belulang makhluk purba
yang kemudian difantasikan ke dalam wujud manusia purba atau manusia goa (cave
man) yang telanjang, mulutnya monyong, dan hidupnya hanya untuk cari makan
sebagaimana layaknya binatang. Cara pandang ini berangkat dari anggapan bahwa
manusia adalah makhluk “materi” yang merupakan kumpulan tulang dan daging.
Ilmuwan-ilmuwan ateis ini tidak memandang manusia sebagai kesatuan antara jasad
dan ruh (jiwa).
Bahkan,
dalam pandangan Islam, unsur terpenting dari manusia adalah jiwanya. Karena
itu, jika mendefinisikan manusia, maka definisi yang terpenting adalah definisi
tentang jiwanya. Teori perkembangan fosil manusia hanyalah menyentuh aspek
jasadiah, yang tidak substansial sebagai manusia. Suatu makhluk baru disebut
manusia jika ia punya jiwa atau punya akal; tidak masalah apakah jalannya
ngesot atau tegak; apakah mulutnya monyong atau tidak. Jiwa atau akal manusia
itu tidak mengalami evolusi. Dan sumber informasi tentang jiwa atau akal
hanyalah dari wahyu. Karena sains menolak wahyu, maka sains pun akhirnya tidak
mampu memahami manusia secara sempurna.
Ironis,
bahwa teori sains yang sekularistik dan ateistik semacam ini, masih dipaksakan
diajarkan kepada anak-anak murid di sekolah. Teori semacam ini jelas
bertentangan dengan konsep keilmuan dan keimanan dalam Islam yang Tauhidik.
Sangat disayangkan, bahwa kurikulum 2013 yang memiliki tujuan yang baik
akhirnya masih juga disusupi dengan paham sekular yang mendorong manusia untuk
membuang agama dari pikiran dan dari kehidupannya.
Mengadopsi
teori evolusi Darwin tentang asal-usul manusia sebenarnya sangat menghina
manusia Indonesia. Karena nenek moyang kita adalah Nabi, yakni manusia yang
paham untuk apa hidup di dunia; yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT (QS
51:56); bukan hanya untuk cari makan, sebagaimana monyet. Biarlah Darwin dan
para pengikutnya saja yang nenek moyangnya adalah monyet, yang hidupnya hanya
untuk cari makan dan memuaskan syahwat. Sangat tidak beradab memaksakan teori
seperti ini kepada umat beragama di sekolah-sekolah.
Selain
kedua buku tersebut, masih ada beberapa contoh buku ajar yang lain yang
mengandung muatan-muatan sekularisme, yang sepatutnya tidak dipaksakan kepada
murid-murid Muslim. Buku-buku ajar semacam ini sangat bertentangan dengan
tujuan Pendidikan Nasional untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa.
Semoga pejabat yang berwenang di Indonesia mau menyadarinya. Terlebih khusus
lagi, semoga lembaga pendidikan Islam memahami dampak buruk dari buku ajar
bermuatan paham ateis dan sekuler. Wallahu a’lam bish-shawab.*/Depok, 6 Juni
2014
Penulis adalah Ketua Program Magister
dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan
(CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment