Yuk! Kita Hidupkan Kembali Warisan Kenabian
Sunday, January 6, 2013
0
comments

Mereka
bertanya, “Mengapa demikian, wahai Abu Hurairah?”
Beliau
menjawab, “Itu warisan Rasulullah sedang dibagi-bagikan, sementara kalian tetap
disini. Mengapa kalian tidak pergi kesana dan mengambil bagian kalian?”
Mereka
bertanya, “Dimana?”
Beliau
menjawab, “Di masjid.”
Maka, mereka
pun bergegas-gegas pergi menuju masjid. Abu Hurairah sendiri diam di tempatnya,
sampai akhirnya mereka kembali lagi. Beliau bertanya, “Mengapa (kalian
kembali)?”
Mereka
menjawab, “Hai Abu Hurairah, kami telah mendatangi masjid dan masuk ke
dalamnya. Tapi, kami tidak melihat apapun yang sedang dibagikan.”
Beliau
bertanya, “Apa kalian tidak melihat seorang pun disana?”
Mereka
menjawab, “Ya, benar. Kami melihat sekelompok orang sedang mengerjakan shalat,
sekelompok yang lain sedang membaca Al-Qur’an, dan sekelompok lagi sedang mempelajari
halal-haram.”
Abu Hurairah
berkata, “Celaka kalian ini! Itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam!” (Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dengan isnad hasan).
Benar, para
Nabi tidak mewariskan emas, tanah, rumah, atau barang-barang duniawi untuk
dibagi, dilelang dan diperebutkan. Mereka mewariskan ilmu, keyakinan, dan
bimbingan. Oleh karenanya, Rasulullah bersabda, “Sungguh, ulama adalah pewaris
para Nabi. Sungguh, para Nabi tidaklah mewariskan dinar (emas) maupun dirham
(perak), namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya,
sungguh ia telah mengambil bagian yang sangat banyak.” (Riwayat Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Darda’. Hadits shahih).
Keinginan
kuat untuk mendapatkan bagian dari “warisan kenabian” inilah yang mendorong
para pelajar di masa silam mengembara ke berbagai negeri untuk memburu hadits.
Dalam kondisi sarana-prasarana Abad Pertengahan yang masih serba manual, mereka
menempuh jarak ribuan kilometer untuk menemui para guru yang—kadang—hanya
menyimpan satu dua teks hadits saja. Tapi mereka tidak peduli, sebab “warisan
kenabian” itu tidak boleh terlewatkan satu pun. Dengan tangannya pula mereka
mencatat sendiri ratusan ribu—bahkan, nyaris mencapai sejuta—teks hadits yang
berlain-lainan.
1.100 Guru,
300.000 Hadits
Ahmad bin
Mani’ bercerita: Ahmad bin Hanbal berjumpa dengan kami di jalan, dan beliau
baru datang dari Kufah, sementara di tangannya ada sejumlah kertas yang berisi
salinan kitab-kitab. Saya pun meraih tangannya dan berkata, “Sekali waktu ke
Kufah, lalu di lain waktu ke Bashrah, sampai kapan? Bila seseorang telah
mencatat 30.000 hadits, apa tidak cukup?” Beliau diam.
Saya
bertanya lagi, “Apakah 60.000 tidak cukup?” Beliau tetap diam.
Kembali saya
bertanya, “Apakah 100.000 tidak cukup?” Beliau menjawab, “Saat itulah dia baru
mengerti ‘sesuatu’!” (Dari: al-Madkhal ila Madzhabi al-Imam Ahmad bin Hanbal,
karya Ibnu Badran ad-Dimasyqi).
Apakah Anda
dapat membayangkan kesungguhan dan tekad macam apa yang berkobar di balik
kata-kata: “mencatat seratus ribu hadits dengan tangan sendiri”? Kita mungkin
bisa menyepelekan hal itu di masa sekarang, sebab pengetikan dengan komputer
sudah sangat nyaman dilakukan. Bahkan, sebagian orang diketahui meng-copy paste
karya orang lain, mengganti judulnya, lalu mengatasnamakannya untuk diri
sendiri. Namun, di zaman Imam Ahmad semua harus ditulis tangan.
‘Amru bin
‘Ashim al-Kilabi berkata, “Saya mencatat belasan ribu hadits dari Hammad bin
Salamah.” ‘Abbas ad-Dury berkata, “Saya mencatat 35.000 hadits dari Musa bin
Isma’il at-Tabudzaki.” Abu Dawud berkata, “Saya mencatat 50.000 hadits dari
Bundar Muhammad bin Basysyar.” Abu Zur’ah berkata, “Saya telah mencatat 100.000
hadits dari Ibrahim bin Musa ar-Razy.” Abul ‘Abbas asy-Syirazi berkata, “Saya
telah mencatat 300.000 hadits dari ath-Thabrani.” Pengakuan semacam ini sangat
banyak, dan itu baru dari satu orang guru saja. Bagaimana jika mereka telah
mencatat dari ratusan hingga ribuan guru? Ya’qub al-Fasawi dan Abu Dawud
berkata, “Saya telah mencatat dari 1.000 orang guru.” Abdullah bin al-Mubarak
berkata, “Saya telah mencatat dari 1.100 orang guru…”
Mereka pun
memburu “warisan kenabian” dalam rentang yang panjang, hingga belasan tahun.
Ahmad bin Salamah, teman karib Imam Muslim, mengaku, “Saya mencatat hadits
bersama Muslim – dalam rangka menyusun kitab Shahih-nya – sebanyak 12.000
hadits selama limabelas tahun.” Dalam hal ini, Imam Muslim sendiri berkata, “Saya
menyusun kitab Shahih saya ini dari (penyaringan terhadap) 300.000 hadits yang
seluruhnya saya dengar langsung (dari guru-guru saya).”
Generasi
Muslim pendahulu kita tahu benar nilai “warisan kenabian” itu, dan rela
membelanjakan seluruh sumberdaya miliknya untuk mendapatkannya. Wajar jika
mereka mendapat kejayaan dan amal jariyahnya abadi sepanjang zaman. Nama
sebagian ahli hadits pernah disebut-sebut di majlis khalifah Harun ar-Rasyid,
maka beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang abadi, nama mereka akan disebut
beriringan dengan nama Rasulullah; sementara kami – para raja – adalah
orang-orang yang akan musnah kenangannya.” Bagaimana dengan kita di zaman
ini?*/M. Alimin Mukhtar, guru di Ar-Rahmah Boarding School, Pesantren
Hidayatullah Malang.Tulisan ini pernah dimuat di al-Qalam
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment