Cerdas Bermedia Sosial, Janganlah Kita Sibuk Ikuti Agenda Pihak Lain
Thursday, October 2, 2014
0
comments
Sebaiknya umat Islam tidak sibuk dengan
agenda-agenda orang lain –khususnya agenda media massa baik asing atau media
Indonesia sendiri-- yang isinya tidak menjadikan kita menjadi Muslim yang
bertakwa
SATU
fenomena sederhana namun berdampak luar biasa belakangan ini adalah sosial
media. Tanpa kita sadari, sebagian pihak telah menggunakan perangkat yang
digemari banyak orang di hampir setiap segmen usia itu sebagai alat untuk
‘kampanye’, utamanya hal-hal yang berhubungan dengan polemik politik.
Bahkan
gara-gara Pemilu Presiden (Pilpres) beberapa bulan lalu, tidak sedikit orang
yang tadinya memiliki hubungan baik dengan temannya menjadi renggang bahkan
tidak intens lagi dalam silaturahim.
Fenomena
ini sungguh sangat memilukan. Bagaimana mungkin kita sebagai Muslim begitu
mudah terkendali oleh isu yang ada di dunia maya. Padahal, apa yang diblow-up
di media belum tentu seutuhnya benar dan kalaupun tidak salah, juga tidak
seharusnya kita bersitegang dengan siapapun, lebih-lebih teman atau sahabat
sendiri.
Ketahuilah
bahwa apa yang beredar di dunia politik, sejatinya adalah benturan kepentingan
yang tidak akan pernah menemui kata akhir. Tak ada musuh abadi dalam politik,
yang ada kepentingan bersama, demikian istilahnya.
Oleh
karena itu, kita mesti cerdas dalam membaca dan membagikan informasi.
Gunakan
akal sehat dan rabalah perasaan orang lain. Apakah berita yang dibaca memang
benar-benar penting diketahui orang lain? Apakah berita yang akan dibagikan
tidak berbau negatif, berpotensi konflik, dan benar-benar bermanfaat?
Apakah
kita sudah benar dan tepat memilih suatu berita untuk dibagikan dan benar-benar
bisa dipertanggungjawabkan?
Jangan
sampai, sekali-kali pun membagikan berita yang kita tidak tahu persis duduk
masalahnya. Sebab, Islam melarang umatnya ikut-ikutan alias melakukan sesuatu
tanpa dasar ilmu.
Nasehat
Abdullah bin Mas’ud
Suatu
hari, Abdullah bin Mas’ud berkata kepada murid-muridnya, “Jangan suka
ikut-ikutan.” Seorang dari muridnya pun terpancing untuk bertanya, “Apa itu
ikut-ikutan, wahai Abdullah bin Mas’ud?”
Beliau
menjawab, “Yaitu engkau berkata, saya ikut saja manusia. Jika mereka baik, maka
aku baik. Jika mereka terseat maka aku juga tersesat. Hendaklah seseorang itu
menetapkan hatinya, walaupun semua manusia kafir, ia tidak akan kafir,”
demikian seperti diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat Al-Awliya.
Nasehat
tersebut bermakna bahwa tidak semestinya seorang Muslim itu melakukan apa pun
sekedar karena orang lain banyak melakukannya.
Misalnya,
di dunia maya lagi ngetrend soal politik yang mengunggulkan satu kebijakan,
yang satu menjatuhkan. Kalau kita tidak cerdas, mungkin akan terjebak pada
salah satu yang paling sering kita dengar.
Apalagi
kalau kemudian tanpa pikir panjang, via akun media sosial yang kita miliki,
langsung kita bagikan dan dibaca oleh seluruh teman-teman kita di dunia maya.
Kalau saja, berita itu benar, mungkin tidak masalah. Problemnya adalah kalau
berita itu salah dan membuat banyak orang salah paham. Ini yang persoalan.
Pastikan
Baik, Baru Bicara
Itulah
mengapa Rasulullah mewanti-wanti umat Islam agar tidak berbicara kecuali
kebaikan. Dan, jika memang tidak bisa berkata baik terhadap sesuatu, sebaiknya
diam saja.
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik
atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq Alaih).
Menjelaskan
makna hadits tersebut, Ibnu Hajar berkata, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas
yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan atau salah
satu di antara keduanya. Perkataan baik tergolong perataan yang wajib atau sunnah
untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan
isinya.
Segala
perkataan yang berorientasi kepadanya (wajib dan sunah) termasuk perkataan
baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong
perkataan jelek atau yang mengarah pada kejelekan.
Oleh
karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau
yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam.”
Sementara
itu, Imam Nawawi rahimahullah menuliskan dalam Syarah Arbain nya; “Jika
seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika
dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika
dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan
bicara).
Bukti
Keislaman
Persoalan
berkata, bicara dalam era digital tidak lagi sebatas pada apa yang diucapkan,
tetapi juga dibaca dan dibagikan. Karena membagikan sebuah konten (berita,
status atau video) sama dengan meneruskan perkataan.
Apabila,
yang kita bagikan itu ternyata melukai saudara seiman, maka sungguh itu akan
menciderai diri sendiri dan sangat buruk bagi kehidupan akhirat kita.
Suatu
hari ada seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah orang Islam yang
paling baik?” Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang Islam yang lain
selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari).
Mengenai
hadits itu, Ibn Hajar berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan
kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang sesuatu yang
telah berlalu, yang sedang terjadi sekarng dan juga yang terjadi pada masa
mendatang.
Berbeda
dengan tangan; pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu,
tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui
tulisan. Dan, pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh
lisan.”
Dengan
demikian, mari jauhkan diri dari keburukan dengan tidak begitu saja membagikan
berita atau status atau video yang dapat melukai saudara yang lain. Sebab, itu
juga satu bagian dari bukti keislaman kita sendiri.
Sebaiknya
umat Islam tidak sibuk dengan agenda-agenda orang lain –khususnya agenda media
massa baik asing atau media Indonesia sendiri– yang isinya tidak membangun dan
menjadikan kita menjadi Muslim yang bertakwa.
Jangan
sampai orang lain menari kegirangan, kita yang karena tidak tahu berjibaku
dalam pertengkaran hanya karena status, share berita viedo atau gambar dan
lainnya. Naif sekali. Wallahu a’lam.*
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment